Sistem Demokrasi di Indonesia Sudah Diterapkan???
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menyatakan bahwa pemakzulan terhadap presiden bukan hal mudah. Sebab, ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum memakzulkan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
"Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan presiden cukup sulit," kata Hasanuddin melalui layanan pesan, Kamis (4/6).
Politikus PDI Perjuangan itu menyampaikan hal tersebut menyusul maraknya wacana tentang pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini. Wacana itu ditanggapi berbagai kalangan, termasuk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Hasanuddin menjelaskan, proses pemakzulan terhadap presiden harus didahului dengan penggunaan hak menyatakan pendapat (HMP) oleh DPR. Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sudah mengatur soal penggunaan HMP.
Menyitat Pasal 79 UU MD3, Hasanuddin menyatakan bahwa HMP merupakan hak DPR untuk menyikapi kebijakan pemerintah ataupun kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun mancanegara. HMP juga untuk menanggapi dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela.
"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," tutur Hasanuddin.
Mantan sekretaris militer kepresidenan itu menegaskan, ada syarat lain untuk meloloskan usul penggunaan HMP sebagaimana diatur Pasal 210 ayat (3) UU MD3, yakni diputuskan dalam rapat paripurna yang dihadiri dua pertiga dari seluruh anggota DPR. Selain itu, usul itu harus disetujui minimal dua pertiga dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna.
Baru setelah ada persetujuan dalam rapat paripurna, DPR menindaklanjutinya dengan pembentukan panitia khusus (pansus). Setelah pansus bekerja paling lama 60 hari, hasilnya lantas dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai ada sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus Ruslan Buton.
Ruslan Buton merupakan pecatan TNI yang menyebarkan rekaman suaranya, berisi permintaan agar Presiden Jokowi mundur dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Sosok Ruslan Buton belakangan ini menjadi sorotan setelah ditangkap tim gabungan dari Mabes Polri hingga Denpom TNI AD pada Kamis (28/5) lalu di Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menurut Didik, Polri memang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa dalam penindakan hukum.
Namun terkait dugaan pelanggaran beberapa pasal dalam UU ITE dan KUHP yang bukan kejahatan dengan kekerasan, ada bijaknya kewenangan itu tak boleh dipakai sembarangan.
Menurut Didik, Polri memang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa dalam penindakan hukum.
Namun terkait dugaan pelanggaran beberapa pasal dalam UU ITE dan KUHP yang bukan kejahatan dengan kekerasan, ada bijaknya kewenangan itu tak boleh dipakai sembarangan.
"Saya berpandangan penangkapan terhadap Ruslan Buton seharusnya dipertimbangkan dengan matang, apalagi tidak ada indikasi bahwa apa yang disampaikan Ruslan membuat masyarakat terprovokasi melakukan makar terhadap Presiden Joko Widodo," ucap Didik, Selasa (2/6).
Sebagai upaya penegakan hukum, katanya, seharusnya kepolisian dapat melakukan penyelidikan terlebih dahulu jika apa yang ditulis atau diucapkan seseorang di ruang publik atau media sosial terindikasi tindak pidana.
"Namun proses hukumnya semestinya bukan dengan langsung melakukan penangkapan ketika belum ada indikasi akibat dari pernyataan orang tersebut," sambung ketua Departemen Hukum dan HAM DP Partai Demokrat ini.
Menurut legislator asal Jawa Timur ini, polisi harusnya meminta keterangan ahli terlebih dulu, bukan langsung bertindak.
Apalagi jika upaya paksa penangkapan tersebut inisiatif polisi sendiri tanpa ada yang melaporkannya dulu.
"Bahkan dengan adanya laporan pun, penindakan kepolisian harus tetap elegan, proper dan proporsional. Caranya dengan mengumpulkan alat bukti terlebih dulu, termasuk keterangan ahli, penetapan tersangka, dan pemanggilan," tutur Didik.
Dia berharap agar Polri lebih transparan, profesional dan akuntabel, serta meningkatkan standar due process of law dalam menjalankan kewenangannya.
Apalagi dalam menangani tindak pidana yang bukan kejahatan dengan kekerasan.
"Dengan kejadian ini jangan sampai kerja-kerja positif polri dalam penindakan kejahatan-kejahatan yang membahayakan masyarakat terciderai oleh upaya paksa terhadap dugaan tindak pidana berdasar pasal-pasal karet," tandas Didik.
HATI2 POLISI INDONESIA ‼️— Pak RW 07 (@AnginLa49997994) May 30, 2020
1. JANGAN SEENAKNYA, REKAYASA KASUS, KRIMINALISASI ULAMA, MAKARISASI TOKOH & AKTIVIS, PERSEKUSI PARA DA'I & USTADZ, TEBANG PILIH KASUS, HUKUM SUKA2, HUKUM TAJAM KE BAWAH TUMPUL KE ATAS. pic.twitter.com/4SHjgwlP4N
Malam ini twit terakhir ttg PKI.— Haikal Hassan Baras (@haikal_hassan) June 4, 2020
Biarlah terserah. Diingatkan baik2 malah dituduh yg bukan2. Mungkin saat kemunafikan terungkap dan jatidiri sebenarnya tersingkap, barulah sadar. Ya.. tunggulah masa itu. Gusti Allah mboten sare.
Mari berguna utk bangsa.
Jaga persatuan kesatuan.
0 Response to "Sistem Demokrasi di Indonesia Sudah Diterapkan???"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak