DARI JI'RANAH: BELAJAR MENGELOLA EMOSI



DARI JI'RANAH: BELAJAR MENGELOLA EMOSI 

Di Ji’ranah, hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak bisa dipahami. Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. 

Orang-orang Anshar merasa disisihkan, selepas Perang Hunain yang menggemparkan. Mereka merasa telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Akan tetapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan kepada orang-orang Quraisy dan Kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara bagi mereka (Kaum Anshar), seakan hanya memperoleh sisa.

Padahal semua orang tahu, sebagaimana Rasul juga mengetahuinya: merekalah Kaum Anshar yang berjuang dengan sepenuh iman, ketika Orang-orang Quraisy dan Kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry. 

Maka pada hari itu di Ji’ranah, ada kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat itu jelas melukiskan sarat kekecewaan.

Pada hari itu juga seorang utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah pergi menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan para sahabat Anshar kepada Rasulullah. Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadah lah yang mau memberanikan diri. 

“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap Engkau, tentang perkara pembagian harta rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri. Engkau membagikan bagian yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak mendapat bagian apapun.”

Nada protes itu disampaikan dengan lugas, tapi tetap santun. Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan. Ada ganjalan di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.

“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama kaumku” jawab Sa’d menjelaskan tentang perasaannya. Jujur, apa adanya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa.

Rasulullah lalu meminta untuk mengumpulkan semua orang Anshar. Saat itu di Ji'ranah, akhirnya Rasul pun menjelaskan pada mereka.

“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk?"

"Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian?" "Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?” 

Orang-orang Anshar itu membenarkan. Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang Rasulullah dengan kata-kata dan argumentasi mereka.

Disebabkan iman semata, mereka tetap bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa.  

Rasulullah melanjutkan,

“Demi Allah, jika kalian mau, kalian pun bisa mengatakan sebaliknya, "Bukankah Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan." 

"Bukankah Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu."

"Bukankah Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.” 

Dapat kita rasakan bahwa kata-kata itu bisa menggetarkan dada orang-orang Anshar yang diliputi rasa iman. Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.

“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah. Semua sahabat terdiam. 

Pertanyaan itu telah mengetuk jiwa terdalam para sahabat. Jiwa yang memang sejak awal disemai oleh iman. 

“Padahal dengan dunia itu aku hendak mengambil hati segolongan orang, agar masuk Islam.” Rasulullah menjelaskan alasan kebijakannya. 

“Adapun tentang keimanan kalian, aku sudah sangat percaya” lanjut Rasulullah. Kata-kata itu begitu dalam dan jujur. 

Tetes airmata para sahabat tak kuasa lagi ditahan. Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, “Apakah hati kalian tidak berkenan, jika orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian pulang bersama Rasul Allah?”

Sungguh, sebuah perbandingan yang kontras. Tangis para sahabat anshar meledak. Mereka baru menyadari, bahwa Rasulullah mengungkapkan argumentasi yang lebih bijak, atas keputusan yang telah beliau ambil. Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran itu, setelah timbulnya kekecewaan? Akhirnya dengan kesadaran dan keikhlasan, mereka bisa mengobati rasa kecewa itu. Bahwa harta di dunia tidaklah sebanding dengan kecintaan mereka pada Allah dan Rasul-Nya.

Kisah di atas teramat panjang. Dari Ji'ranah, di dalamnya kita belajar bagaimana mengelola emosi. Meski dalam komunitas kebaikan sekalipun, timbul kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan. 

Setiap kita mungkin pernah kecewa. Sebabnya bisa bermacam-macam. Karena kita tak sepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa, karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.

Kekecewaan bisa lahir dari dalam bilik-bilik rumah. Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami. Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba. 

Dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang. Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang ‘dianggap’ tidak diperhatikan, selera yang tak sama, kebijakan qiyadah yang tak memenuhi keinginan kita, perilaku serta tindakan ikhwah, dan lain sebagainya.

Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita, dari bentuk penyikapan yang salah disaat kecewa.

Sebagian orang menyikapi kecewa dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’ Namun, sebagian lainnya mampu menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijaksana. 

Jika rasa kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi dan motif kita. Periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas. Inilah saat paling tepat untuk menakar motif dan orientasi kita. 

Pengiring atas rasa kecewa itu adalah sikap lapang dada, semangat dalam beramal yang makin menggelora, keikhlasan yang mempesona, dan penghormatan pada sesama.

Jangan biarkan kekecewaan itu diwujudkan dengan aktivitas yang tidak akan memuliakan kita. Jangan sampai kekecewaan itu menyeret kita pada devisit iman dan luapan emosi. 

Jika kita memilih jalan dakwah, bukan karena ingin selalu disenangkan. Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat mesti dituruti.

Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti pula lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda. Kita memilih jalan dakwah semata - mata karena berharap ridha Allah. Semoga Allah menjaga keistiqomahan dan keikhlasan kita dalam beramal.

Semoga bermanfaat

0 Response to "DARI JI'RANAH: BELAJAR MENGELOLA EMOSI "

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak