Hubungan Persetubuhan Sesama jenis

LIWATH

Liwath adalah hubungan persetubuhan sesama jenis antara lelaki dengan sesama lelaki, atau biasa disebut hubungan homoseksual.

Hukuman bagi seorang muhshan (seorang yang telah menikah) yang melakukan liwath adalah rajam (dilempari batu sampai mati). Memang siksa Allah teramat pedih, sebab perbuatan itu merupakan kombinasi antara zina dengan liwath. 

Masing-masing punya andil mewujudkan kerusakan yang bertentangan dengan kebajikan universal, sekaligus mengoyak hukum Allah yang telah ditetapkan atas hamba-hamba-Nya berupa perintah dan larangan. Di balik perbuatan liwath itu tersembunyi kerusakan besar yang tak terbatas dan tak terbilang.

Pasangan gay (pelaku liwath) lebih baik dibunuh daripada diperlakukan seperti perempuan. Liwath itu amat merusak, tak bisa diharapkan kembalinya kebaikannya. Kebaikan pelakunya telah musnah seluruhnya, dan bumi menghisap air kehidupan dari wajahnya. 

Pelakunya sama sekali tak punya rasa malu kepada Allah, apalagi kepada sesama manusia, sebab penyakit itu telah menyatu dengan aliran darahnya, hatinya, jiwanya, bahkan sampai air maninya.

Apa yang dibahas oleh Imam Ibnul Oayyim tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh kejahatan seksual, termasuk liwath, telah terbukti kebenarannya dewasa ini. Penyakit-penyakit yang muncul akibat perzinaan dan pelacuran sangat berbahaya dan sangat mudah menular sehingga dapat menjangkiti bahkan sampai pada keturunannya. 

Contohnya syphilis.

Penyakit ini merusak si pelaku, fisiknya maupun mentalnya. Mereka yang telah terjangkiti akan merasa rendah diri dalam kehidupan di sekitarnya. Penyakit ini juga merusak kehidupan rumah tangga.

Contoh lainnya adalah AIDS, sebuah penyakit yang menurunkan kekebalan (imunitas) tubuh seseorang, bahkan dalam waktu relatif singkat dapat mendatangkan kematian. Sampai sekarang belum ditemukan obat untuk mencegah maupun

menyembuhkan penyakit AIDS ini. Karena itu, sebagian pendapat menyatakan bahwa ini merupakan penyakit wujud kutukan Allah. Dua contoh penyakit itu muncul karena perbuatan zina yang sudah jelas-jelas dilarang dalam syariat Islam.

Ajaran Islam lebih menekankan usaha preventif daripada kuratif. Tak ubahnya penyakit malaria, yang lebih ditekankan pembasmian nyamuknya daripada penanggulangan penyakitnya. Itu sebabnya Islam menetapkan hukum sebagai berikut, “Basmilah (bunuhlah) pelaku-pelaku liwath, baik yang melakukan maupun yang diperlakukan (termasuk bila pelakunya perempuan).”

Apakah lelaki yang diperlakukan seperti perempuan bisa masuk surga? (maksudnya dalam liwath). Ada dua pendapat di sini. 

Syaikh Ibnu Taimiyah memaparkan dua-duanya. Salah satu pendapat mengatakan bahwa pelaku liwath tidak akan masuk surga. Menurut pendapat ini, Rasulullah pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga anak zina (maksudnya: anak hasil zina).”

Benarkah hukuman bagi anak zina itu demikian?

Sebenarnya anak hasil zina tidaklah menanggung dosa. Karena itu, dia tidak dapat dimasukkan dalam prasangka buruk, apalagi jahat. Tetapi anehnya, pengikut pendapat ini menganggap bahwa anak zina adalah makhluk dari nuthfah (sperma) yang jahat, yang tubuhnya tumbuh dari badan yang haram sehingga neraka lebih baik baginya.

Dalil yang mereka anggap sebagai sabda Rasulullah itu mereka analogikan dengan buruknya pelaku liwith. Mereka mengatakan bahwa kaum gay posisinya lebih buruk ketimbang anak zina, juga lebih kotor dan tak pantas disejajarkan dengan kebaikan.

Antara kaum gay dengan kebaikan terpisah sama sekali. Menurut mereka, setiap kali orang-orang berbuat baik, Allah akan menurunkan kesulitan dan bencana sebagai hukuman bagi orang yang suka main seks pada masa mudanya. 

Kebanyakan semakin parah setelah masa tuanya, dan mereka sungguh tak cocok menerima ilmu yang berguna atau melakukan amal saleh. Demikian pendapat ini.

Untuk meluruskan pendapat tersebut bisa kita lihat penjabaran sebagai berikut. Bila seseorang tertimpa cobaan semacam ini (kecenderungan menjadi gay), kemudian bertobat, serta kembali ke jalan Allah, lalu diberi rezeki oleh Allah dan beramal saleh, berarti masa tuanya lebih baik daripada masa mudanya.

Sebab ia mengubah kejelekan menjadi kebaikan, berintrospeksi untuk memperbaiki dan meluruskan diri dalam ketaatan, taqarrub kepada Allah, menutup mata dari kekejian, menjaga kemaluan dari berbagai hal yang diharamkan agama, dan jujur kepada Allah dalam bermuamalah. Semua itu tentu pantas diberi imbalan sepadan. Ia akan mendapatkan ampunan dan layak menghuni surga.

Dengan demikian, setiap tobat merupakan penghapusan dosa, walaupun seseorang telah melakukan kemusyrikan, membunuh seorang nabi, bahkan kufur sekalipun. 

Hikmah dan kebijaksanaan Allah telah ditetapkan secara adil kepada semua hamba-Nya tanpa kecuali. Itulah kasih sayang Allah yang dilimpahkan kepada seluruh makhluk-Nya. Allah akan menghapuskan dosa sebesar apa pun, dengan syarat pelakunya tidak mengulangi perbuatan dosa-nya lagi dan selalu berbuat kebaikan. 

Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Orang yang bertobat dari dosa adalah seperti orang yang tak punya dosa.” (HR. Ibnu Majah).

Allah telah menjamin orang yang bertobat dari syirik, membunuh, zina, dan dosa-dosa lainnya. Allah akan mengganti keburukan dengan kebaikan. 

Allah berfirman, “Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (OS. Az-Zumar: 53).

Ampunan Allah hanya diberikan kepada hamba yang bersalah, tetapi mau bertobat dengan sebenar-benarnya, yaitu tobat nashuha. Si pelaku harus mengakui kesalahan-kesalahan yang telah ia perbuat, kemudian mengikrarkan diri untuk tak mengulanginya lagi dengan mengganti amal saleh.

Adapun anak laki-laki yang diperlakukan sebagai perempuan dalam liwath, bila ia sudah besar akan tumbuh menjadi orang yang buruk akibat perlakuan yang ia terima pada masa kecilnya. Ia tak layak lagi untuk bertobat nashuha, beramal saleh, dan sebagainya. Tak layak pula mengganti apa yang telah hilang, dan tak ada lagi kebaikan sebagai pengganti keburukannya. 

Keadaannya nanti saat menjelang ajal berbeda jauh dengan orang-orang yang masih punya kemungkinan untuk masuk surga. Hukuman mutlak pantas baginya karena perbuatan tersebut.

Allah menghukumnya atas kejelekan itu dengan kejelekan lain yang berlipat-lipat, berbeda dengan ganjaran Allah atas kebaikan yang lain.

Sa 'al-khatimah

Bila kita mengamati detik-detik kematian seseorang, akan terlihat perbedaan antara mereka yang biasa beramal baik dengan mereka yang penggemar maksiat. Saat-saat menjelang tutup usia itu, amal buruk akan menjadi penghalang, sebab azab Allah mulai ditimpakan kepadanya.

Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haq berkata, 

“Ketahuilah bahwa sa' al-khatimah didasarkan pada banyak sebab yang besar. Salah satunya adalah inkibab, atau terjerumus di dunia lalu berpaling dari akhirat, berani bermaksiat dan melanggar aturan Allah. Telah menjadi hukum kehidupan, bahwa manusia cenderung berbuat salah dan dosa. Dalam diri manusia ada bibit-bibit maksiat. 

Di samping kebenaran, ada unsur-unsur pribadinya sendiri yang menguasai hati dan menawan logikanya sehingga dapat memadamkan cahaya dan membangun hijab.

Bagi mereka yang kalbu dan akal sehatnya telah tertutup, peringatan dan nasihat tiada bermanfaat. Dia bagai mendengar sesuatu di kejauhan. Sayup-sayup dan tak begitu jelas. Dia tidak paham kendati ajakan itu berulang-ulang memanggilnya.

Ada banyak kisah memprihatinkan tentang keadaan orang-orang yang didatangi maut. Ada seorang anak yang membimbing orangtuanya saat ajal menjelang, “Ucapkan, "La ilaha illa Allah,” Ayah.”

Tetapi sang ayah menjawab, “Sang pemenang itulah tuhanku.” Anaknya berusaha mengajarkan kalimat tauhid, tetapi ayahnya menjawab dengan igauan yang tak jelas hingga kemudian pingsan. Setelah sadar, ia kembali berucap, “Sang pemenang itulah tuhanku.”

Itulah igauan maut yang dipengaruhi oleh perbuatan yang biasa dilakukannya. Setiap kali dituntun mengucapkan La ilaha illallah, ia selalu mengatakan, “Sang pemenang itulah tuhanku.” Ia terus mengucapkan perkataan sia-sia di hadapan anaknya,

“Hai Fulan, sang pemenang hanya diketahui dengan pedangmu, dan pembunuhan adalah pembunuhan.”

Lalu si ayah pun mati.

Ada lagi kisah lainnya. Seseorang bernama Abdul Haq bercerita bahwa suatu kali ia menyaksikan temannya sekarat. Setiap kali di-talgin kepadanya kalimat La ilaha illallah, ia menjawab, “Rumah orang-orang itu mereka perbaiki begini dan kebun orang itu mereka buat begitu.”

Ada pula seorang Persia saat dituntunkan kepadanya ucapan La iliha illallah menjelang ajal, ia menjawab, “Dih ya zadih wazadih (sepuluh dengan sebelas).”

Bahkan ada igauan yang lebih tragis lagi ketika menjemput maut. Seseorang berulangkali menyebut-nyebut jalan ke sebuah pemandian. Ini semua karena yang ada dalam ingatannya hanya kata-kata tersebut.

Saat menghadapi maut, setiap orang selalu teringat pada kebiasaannya. Jadi, alangkah baiknya kalau kebiasaan itu adalah zikrullah atau kalimat tauhid La ilaha illallah.

Pada suatu malam, Abu Sufyan ats-Tsauri menangis sampai pagi. Ia ditanya, “Apakah tangismu adalah karena takut kepada dosa-dosa? Kalaulah karena dosa,” si penanya mengambil segenggam tanah seraya melanjutkan, “dosa itu pasti lebih ringan daripada ini!” Abu Sufyan ats-Tsauri menjawab, 

“Aku menangis tak lain karena merenungkan sa al-khitimah."

Ini adalah pengetahuan mendalam yang patut diteladani dari seseorang yang takut bahwa kematiannya akan terhalang oleh dosa-dosanya sehingga mengantarkannya pada sa'al-khitimah, akhir kehidupan yang amat buruk.

Imam Ahmad menyebutkan dari Abu Darda' bahwa saat menghadapi maut, ia pingsan. Begitu sadar, ia membaca:

“Dan (begitu pula) Kami  memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti belum pernah beriman kepadanya (al-Qur'an) pada permulaannya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (OS. Al-An'am: 110).

Selanjutnya ulama tersebut memberi peringatan,

“Ketahuilah bahwa sa al-khitimah tidak akan terjadi pada orang yang istigamah secara lahir batin, yang tak terpengaruh oleh bisikan-bisikan selain zikrullah saja. Segala puji bagi Allah yang mengurus semua ruh.”

Sa'al-khitimah biasa terjadi pada orang yang rusak akidahnya dan terus-menerus melakukan dosa. Sa al-khatimah akan menimpa para pemburu kemewahan.

Kemewahan datang kepada mereka sebagai musuh yang mengalahkan akidahnya. Apabila maut menjemput sebelum dia bertobat, sebelum dia berintrospeksi dan kembali ke jalan Allah, niscaya setanlah yang mendatangi dan merenggutnya. Ya Allah, lindungilah kami...

Imam Ahmad mengisahkan, di Mesir ada seorang lelaki yang suka tinggal di masjid untuk mengumandangkan azan dan mendirikan shalat.

Pada dirinya membekas tanda-tanda ketaatan dan cahaya ibadah. Namun, suatu hari ia terpedaya oleh suatu cobaan. Seperti biasanya, dia naik ke menara untuk mengumandangkan azan. 

Di bawah menara ada rumah seorang Nasrani, dan kali itu ia tergoda untuk memandang ke dalam. Dilihatnya anak gadis orang Nasrani itu di dalam, dan ia pun langsung terpikat. Ia batal mengumandangkan azan, bahkan turun dari menara untuk menemui sang gadis.

Bertanyalah gadis itu, “Apa yang kau kehendaki?”

Sang muazin berterus terang, “Aku menghendaki dirimu.”

Gadis itu bertanya, “Mengapa?”

Sang muazin menjawab, “Engkau telah memikat hatiku, engkau mencuri seluruh jiwaku.”

Gadis Nasrani itu menjawab, “Aku percaya dengan kata-katamu.”

Sang muazin langsung meminangnya, “Aku akan mengawinimu.”

“Engkau Islam dan aku Kristen. Ayah tak mungkin mengawinkan aku denganmu,” gadis itu mencoba menguji.

“Baiklah, aku akan masuk Kristen,” kata lelaki itu tanpa pikir panjang.

Si gadis berkata, “Jika itu kaulakukan, baiklah, aku bersedia.”

Sang muazin itu pun berniat memeluk Kristen dan tinggal serumah dengan mereka. Tetapi ia benar-benar lupa bahwa ia telah murtad. Pagi berikutnya, ia hendak melaksanakan tugas rutinnya mengumandangkan azan. Namun, apa yang terjadi?

Malang baginya. Ia terjatuh dari menara dan tewas dalam keadaan tercabut dari agama Allah yang haq.

Imam Ahmad menceritakan kisah lain. Ada seorang lelaki mencintai sesama lelaki. Cinta lelaki itu begitu kuat membelit hatinya. Suatu ketika ia ditimpa suatu penyakit yang pada akhirnya membuatnya tak mampu beranjak dari pembaringan.

Sudahlah demikian, lelaki yang dicintainya kabur pula meninggalkannya. Seorang teman berusaha membantu sehingga lelaki kekasihnya itu berjanji akan kembali kepada si sakit. 

Mendengar kabar itu, si sakit membuncah dalam kebahagiaan. Namun, tiba-tiba datang kepadanya seseorang yang bermuka dua. Orang itu mengabarkan, “Sebenarnya kekasihmu tadi berangkat kemari bersama-sama denganku, tetapi entah kenapa ia balik lagi.”

Mendengar itu, si sakit jatuh terlentang. Penyakitnya bertambah parah, bahkan kemudian tanda-tanda kematian menghampirinya. 

Pada saat sakaratul maut tiba, dia menceracau, “Wahai kedamaian..., wahai kelapangan bagi orang yang sedang sakit...”

Imam Ahmad menceritakan bahwa dia berkata kepada orang yang sekarat ini, “Hai Fulan, bertakwalah kepada Allah.”

Si sakit tetap menjawab dengan igauan, “Telah terjadi..., telah terjadi...!”

Imam Ahmad pun bangkit dari situ dan beranjak  pergi. Belum lagi mencapai pintu, dia  mendengarteriakan maut. Kita berlindung kepada Allah dari hukuman yang buruk seperti itu dan dari sia' al-khatimah.

Demikian Imam Ahmad menuturkan kisah tragis seorang manusia di akhir hayatnya.

0 Response to "Hubungan Persetubuhan Sesama jenis"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak