Tidak Takwa dan Tidak Beramal Shaleh
Tidak Takwa dan Tidak Beramal Shaleh
Di dalam QS az Zumar [39] ayat 71, Allah Subhanahu wata'ala menyatakan bahwa “Orang-orang yang kafir digiring ke neraka Jahanam secara berombongan...”, kemudian ayat ini diikuti dengan ayat 73 yang menyebutkan “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan...“ Jadi berdasarkan dua ayat tersebut, orang-orang kafir nasibnya berbeda dengan orang-orang yang bertakwa.
Kata takwa, berasal dari bahasa Arab “waqa-yaqi-wiqayatan” yang artinya menjaga diri, maksudnya menjaga diri dari segala maksiat. Orang yang bertakwa disebut sebagai orang yang memiliki kualitas paling unggul dan terhormat di hadapan Allah Subhanahu wata'ala. Kenapa?
Karena dia selalu menjaga hidupnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Kalaupun khilaf berbuat dosa, maka orang yang bertakwa akan segera sadar, teringat kepada Allah Swt dan bertaubat.
Orang yang bertakwa itu seperti manusia biasa. Dia bisa marah dan emosional. Hanya saja, kemarahannya itu tidak diluapkan kepada orang lain.
Artinya, orang yang bertakwa pandai menahan diri. Dia mampu mengontrol nafsu amarahnya. Kepada orang yang berbuat salah atau menyakitinya, orang yang bertakwa dapat dengan mudah memaafkannya.
Rasulullah adalah contoh paling baik dari karakter orang yang bertakwa. Diceritakan di dalam sejarah bahwa jika Nabi Muhammad pergi ke masjid untuk shalat, pasti selalu ada orang yang mengganggunya.
Bentuknya bisa menghina, meludahi, dan bahkan melemparkan sesuatu. Nah suatu hari, dia merasa heran, karena tidak ada orang yang mengganggunya.
Lalu Nabi Muhammad pun menanyakan orang tersebut kepada para sahabatnya. Menurut informasi, ternyata orang yang suka mengganggu Nabi sedang sakit. Hebatnya Nabi Muhammad, dia bukan merasa senang apalagi berniat balas dendam, melainkan di menjenguk orang itu di rumahnya. Luar biasa ya! Bagaimana kalau itu terjadi pada kita?!
Orang kafir juga disandingkan secara paradoks dengan orang yang beramal shaleh.
Al-Qur’an surat Ar-Rum [30] ayat 44 menyebutkan: “Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya, dan barangsiapa beramal shaleh maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan).“
Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa orang yang tidak melakukan amal shaleh di dunia, berarti memiliki potensi sebagai orang kafir, yang nasibnya kelak akan ditanggung sendiri.
Tinggal sekarang kita mencari tahu apa sih yang dimaksud dengan amal shaleh itu?
Tentunya banyak pengertian yang bisa kita gunakan dalam memahami amal shaleh ini. salah satunya adalah pengertian yang diberikan oleh Muhammad Abduh.
Menurut ulama tafsir asal Mesir ini, amal shaleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Amal shaleh juga bisa diartikan berbuat baik untuk alam dan lingkungan.
Jadi, orang yang beramal shaleh pasti orientasinya adalah perbuatan yang baik dan bermanfaat. Sedangkan orang kafir hanya bisa berbuat kerusakan, untuk dirinya, orang lain maupun untuk lingkungan.
Bolehkah kita mengkafirkan orang lain?
Sejujurnya, hingga kini, saya berusaha untuk tidak memberi label kafir atau sesat terhadap orang lain, baik kepada umat Islam yang berbeda pandangan dengan saya ataupun dengan orang non-Muslim.
Saya merasa belum pantas untuk menilai seseorang, apalagi jika berhubungan dengan masalah teologis atau akidah.
Sebab, masalah teologis itu urusan pribadi, masalah keyakinan yang sulit sekali diukur dengan parameter yang zahir. Belum lagi kalau melihat makna al-Qur’an tentang kafir yang sangat luas.
Yang berwenang menghakimi status aqidah seseorang, sepertinya hanya Allah Subhanahu wata'ala, Zat Yang Maha Mengetahui. Nabi Muhammad sekalipun, sepertinya jarang menuduh langsung dan jelas kepada seseorang, kalaupun dia memberikan penilaian, itu tidak dilakukan kecuali dengan sangat super hati-hati.
Kehati-hatian, atau di dalam bahasa fikihnya disebut “ihtiyath”, dalam menuduh kafir atau bukan sangatlah penting. Lisan kita tidak boleh sembarangan atau dengan mudahnya menuduh seseorang sebagai kafir.
Abu Dzar pernah meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam Yang menyatakan: “Barangsiapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian, maka sebutan itu kembali kepadanya”.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini mengultimatum kita supaya tidak mudah menuduh kafir kepada seseorang. Sebab kalau orang yang kita sebut kafir, ternyata sebetulnya tidak, maka menurut hadis itu, kitalah yang sebenarnya kafir.
Senada dengan hadis di atas, Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan suatu hadis: “Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir’, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”
Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir, maka sebutan itu pantas untuknya. Bila tidak, maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Lisan kita, oleh karena itu, perlu kita jaga dengan baik. Jangan sampai digunakan oleh kita untuk menuduh kafir. Dua hadis di atas memiliki pesan yang sama: “Jangan mudah menuduh kafir kepada orang lain!”
Biarkanlah Allah Subhanahu wata'ala yang menilainya. Tidak usah kita mengambil alih kewenangan Allah untuk menilai sikap dan keyakinan seseorang.
Bahkan hingga saat ini, saya belum pernah menyebut kafir kepada orang non-Muslim, apalagi kepada seorang Muslim. Karena, sekarang ini, label “kafir” sudah bergeser kepada sikap truth claim, penghinaan dan kebencian.
Saya pernah menanyakan masalah ini kepada beberapa orang teman saya yang beragama Kristen. Rata-rata mereka agak ill feel atau sakit hati kalau ada umat Islam yang menyebutnya kafir.
Walaupun mereka tahu bahwa kata-kata itu ada di dalam al-Qur’an dan al-Kitab, dan memahami kenapa umat Islam ada yang menanggap mereka kafir.
Tuduhan kafir secara langsung dan verbal kepada non-Muslim karenanya harus dihindari. Sebab di saat mengucapkannya, kita akan merasa lebih superior dan mereka inferior.
Kalau sudah seperti ini, sangat sulit untuk menghindari kebencian dan kesewenang-wenangan. Sebaliknya, orang yang dituduh kafir, hidupnya akan merasa terancam dan tidak nyaman.
Lebih dari itu, jika kita mengaku beriman, maka tunjukkan kualitas keimanan kita dengan hidup yang penuh cinta, damai dan rasa syukur, bersahabat, menebar senyum dan salam, serta menjaga lisan.
Keimanan, sebagaimana ditulis oleh para ulama, bukan sekadar ikrar di dalam hati atau terucap di dalam lisan, melainkan juga mewujud di dalam amal perbuatan.
Keimanan juga bukan sekadar klaim kebenaran, yang membatasi dan memisahkan pergaulan. Keimanan sejatinya menjadi motivasi tertinggi untuk berbuat kebaikan, bukan kerusakan di muka bumi ini.
0 Response to "Tidak Takwa dan Tidak Beramal Shaleh"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak