Sifat Pemaaf Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam

MENDAHULUKAN MAAF

Bismillahirrahmanirrahim 

Adakah dari kita yang tidak pernah berbuat salah? kita semua tahu bahwa manusia adalah tempat "bersemayamnya" kesalahan, ketika kita berbuat salah lalu kita menyadarinya maka pasti muncul harapan agar kesalahan tersebut dapat dimaafkan dan dimaklumi oleh pihak yang tersakiti atau dirugikan.

Dimanapun dan kapanpun, seorang pemaaf akan disukai oleh siapapun, karena walaupun mudah diucapkan, ‘memaafkan’ bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah atau akan dicelakai, maka yang tertanam biasanya perasaan dendam dan ingin membalas. Perasaan seperti itu adalah wajar dalam diri orang biasa.

Namun, sikap memaafkan hanya ada pada diri orang-orang hebat.

Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang tinggi hanya kepada Allah Subhanahu wata'ala semata.

Siapa yang meragukan jiwa pemaaf Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Rasulullah Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam adalah seorang manusia yang selalu memaafkan kesalahan orang tanpa peduli seberapa besar kesalahan orang tersebut, sejarah telah mencatat banyak contoh nyata dari sifat pemaaf Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam. Itulah hal keempat yang diangkat dalam buku ini sebagai penyebab pengaruh luar biasa seorang Muhammad Shallallahu A'laihi Wa Sallam, selalu memaafkan orang lain.

Memaafkan jauh lebih sulit daripada meminta maaf, karena ketika kita diminta untuk memaafkan maka kita sedang berada dalam kondisi menang dan benar. Dalam menjalani hidup sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan adalah suatu hal yang wajar ketika kita berinteraksi dengan sesama. Namun, menjadi luar biasa ketika kita bisa menyikapi kesalahan tersebut dengan suatu proses saling maaf dan memaafkan.

Seorang pemaaf akan dicintai oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Dan yang paling berpeluang besar mencintai seorang pemaaf adalah orang yang pernah menyakiti dan merugikannya. Maka, wajarlah ketika musuh-musuh Rasulullah yang dengan keras menentang ajarannya bisa berbalik menjadi follower nya dengan penuh cinta dan sangat menyayanginya, karena Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam adalah pribadi yang terbebas dari perasaan dendam dan selalu memaafkan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh.” [al-A’raf/7:199]

“Memaafkan adalah bentuk tertinggi dari pengertian dan bentuk terkuat dari kasih sayang.” Mario Teguh

Hari Fathu Makkah, ya pada hari penaklukan kota Mekkah itu Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa dari datang bersama pasukan berkekuatan 10.000 tentara dengan persenjataan yang lengkap. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy memperhatikan kekuatan itu dari atas sebuah bukit. Ia berkata kepada Abbas, paman Rasulullah Saw. “Wahai Abbbas, tak seorangpun yang sanggup dan kuat menghadapi pasukan sehebat ini.” Namun apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melampiaskan dendamnya pada saat berkuasa seperti itu? Apakah Nabi mencari Hindun dan Wahsyi yang telah membunuh dan memakan jantung Hamzah paman nabi? Apakah Nabi membalas dendam atas kematian Mus’ab bin Umair di perang Uhud yang mayatnya dicincang orang kafir? Tidak, tidak! Pada saat itu Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam tidak menghukum siapapun. 

Rasulullah Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam menyebarkan rahmat dan cinta kasih kepada orang Mekkah yang selama ini memusuhinya dan ingin menghancurkannya. Pada saat itu Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam memaafkan mereka semua seraya berkata: “Siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram dia selamat. Dan siapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan dia juga selamat.”

MasyaaAllah.. hari itu sejarah mencatat bahwa Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam telah memberikan ampun, maaf dan janji keselamatan kepada musuh-musuhnya. Hari itu runtuhlah benteng kesombongan kafir Quraisy.

Dengan kata maaf yang diumumkan secara meluas itu bertaubatlah Quraisy akan kesalahan mereka selama ini. Seluruh kesalahan Quraisy dari pertama menyiksa umat Islam, memfitnah Nabi Muhammad Shallallahu a'laihi wasallam sebagai orang gila, penyihir dan dukun, memerangi dan membunuh umat Islam selama bertahun-tahun... dimaafkan dan diampunkan Nabi tanpa kecuali.

Allahu Akbar, alangkah luasnya samudera maaf di hati Rasulullah.

Ditebarnya senyum kepada seluruh kafir Quraisy dan dituturkannya dengan lembut kepada manusia-manusia berhati besi itu, “Idzhabuu wa antum Thulaqaa… pergilah, kamua semua bebas.”

Firdaus Khalimi di kolom harianjogja.com menulis sebuah artikel yang membuat saya tertegun judulnya; ‘Nabi Pemaaf – Ummat Pemarah’, bahwa ratusan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad, di jazirah Arab telah beredar kisah akan datang seorang rasul terakhir, penutup para nabi, seorang laki-laki yang akan menyempurnakan ajaran terdahulu. 

Dalam kisah kuno itu disebutkan ciri utama dari sang nabi terakhir itu adalah pribadi agung yang selalu mendahulukan maaf. Ribuan syair disusun oleh para pujangga Arab untuk menyambut manusia agung itu. Meski begitu, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana rasul itu akan lahir.

Mereka sangat menantikan kehadiran rasul terakhir itu karena keadaan di jazirah Arab waktu itu sangat kacau, berlaku hukum rimba, siapa kuat, dia yang menang. Betapa indahnya jika yang akan lahir itu adalah seorang yang mendahulukan maaf, bukan mendahulukan kekuatan atau mukjizat.

Jika kita yang mengaku umat Muhammad masih selalu mendahulukan balas dendam daripada memaafkan, sepertinya kita kurang mengenal Nabi kita. Bagaimana kita akan mencintai Nabi kalau kita tidak mengenalnya secara utuh. Satu hal dari bermacam sifat kenabian yang wajib untuk kita teladani adalah mendahulukan maaf. Perlu dipahami memaafkan tidak sama dengan kalah. Justru orang yang mampu dan mau memaafkan kesalahan orang lain sesungguhnya telah menang, menang melawan nafsu balas dendam. Islam didakwahkan dengan kasih sayang tidak dengan pedang dan kekerasan.

Nabi tidak pernah membalas dendam saat memiliki kesempatan, tidak marah atas perbuatan jelek orang padanya. Beliau marah jika hukum Allah Subhanahu wata'ala dilanggar. Peperangan yang beliau laksanakan adalah untuk menegakkan kasih sayang dan perdamaian, bukan untuk balas dendam.

Nabi tidak pernah berperang dalam keadaan marah. Bahkan beliau selalu menekankan agar kita jangan marah.

Artinya, ketika saat ini banyak dakwah dilakukan dengan energi kemarahan, sesungguhnya bukan dakwah yang sedang dilakukan tapi usaha balas dendam. Nabi menjanjikan bahwa dengan menahan marah, imbalannya adalah surga. Untuk menjadi umat pilihan tentunya sifat pemaaf ini wajib dimiliki oleh umat Nabi Muhammad.

Dengan selalu mendahulukan maaf, maka umat Islam tidak akan mudah diadu domba dan dipecah belah dengan isu-isu murahan. Dengan selalu memaafkan, maka tanpa perang sesungguhnya kita sudah menang.

Mungkin saat ini umat Islam di Indonesia sedang mengalami sindroma mayoritas.

Sindroma ini muncul jika ada pihak minoritas yang berbeda dengan mayoritas. Si mayoritas akan merasa terganggu keberadaannya dengan munculnya perbedaan. Sindroma seperti ini melanda kepada pihak-pihak yang selalu merasa kalah, tidak aman dan hidup dalam tekanan. Seakan apapun yang dilakukan orang lain adalah untuk menyerang dirinya.

Semoga pendapat ini salah dan kita bisa memulai fajar baru dengan terbitnya matahari maaf dalam sanubari kita.

Masih teringat dalam ingatan kita tentang pembuatan film “Innocent of Muslim” yang dibuat oleh seorang warga USA, ketika melihat film tersebut, seakan-akan iman kita tercabik-cabik, dan bahkan banyak orang yang melakukan kekerasan demi membalas sakit hati itu. Tapi ketahuilah tidak ada perbuatan yang pantas untuk kita lakukan sebagai umat islam selain "memaafkan", berikut sebuah penggalan kisah Rasulullah dengan seorang fakir yang ingin membunuhnya.

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah untuk melaksanakan maksud dan tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang.

Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”

Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”. Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid.

Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian sudah ada yang memberinya makan?”.

Para sahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!” Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar, Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”.

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada Tuhan selain Allah).” Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”. Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri.

Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah.”

Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin.”

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, TIADA SEORANGPUN DI MUKA BUMI YANG LEBIH KUCINTAI SELAIN MUHAMMAD RASULULLAH”.

Sungguh rindu kami padamu Ya Rasul … 

Pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”

Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim)

Ketika Rasulullah berdakwah di Thaif, beliau disambut dengan lemparan batu. Akibatnya, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beliau berjalan tertatih-tatih menyeret kakinya yang penuh darah dan berlindung di kebun anggur milik Utbah dan Saibah bin Rabi'ah. Malaikat Jibril merasa iba menyaksikan penderitaan kekasih Allah yang telah dinista. Kemudian Jibril berbisik, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu.

Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung. Agar engkau memerintahkan sesuatu menurut apa yang kau kehendaki.” Beliau bersabda, “Sungguh, aku berharap bahwa kelak Allah akan mengeluarkan dari mereka anak-anak yang menyembah Allah dan tidak pernah mempersekutukanNya.” (HR Bukhari-Muslim)

Betapa berat penderitaan Rasulullah di Thaif. Penderitaan itu terasa sangat menyakitkan, bahkan lebih berat dari yang dialami beliau sewaktu Perang Uhud. Namun, beliau tetap memperlakukan mereka yang telah menganiayanya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Peristiwa lain yang sangat spektakuler dan sudah disinggung pada bagian awal bab ini adalah ketika Rasulullah bersama kaum Muslim memasuki Kota Makkah dan meraih kemenangan (Fathu Makkah). Kaum Quraisy yang telah menganiaya dan membunuh kaum Muslim, hatinya terasa kecut karena takut akan pembalasan Rasulullah. Namun, Rasul memahami kegelisahan dan kegundahan mereka. Beliau bersabda, “Aku akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh saudaraku Yusuf bahwa pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.”(QS Yusuf: 92).

Berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah bukan saja sebuah keteladanan tentang pemaafan dan kebesaran jiwa yang agung, melainkan sebuah pelajaran bagi kita bahwa menyampaikan kebenaran harus diiringi dengan sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan menjauhi sikap kasar. “Maka, disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS Ali Imran [3]: 159). Karena keagungan akhlak Rasulullah itu pula, beliau mendapat dua gelar dari Asma Allah, yakni Ro'ufur Rahim, yang berarti penyantun dan penyayang. (QS at-Taubah [9]:128 ).

Sifat pemaaf, penyayang, dan bersikap lemah lembut adalah mutiara akhlak setiap pribadi Muslim. Ibaratnya, bila ada rombongan yang membenci dan dendam datang untuk menginap, seorang Muslim itu akan berkata, “Maaf Tuan, kamar hatiku telah penuh dengan tamu-tamu cinta, tidak ada lagi ruangan kosong yang tersedia di kamar hatiku.” Inilah sikap seorang Muslim yang tidak lain hanyalah menghasilkan untaian cinta.

***

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Sahabatnya. Di sana Beliau Shalallahu A'laihi Wa Sallam memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam memberikan tausiyahnya, tiba-tiba Beliau Shalallahu A'laihi Wa Sallam berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga."

Para Sahabat pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiq, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, dan beberapa Sahabat radhiallaahu 'anhu lainnya. Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana, pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau Shalallahu A'laihi Wa Sallam pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga." Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Sahabat yang berkumpul pun terheran-heran, ada apa dengan pemuda sederhana itu dan siapa?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam mengatakan hal yang serupa. Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Sahabat, Mu'adz bin Jabbal pun merasa penasaran. Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adz berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajjud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut.

Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha. Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau Shalallahu A'laihi Wa Sallam menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.

"Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud. Bacaanku pun tidak fasih.

Aku juga belum mampu shalat dhuha. Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah. Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"MasyaaAllah...kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"MasyaaAllah...lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Wallahu a'lam bi shawwab. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

Teosof Inggris dan pemimpin nasionalis India, Presiden Kongres Nasional India pada 1917

“Siapa pun yang mempelajari kehidupan dan sifat Nabi besar dari jazirah Arabia ini, siapa pun yang mengetahui bagaimana ia mengajar dan bagaimana ia hidup, pasti memberikan rasa hormat kepada Nabi agung itu, salah seorang utusan Tuhan yang luar biasa. Dan meskipun dalam uraian saya kepada Anda akan tersebut banyak hal yang barangkali sudah biasa bagi kebanyakan orang, akan tetapi setiap kali saya membaca-ulang tentang dia, saya sendiri merasakan lagi kekaguman yang baru, menimbulkan lagi rasa hormat yang baru kepada guru bangsa Arab yang agung itu.”

[The Life and Teachings of Muhammad, Madras, 1932, h. 4]


0 Response to "Sifat Pemaaf Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam "

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak