PDIP Menempuh Jalur Hukum Atas Pembakaran Bendera Partai

PDIP Menempuh Jalur hHukum Atas Pembakaran Bendera Partai
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Hasto Kristiyanto menilai insiden pembakaran bendera partai berlambang banteng tidak hanya mengusik partainya, tetapi juga bertujuan lain untuk mengganggu pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Serangan ke PDI Perjuangan punya tujuan lebih jauh, mengganggu pemerintahan Pak Jokowi," ujar Hasto lewat keterangan tertulis pada Jumat, 26 Juni 2020.
PDIP menyatakan tidak akan tinggal diam menyaksikan lambang partainya dilecehkan. Mereka akan menempuh jalur hukum atas insiden ini. "Indonesia itu milik semua, bukan sekelompok orang."
Video pembakaran bendera PDIP dan bendera berlogo arit dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP di depan Kompleks MPR/DP
Aksi digelar oleh sejumlah Ormas Islam yang menamakan diri Aliansi Nasional Anti-Komunis (Anak). Ormas Islam yang ikut aksi ini antara lain Front Pembela Islam (FPI), Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), dan sejumlah ormas Islam lain.
Ketua Media Center Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin membenarkan adanya insiden pembakaran bendera PDIP. Menurut dia, pembakaran itu didasari kemarahan demonstran terhadap PDIP yang diduga menginisiasi RUU HIP.
Novel mengatakan para demonstran memprotes isi RUU HIP yang dianggap dapat mengubah nilai-nilai pancasila, khususnya sila pertama soal Ketuhanan Yang Maha Esa. Novel mengaku tak mengetahui dari unsur mana demonstran yang membakar bendera. “Saya enggak tau mereka dari mana saja tapi sikap mereka jelas,” ucap Novel saat dihubungi, kemarin.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkit peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli, menyusul insiden pembakaran bendera PDIP dalam aksi demonstrasi pada Rabu lalu, 24 Juni 2020.
“Pijakan moral dipraktikkan ketika kantor PDI diserang tahun 1996, jangan coba-coba menguji kesabaran revolusioner kami,” kata Hasto dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 Juni 2020
Hasto mengatakan, saat konsolidasi pasca-peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 itu ada yang mengusulkan perlawanan terhadap rezim. Namun menurut Hasto, Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri ketika itu mengambil langkah mengejutkan.
Megawati justru membentuk Tim Pembela Demokrasi dan melakukan gugatan di lebih dari 267 kabupaten/kota. Ketika itu, kata Hasto, ada yang memprotes langkah hukum itu mengingat seluruh kekuasaan hukum dan kehakiman tunduk pada pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.
Akan tetapi Megawati meyakini bahwa di antara 267 kabupaten/kota akan ada polisi, jaksa, atau hakim yang memiliki hati nurani. Hasto mengatakan keyakinan itu terbukti dengan adanya seorang hakim bernama Tobing di Riau yang memenangkan gugatan PDI.
“PDI Perjuangan kembali menegaskan bahwa jalur hukum selalu ditempuh meski partai sering dikuyo-kuyo, dikepung, dan dipecah belah dengan stigma lama,” kata Hasto.
Atas dasar keyakinan itu, lanjut Hasto, kali ini PDIP menempuh jalur hukum merespons kejadian pembakaran bendera berlambang banteng moncong putih. Insiden ini terjadi dalam aksi penolakan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
“Seluruh kader partai terus berdisiplin. Kami kedepankan semangat persaudaraan dan rekonsiliasi,” ucap Hasto. “Bagi PDI Perjuangan, politik itu menebar kebaikan dan membangun optimisme.”

0 Response to "PDIP Menempuh Jalur Hukum Atas Pembakaran Bendera Partai"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak