Mengapa Tiba-tiba Banyak Pemda Menaikkan PBB Gila-gilaan seperti Pati?

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang signifikan di berbagai daerah, seperti di Pati, Jawa Tengah, dipicu oleh beberapa faktor utama yang berkaitan dengan tekanan fiskal dan dinamika kebijakan daerah. 

Berikut adalah penjelasan mengenai alasan di balik fenomena ini:

1. Tekanan Fiskal dan Kebutuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pemerintah daerah menghadapi tekanan untuk meningkatkan PAD di tengah berkurangnya transfer dana dari pemerintah pusat, seperti dana bagi hasil sumber daya alam, serta stagnasi penerimaan dari retribusi. 

Kenaikan PBB-P2 dipilih sebagai solusi cepat karena mekanisme pungutannya sudah mapan dan basis data objek pajak tersedia. PBB-P2 dianggap instrumen yang mudah dioptimalkan melalui penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang kewenangannya ada di tangan pemerintah daerah.

2. Penyesuaian NJOP yang Lama Tidak Diperbarui

Di banyak daerah, seperti Pati, NJOP belum diperbarui selama lebih dari satu dekade (14 tahun dalam kasus Pati). Penyesuaian NJOP dilakukan untuk mencerminkan nilai pasar terkini, terutama di wilayah strategis, seperti dekat jalan raya atau kawasan perkotaan. 

Namun, pembaruan ini sering kali menyebabkan lonjakan pajak yang drastis, seperti di Jombang (hingga 1.202%) dan Cirebon (hingga 1.000%), karena nilai properti meningkat signifikan.

3. Desentralisasi dan Kewenangan Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan tarif PBB-P2 melalui Peraturan Daerah (Perda). 

Hal ini memungkinkan pemda seperti Pati, Jombang, dan Cirebon untuk menaikkan tarif tanpa persetujuan langsung dari pemerintah pusat, meskipun beberapa daerah, seperti Pati, tidak melaporkan rencana kenaikan tersebut ke Kementerian Dalam Negeri.

4. Kurangnya Sosialisasi dan Transparansi

Kenaikan PBB yang drastis sering kali tidak disertai sosialisasi yang memadai, sehingga memicu protes warga. 

Di Pati, misalnya, kenaikan 250% memicu demonstrasi besar pada 13 Agustus 2025, yang berujung pada pembatalan kebijakan setelah tekanan publik dan teguran dari Menteri Dalam Negeri. 

Kurangnya komunikasi publik memperburuk persepsi masyarakat bahwa kenaikan pajak hanya untuk menutup defisit anggaran tanpa manfaat nyata.

5. Dinamika Lokal dan Kebijakan yang Tidak Sensitif

Kenaikan PBB di Pati dan daerah lain sering dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat, yang masih sulit akibat harga barang yang naik dan tingginya angka PHK. 

Di Pati, Bupati Sudewo awalnya bersikap arogan dengan menantang warga untuk berdemonstrasi, yang justru memperkeruh situasi. 

Kebijakan ini juga dipandang sebagai langkah instan untuk mendanai proyek pembangunan tanpa mempertimbangkan dampak sosial.

6. Alternatif yang Kurang Dieksplorasi 

Para ekonom menyarankan bahwa pemda seharusnya mencari sumber pendapatan lain yang lebih berkelanjutan, seperti memperbarui data pajak secara digital, mengoptimalkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau memanfaatkan aset daerah yang menganggur melalui Kerjasama Pemanfaatan Barang Milik Daerah (KPBU). 

Namun, langkah-langkah ini membutuhkan waktu dan komitmen, sehingga banyak pemda memilih kenaikan PBB sebagai solusi cepat.

Dampak dan Resistensi

Kenaikan PBB yang drastis berpotensi menciptakan "tax shock", yang memukul daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan, dan memicu protes sosial, seperti di Pati, Jombang, Cirebon, dan Bone. 

Resistensi publik dapat berupa penunggakan pajak, aksi demonstrasi, atau bahkan gugatan hukum terhadap penetapan NJOP. 

Dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemda dan melemahkan iklim investasi properti.

Kesimpulan

Kenaikan PBB yang "gila-gilaan" di Pati dan daerah lain merupakan respons pemda terhadap tekanan fiskal dan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan PAD. 

Namun, kurangnya sosialisasi, transparansi, dan sensitivitas terhadap kondisi masyarakat menyebabkan kebijakan ini memicu gelombang protes. 

Pemerintah daerah disarankan untuk mengadopsi strategi yang lebih berkelanjutan, seperti pengelolaan aset dan digitalisasi data pajak, untuk menghindari dampak sosial dan politik yang merugikan.

0 Response to "Mengapa Tiba-tiba Banyak Pemda Menaikkan PBB Gila-gilaan seperti Pati?"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak