Cara Rasulullah Menjadi Pendengar Yang Tulus

Cara Rasulullah Menjadi Pendengar Yang Tulus

Bismillahirrahmanirrahim 

Yang akan kita bahas pada kali ini adalah satu hal langka dan hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, satu hal yang hanya dimiliki oleh pribadi-pribadi powerful. 

Satu hal yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu A'laihi Wa Sallam dan itu berarti satu hal yang harus juga kita miliki, hal tersebut adalah kemampuan untuk "mendengar".

Di negara Indonesia, banyak orang suka bicara tapi jarang mendengarkan, di warung, di kampus, di kampung, di kantor sampai di gedung DPR. 

Media Televisi banyak memfasilitasi orang-orang yang suka bicara. Semua berbicara, sampai-sampai tak sempat mendengarkan orang lain.

Salah satu kesempurnaan Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam adalah caranya dalam melakukan dialog dan komunikasi dengan kawan maupun lawan.

Kemampuan komunikasinya itulah yang dapat membuat orang tertarik, kemudian mengikuti ajaran yang dibawanya. Muhammad tentu bukan ahli sihir, kemampuan komunikasinya bukan dari hasil praktek mistik, tapi merupakan latihan panjang dari proses pengembangan dirinya sejak kecil.

Salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah dalam berbagai dialognya adalah kesediaan beliau menjadi pendengar yang baik. 

Rasululllah tidak saja pandai berbicara, tapi juga pandai mendengar. Selain menjadi pembicara yang baik, beliau adalah pendengar yang sangat baik. 

Berikut ini kisah Rasulullah ketika berdialog dengan perunding ulung yang akhirnya takluk setelah berdialog dengan beliau.

Ketika Rasulullah sudah mulai melakukan dakwah secara terbuka, kaum

kafir Quraisy gundah dan guncang hatinya. Mereka ingin membendung aktivitas dakwah Muhammad dengan segala cara. 

Salah satunya adalah dengan mengutus Utbah bin Rabi’ah untuk melakukan negosiasi.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utbah duduk di sebelah Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam seraya berkata: 

“Wahai anak pamanku, sesungguhnya engkau mengetahui secara pasti kedudukanmu di tengah-tengah kaummu. Engkau telah memecah-belah barisan mereka, engkau caci-maki tuhan-tuhan mereka, dan engkau kafirkan nenek moyang mereka. Karena itu dengarkanlah kata-kataku: Aku akan menyampaikan beberapa tawaran, mudah-mudahan kamu mau menerima sebagiannya.”

Rasulullah berkata: “Wahai Abdul Walid, katakanlah. Aku akan mendengarnya” Lalu Utbah bin Rabi’ah mengutarakan panjang lebar segala tawarannya. Ketika selesai, Rasulullah kembali bertanya: “Sudah selesaikah wahai Abdul Walid?” Ia menjawab, “Sudah”

Rasulullah kemudian berkata: “Sekarang dengarkanlah kata-kataku” Ia pun menjawab: “Silahkan” Lalu Rasulullah membacakan beberapa ayat dari surat Fushilat.

Sampai pada akhirnya beliau membaca ayat sajadah (ayat 37), dan beliau bersujud. Lengkapnya ayat itu berbunyi:

“Dan sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang Menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”

Setelah itu beliau berkata kepada Utbah, engkau telah mendengarkannya dan kini silahkan temukan sikapmu. Utbah segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi menjumpai teman-temannya.

Sebagian dari mereka berkata: “Demi Allah, Abdul Walid datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan ketika ia berangkat.” Utbah meminta kepada mereka supaya memanggil Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam, akan tetapi mereka enggan. Mereka malah berkata: “Ia telah menyihirmu dengan ucapannya.”

Jika kita perhatikan percakapan antara Rasulullah dengan Utbah sungguh sangat menarik. Selain bobot pembicaraannya yang bagus, cara dialognya juga mempesona. 

Rasulullah sebagai tuan rumah terlebih dahulu mempersilahkan tamunya untuk menyampaikan maksud kedatangannya.

Dengan penuh perhatian beliau mendengarkan sampai pembicara tuntas menyampaikan maksudnya. Beliau tidak memotong pembicaraan lawan bicaranya, malah beliau bertanya kepadanya, “Wahai Abdul Walid, apakah kamu sudah selesai?”

Kesediaan Rasulullah mendengarkan hingga tuntas pembicaraan orang merupakan cerminan akhlaq beliau yang sangat mulia. Dengan akhlaq mulia itulah Rasulullah menaklukkan hati orang, sehingga bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan ajakannya.

Utbah adalah salah seorang mitra dialog yang kemudian tertarik dan terpesona dengan gaya komunikasi beliau. Tak heran jika teman-temannya kemudian mengatakan kepadanya bahwa Utbah telah tersihir ucapan Muhammad. 

Jika dihitung, ucapan Utbah jauh lebih banyak dari ucapan Rasulullah. Bahkan beliau hampir tidak berkata apa-apa kecuali sekadar membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an. Justru dengan berhemat bicara inilah akhirnya Utbah kepincut, dan akhirnya menyerah.

Sebagai ummatnya tentu sebuah keharusan untuk kita meniru dan mempraktekkan gaya Rasulullah dalam berdialog dan berkomunikasi.

Beliau tidak ingin mendominasi pembicaraan, sebab hal itu sama saja dengan serakah, yang merupakan sikap yang dicela oleh Islam. Menjadi pendengar yang baik akan menjadikan kata-kata kita menjadi jauh lebih powerful.

Bayangkan sebuah keadaan dimana Anda sedang berbincang-bincang dan menceritakan tentang sesuatu kepada teman Anda, tetapi baru sepatah kalimat teman Anda tersebut memotong kalimat Anda dan mengambil alih pembicaraan.

Ketika Anda bicara lagi sepatah – dua patah kalimat kemudian teman Anda tersebut kembali “menginterupsi” lagi dan kembali mengambil alih pembicaraan, seolah-olah teman Anda tersebut ingin mendominasi pembicaraan dan begitu seterusnya.

Kira-kira bagaimana perasaan dan tanggapan Anda terhadap teman Anda tersebut?, saya yakin pada kesempatan yang lain apapun yang dikatakan teman Anda itu tidak akan didengar oleh siapapun.

Sebaliknya, jika ketika Anda berbicara kemudian teman bicara Anda 

menyimak Anda dengan penuh perhatian, fokus mendengarkan dan sesekali memberikan tanggapan kecil terhadap cerita Anda, terlihat antusias terhadap cerita Anda, serta mendengarkan dengan penuh penghargaan, kira-kira bagaimana perasaan Anda terhadap orang ini?.

Secara tidak sadar mungkin Anda akan merasa menyukainya dan secara tidak langsung orang ini akan menjadi orang yang berpengaruh bagi Anda cepat atau lambat.

Saya berani menjamin kejadian seperti diatas dan orang-orang dengan karakter seperti ini banyak Anda temukan di lingkungan Anda, hanya saja mungkin Anda tidak menyadarinya. 

Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik pastilah akan jauh lebih disukai dan diakui keberadaannya oleh lingkungan, bahkan secara sadar atau tidak, langsung maupun tidak langsung, pribadi seperti ini adalah pribadi yang memberikan pengaruh terhadap orang disekitarnya.

Di awal-awal kedatangan Islam, orang-orang Quraisy menganggap Nabi Muhammad adalah seorang penyanyi yang gila. Maka suatu saat datanglah seorang bernama Dhumad, seorang tabib yang ahli dalam ilmu kesehatan kejiwaan.

Dhumad datang ke Mekkah dan orang-orang Mekkah mengatakan kepada Dhumad bahwa “orang gila” tersebut berada di dekat Dhumad. Dhumad pun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata kepada beliau, 

“Wahai Muhammad, saya adalah orang yang ahli sakit jiwa. Tuhan menyembuhkan siapapun yang Dia kehendaki melalui tanganku. Datanglah padaku dan aku akan mengobatimu.” Dhumad pun mulai bercerita kesana-kemari menceritakan banyak hal kepada Nabi Muhammad.

Di sisi lain, manusia paling mulia ini senantiasa mendengarkan cerita Dhumad – seseorang yang menganggap Rasul sebagai orang gila dan pada saat itu ia belum masuk Islam. Segera ketika Dhumad selesai bercerita, Rasul pun mengatakan, 

“Segala puji bagi Allah, kami menyembah Allah saja dan kami memohon pertolongan hanya kepada Allah semata. Siapapun yang Allah beri hidayah, tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapapun yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah.”

Dhumad pun terkagum dengan perkataan Rasul tersebut dan meminta Rasul untuk mengulanginya dan Rasul pun mengulanginya. 

Dhumad pun kemudian menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad bukanlah orang gila, dan dia pun menyatakan diri masuk Islam di depan Rasulullah saat itu juga.

Indah bukan?, begitu pula jika Anda mau menjadi pendengar yang baik bagi teman, istri, suami, atau siapapun orangnya. Jadilah pendengar yang baik, hadapkan wajah Anda kepadanya. Gunakan ekspresi wajah yang menyenangkan ketika mendengar ceritanya dan perhatikan dampak dari menjadi pendengar yang baik. 

“Keahlian kita dalam menyimak perkataan seseorang secara seksama akan membuat mereka menyayangi kita...” Sheikh Muhammad Adib Ar-Rahman Al-Arifi.

Les Giblin dalam buku Skill with People menyatakan, “menjadi pendengar yang baik itu bukan suatu kebetulan. Seperti halnya karakter yang terbentuk dari kebiasaan berulang–ulang, begitu pula dengan kemampuan mendengar dengan hati. 

Artinya, bagi Anda yang selama ini lebih menggunakan mulut dibanding telinga masih mungkin berbenah diri asal mau.”

Menjadi pendengar yang baik bukan berarti pasif. Mendengarkan adalah suatu bentuk kegiatan aktif dengan sungguh-sungguh menaruh perhatian penuh. 

Ternyata banyak keuntungan yang didapat kalau kita gemar menyimak cerita orang lain. Menjadi pendengar aktif adalah modal terjalinnya komunikasi dan hubungan yang baik. 

Dengan kemampuan komunikasi yang baik akan tercipta hubungan yang nyaman. Entah itu di keluarga, di lingkungan kerja, bahkan dimanapun.

Kalau berani jujur, kadang kita terlalu ingin menjadi yang didengar, padahal kalau ingin didengar, kita harus mau mendengar. Mungkin mendengar terdengar sepele, tapi sebenarnya tidak mudah dilakukan karena keberadaan ego kita yang terlalu besar, keinginan untuk selalu menonjol, atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

Bayangkan, betapa senangnya saat seorang teman mendengar curhat kita dengan antusias - raut wajah sumringah, tatapan mata tertarik. Padahal, sebenarnya cerita kita itu tidak terlalu penting. Kita jadi merasa penting karena ada orang yang mau menyimak dan mendengar cerita kita.

Perasaan itu timbul karena rasa ingin dihargai adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Karena itulah, menaruh perhatian juga jadi syarat penting dalam berhubungan dengan manusa. ”Peraturan pertama dalam pertemanan adalah belajar menjadi pendengar aktif yang simpatik. Dan mendengarkan dengan minat tulus tidak bisa dipalsukan,” ujar Dale Carnegie.

Menurutnya, menjadi pendengar yang baik itu bukan tergantung mood. Namun, lebih kepada keahlian mendengarkan. “Mendengar secara aktif memang tidak bisa terjadi secara otomatis. Ini merupakan keterampilan yang bisa kita kuasai dengan banyak berlatih,” paparnya.

Salah besar kalau menganggap jadi pendengar yang baik akan membuat kita menjadi nothing atau orang yang tak diperhitungkan. Bahkan inti menjadi komunikator (penyampai pesan) yang efektif dan ulung adalah mendengarkan. 

Dengan mendengar dan menyimak orang lain berbicara, maka kita akan mengenal cara mereka berpikir. Itu akan memudahkan kita menyampaikan apa yang diinginkan dan diharapkan dari mereka.

Menurut Carnegie, perbedaan di antara kita akan jauh lebih kecil kalau kita mau mendengar secara seksama cerita orang-orang yang berada di sekeliling kita. Salah seorang guru pernah mengatakan; mendengarkan adalah sikap hati.

Seorang pendengar yang baik, bukan mendengarkan karena tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan. Dia mendengarkan, karena dia berencana untuk berbicara lebih baik setelah mendengar. 

Itulah sebabnya kita diminta mengerti bahwa berbicara adalah wilayah kepandaian, sedang mendengarkan adalah wilayah kebijakan. Dan, jika cara-cara membaca yang baik belum ramah kepada diri ini; maka gunakanlah cara termudah untuk belajar, yaitu mendengarkan.

Banyak orang yang gagal dalam membuat kesan yang menyenangkan, karena mereka tidak mendengarkan dengan penuh perhatian. Perhatian mereka telah begitu tersita dengan apa yang akan mereka ucapkan selanjutnya, sehingga mereka tidak memasang telinga.

Jadi, kalau Anda ingin tahu bagaimana membuat orang lain menghindari Anda dan menertawakan Anda di belakang, atau bahkan merendahkan Anda, inilah resepnya : jangan pernah mendengarkan siapapun dalam waktu yang lama, bicaralah tanpa putus-putus tentang diri Anda, dan ketika orang lain sedang berbicara jangan tunggu sampai selesai, segera saja potong di tengah kalimatnya.

“Always Listening, Always Understanding …”, slogan dari sebuah perusahaan ini rasanya pas untuk mewakili isi dari bab ini. Mendengar bukan berarti

pasif, mendengar adalah serangkaian kegiatan aktif, mendengarkan adalah menyimak, mengingat, dan memahami isi yang disampaikan.

Fokus mengarahkan telinga dan memusatkan perhatian pada informasi yang diuraikan. Dan ketika diminta harus mengulangi pesan tersebut, kita bisa menyampaikannya (lagi) dengan baik meskipun tidak sama persis. Ya, itulah pendengar yang baik.

Secara khusus, Stephen R. Covey penulis buku 7 habits of highly effective people, menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti.

Allah Subhanahu wata'ala menciptakan dua telinga dan satu lidah untuk kita, yang mengisyaratkan bahwa sungguh kita harus lebih sering mendengar dibanding berbicara. “Komunikator yang baik adalah pendengar yang bijaksana,” begitu kata seorang teman menasehati. Tentu, bukan berarti menjadi pendengar seseorang tidak berkomunikasi. Sebab, dengan menjadi pendengar, hakekatnya ia sedang berkomunikasi.

Cucu Rasulullah, Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhu pernah berkata:“Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan Ulama, hendaklah engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang lebar, hingga ia menyelesaikannya sendiri.”

Kemudian, janganlah terlalu banyak berbicara, karena sungguh sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang paling berpengaruh di dunia ini adalah orang-orang yang sedikit berbicara dan banyak bertindak. 

Berbicara disini tentu maksudnya adalah berbicara dalam hal-hal yang tiada bermanfaat, kemampuan kita untuk ‘diam’ dalam pembicaraan yang tiada bermanfaat akan menentukan pengaruh kita.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shalallahu alaihi wa salam, beliau bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam” (HR Bukhari dan Muslim)

Kualitas seseorang sangat dapat dilihat hanya dari intensitas berbicaranya, seberapa besar potensi kita untuk menjadi pribadi berpengaruh sangat ditentukan oleh hal ini, seberapa besar potensi kita untuk menjadi pribadi bermanfaat sangat ditentukan oleh faktor ini. Inilah faktor penentu kita dalam keberhasilan mengubah diri menjadi pribadi "penuh daya", faktor itu adalah ‘kemampuan mengendalikan lisan’.

Berkata Ibnu mas’ud radhia allahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian (wahai para sahabat) berada pada zaman yang banyak orang alimnya dan sedikit pembicara, akan datang nanti setelah kalian zaman yang sedikit orang alimnya tetapi banyak pembicaranya, barangsiapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, ia terpuji dan (barangsiapa) sebaliknya (sedikit ilmunya tapi banyak bicaranya) ia orang yang tercela”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. 

Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. 

Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. 

Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.” 

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam.

Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Orang yang banyak bicara menggambarkan dirinya sebagai orang yang kurang ilmu, karena orang yang berilmu dikenal sebagai orang yang lebih banyak berpikir dan melakukan pembelajaran agar dapat mendalami pengetahuan dengan lebih baik dan merenungkan permasalahan dengan lebih jernih. 

Hal ini sebaliknya bagi orang yang banyak bicara, mereka tidak suka berpikir mendalam, tidak mau merenungkan masalah dengan jernih, dan melakukan pembelajaran secara diam-diam karena dorongan nafsunya untuk terus bicara dan berbicara.

Akibatnya, yang diucapkan lebih banyak omong kosongnya daripada mengandung nilai yang bermanfaat dan berbobot kebenarannya. Hal ini akan menjerumuskan dirinya pada banyak kesalahan yang tidak akan terjadi pada orang-orang yang suka lebih banyak diam, kecuali hanya karena perlu dia berbicara.

Dalam upaya mendewasakan diri kita untuk menjadi pendengar yang baik, satu langkah awal yang harus kita pelajari adalah bagaimana menjadi pribadi yang berkemampuan dalam menjaga juga memelihara lisan dengan baik dan benar. 

Diam yang dimaksud disini adalah diam aktif, bukan diam sombong, diam marah, atau diam malas, tapi diam dengan produktif, diam dengan menghasilkan karya, diam dengan menghasilkan manfaat. 

Beberapa keuntungan diam aktif menurut KH. Abdullah Gymnastiar :

• Hemat Masalah

Dengan memilih diam aktif kita akan menghemat kata-kata yang berpeluang menimbulkan masalah.

• Hemat dari Dosa

Dengan diam aktif maka peluang tergelincir kata menjadi dosapun menipis terhindar dari kesalahan kata yang menimbulkan kemurkaan Allah.

• Hati Selalu Terjaga dan Tenang

Dengan diam aktif berarti hati akan terjaga dari riya ujub takabbur atau aneka penyakit hati lain yang akan mengeraskan dan mematikan hati kita.

• Lebih Bijak

Dengan diam aktif berarti kita menjadi pendengar dan pemerhati yang baik, diharapkan dalam menghadapi sesuatu persoalan pemahaman menjadi jauh lebih mendalam sehingga pengambilan keputusan pun jauh lebih bijak dan arif.

• Hikmah Akan Muncul

Yang tak kalah penting orang yang mampu menahan diri dengan diam aktif adalah bercahaya qolbu, memberikan ide dan gagasan yang cemerlang, hikmah tuntunan dari Allah Subhanahu wata'ala akan menyelimuti hati lisan serta sikap dan perilakunya.

• Lebih Berwibawa

Tanpa disadari sikap dan penampilan orang yang diam aktif akan menimbulkan wibawa tersendiri. Orang akan menjadi lebih segan untuk mempermainkan atau meremehkan.

Diam aktif merupakan upaya menahan diri dari beberapa hal seperti: diam dari perkataan dusta, diam dari perkataan sia-sia, diam dari komentar spontan dan celetukan, diam dari kata yang berlebihan, diam dari keluh kesah, diam dari niat riya dan ujub, diam dari kata yang menyakiti, diam dari sok tahu dan sok pintar.

“Barangsiapa banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah maka banyak pula dosanya, dan barangsiapa banyak dosanya maka api neraka lebih utama baginya”. (HR. Ath-Thabrani)

Imam Syafi’i pernah menasehati : ”Jika seseorang akan berbicara hendaklah ia berfikir sebelum berbicara, jika yang akan diucapkannya itu mengandung kebaikan maka ucapkanlah, namun jika ia ragu (tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan ia ucapkan) maka hendaklah tidak berbicara hingga yakin bahwa apa yang akan diucapkan itu mengandung kebaikan”.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu‘anhu berkata: “Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam berbicara, cukup bagi seseorang untuk berbicara seperlunya.” [Jami’ al- ‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali hal 134]. 

Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia! Tidak sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan dalam waktu yang lama daripada lidah.” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227].

Orang-orang bijak mengatakan : “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang bicaranya.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87].

Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Lebih berlaku adilah terhadap telingamu dari pada lidahmu! Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar dari pada berbicara.” [Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi].

Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:

“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu,mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43].

Bagaimana Rasulullah Muhammad Shalallahu A'laihi Wa Sallam begitu powerful mengubah peradaban dan menggerakkan orang lain dalam kebaikan?, salah satu faktor penentunya; Rasulullah adalah pendengar yang sangat baik, dan tidak banyak berbicara kecuali memang perlu, dua hal tersebut jika kita ikuti sungguh akan menambah kekuatan diri kita untuk menjadi pribadi penuh daya, yang kemudian kita gunakan kekuatan tersebut untuk menebarkan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia.

0 Response to "Cara Rasulullah Menjadi Pendengar Yang Tulus"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak