Objek-Objek Yang Dapat Dipikirkan dan Yang Tidak
Objek-Objek Yang Dapat Dipikirkan dan Yang Tidak
Studi tentang objek yang dapat (sah, valid) dipikirkan dan yang tidak, di samping hal yang aksiomatis (tak perlu pembuktian), juga merupakan pangkal masalah (‘uqdah al-uqad) dan dapat menggelincirkan banyak orang, termasuk para pemikir sekalipun.
Dikatakan aksiomatis, karena definisi akal atau pengetahuan yang pasti tentang makna akal telah memastikan secara aksiomatis bahwa proses berpikir hanya mungkin terjadi pada suatu fakta atau sesuatu yang mempunyai fakta.
Artinya, proses berpikir tidak bisa berjalan pada selain fakta yang terindera. Sebab, aktivitas berpikir merupakan proses memindahkan fakta melalui panca indera ke dalam otak.
Oleh karena itu, jika tidak ada fakta yang diindera, aktivitas berpikir tidak mungkin bisa dilakukan. Tidak adanya penginderaan terhadap fakta, telah meniadakan adanya proses berpikir dan kemungkinan proses berpikir.
Dikatakan pangkal masalah, karena banyak para pemikir yang membahas berbagai hal yang bukan fakta. Seluruh pembahasan filsafat Yunani hanya pembahasan pada sesuatu yang tidak ada realitasnya.
Pembahasan para ahli pendidikan tentang pembagian otak, juga hanya pembahasan mengenai sesuatu yang tidak bisa diindera.
Pembahasan para ulama kaum Muslim tentang sifat-sifat Allah atau sifat-sifat surga dan neraka, juga hanya pembahasan pada sesuatu yang tidak dapat diindera.
Jadi manusia secara umum telah didominasi oleh sikap mengambil banyak pemikiran atau banyak melakukan proses berpikir pada sesuatu yang tidak bisa diindera.
Berdasarkan ini, pembahasan tentang objek yang bisa dipikirkan dan yang tidak, merupakan pangkal masalah yang rumit.
Hanya saja, meskipun demikian dan meskipun banyak pengetahuan yang dihormati dan dipastikan sebagai akidah berupa objek-objek yang tidak bisa dipikirkan maka definisi akal dan menjadikan metode rasional yang dijadikan asas berpikir, menuntut bahwa objek yang bukan fakta atau tidak bisa diindera, tidak bisa dijadikan objek proses berpikir. Proses yang berlangsung juga tidak bisa dikatakan aktivitas berpikir.
Contohnya, pendapat tentang Akal Pertama, Akal Kedua, dan seterusnya (filsafat Neo-Platonisme-peny) hanyalah sekadar fantasi (khayalan) dan asumsi semata, karena tidak merupakan fakta yang inderawi dan tidak termasuk objek yang mungkin dapat diindera.
Artinya, proses berkhayal lah yang telah mengkhayalkan atau mengasumsikan adanya asumsi-asumsi teoretis itu, yang mengantarkan pada berbagai kesimpulan.
Fantasi semacam ini jelas bukan aktivitas berpikir. Berkhayal bukanlah proses berpikir. Bahkan seluruh asumsi yang ada meskipun asumsi-asumsi dalam matematika bukanlah proses berpikir dan bukan aktivitas berpikir.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah dikatakan, bahwa seluruh filsafat Yunani bukanlah pemikiran. Di dalamnya tidak berlangsung aktivitas berpikir sehingga tidak bisa dipandang sebagai hasil proses berpikir, sebab dalam filsafat Yunani memang tidak berlangsung proses berpikir dan tidak pula ada aktivitas berpikir. Filsafat Yunani hanya fantasi dan asumsi semata.
Contoh lain adalah pendapat bahwa otak terbagi ke dalam beberapa bagian dan setiap bagian khusus berkaitan dengan pengetahuan tertentu. Pendapat ini pun seluruhnya tidak lebih hanya fantasi dan asumsi semata, bukan merupakan realitas. Sebab, fakta otak yang bisa diindera menunjukkan bahwa otak tidaklah terbagi-bagi.
Artinya, terbagi-baginya otak tidak termasuk objek yang bisa diindera, karena otak yang sedang bekerja yaitu melakukan aktivitas berpikir tidak mungkin dapat diindera. Dengan demikian, pernyataan bahwa otak terbagi-bagi, di samping tidak sesuai dengan realitas, juga tidak dihasilkan melalui penginderaan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu pendidikan seluruhnya bukanlah pemikiran atau bukan hasil aktivitas berpikir, melainkan hanya fantasi dan asumsi belaka.
Contoh lainnya adalah pendapat bahwa Allah Swt mempunyai sifat qudrah (kuasa) dan sifat keberadaan-Nya sebagai qâdir (Yang Berkuasa). Dikatakan, bahwa sifat qudrah mempunyai hubungan opsional yang bersifat qadim (ta‘alluq takhyîrî qadîm) dan hubungan opsional yang bersifat baru (ta‘alluq takhyîrî hâdits).
Demikian juga pengajuan berbagai argumentasi rasional tentang sifat-sifat Allah.
Semua itu dan yang sejenisnya, meskipun terkesan sebagai pembahasan rasional dan berdasarkan argumentasi akal, sebenarnya bukanlah pemikiran atau produk proses berpikir.
Sebab, di dalamnya tidak berlangsung aktivitas berpikir karena sifat-sifat Allah Swt bukan merupakan objek yang bisa diindera oleh manusia.
Walhasil, aktivitas berpikir atau proses berpikir tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya fakta yang bisa diindera oleh manusia.
Namun demikian, terdapat sejumlah objek atau perkara yang mempunyai fakta, tetapi fakta tersebut tidak mungkin diindera oleh manusia dan tidak mungkin ditransfer ke dalam otak.
Meski demikian, pengaruh/bekas (atsar, effect) fakta itu bisa diindera oleh manusia dan bisa ditransfer ke dalam otak melalui proses penginderaan. Perkara semacam ini merupakan suatu hal yang padanya dapat berlangsung aktivitas berpikir. Dengan kata lain, padanya akan berlangsung sebuah proses berpikir.
Akan tetapi, proses berpikir yang terjadi hanya terkait dengan eksistensi (keberadaan)-nya semata, bukan dengan hakikatnya. Sebab yang ditransfer ke dalam otak hanyalah pengaruh/bekasnya, sedang pengaruh hanya menunjukkan keberadaannya saja, tidak menunjukkan hakikatnya.
Contohnya, jika ada pesawat terbang tinggi sekali sampai tidak bisa terlihat dengan mata telanjang, tetapi suaranya bisa terdengar, maka suara pesawat tersebut dapat diindera oleh manusia. Suara tersebut merupakan bukti keberadaan pesawat, tetapi suara itu tidak bisa menunjukkan hakikat (nature) pesawat.
Dengan demikian, suara yang terdengar adalah suara yang berasal dari sesuatu yang ada. Dalam hal ini, kemampuan panca indera untuk membedakan sesuatu bisa menunjukkan bahwa suara tersebut adalah suara pesawat terbang.
Aktivitas berpikir pada contoh tersebut sepenuhnya berkaitan dengan eksistensi bukan hakikat pesawat terbang. Yang terjadi adalah proses berpikir tentang keberadaan pesawat terbang. Keberadaan pesawat terbang telah bisa ditetapkan, padahal panca indera tidak bisa menginderanya secara langsung.
Yang bisa diindera hanya pengaruhnya saja, yaitu sesuatu yang menunjukkan adanya pesawat tersebut. Dengan demikian, akal memastikan keberadaan pesawat melalui keberadaan pengaruh pesawat.
Memang benar, mungkin dapat dibedakan suara pesawat Mirage dengan suara pesawat Phantom, dan mungkin pula jenis pesawat tersebut dapat diputuskan, sebagaimana dapat diputuskan bahwa itu adalah sebuah pesawat dengan cara membedakan jenis suaranya.
Akan tetapi, pengetahuan bahwa pesawat itu adalah Mirage atau Phantom hanya dilakukan dengan cara membedakan suaranya. Sebagaimana keputusan bahwa benda itu adalah pesawat atau bukan pesawat, dilakukan hanya dengan membedakan suaranya.
Meskipun demikian, keputusan ini bukanlah keputusan terhadap hakikatnya, melainkan keputusan atas jenis eksistensi dengan cara membedakan pengaruhnya. Bagaimanapun, keputusan ini adalah sebuah pemikiran, apa pun bentuknya, karena aktivitas berpikir di dalamnya berjalan secara nyata. Di dalamnya telah terjadi proses berpikir, karena panca indera telah mentransfer pengaruhnya.
Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa keputusan terhadap adanya pesawat merupakan dugaan (zhanni), sebab objek pembahasannya adalah kemungkinan adanya proses berpikir pada sesuatu yang pengaruhnya bisa diindera oleh manusia, tetapi zatnya (essence) tidak dapat diindera.
Bagaimanapun, andaikan keputusan bahwa suara itu adalah suara pesawat merupakan dugaan, tetapi toh keputusan keberadaan benda yang mengeluarkan suara tersebut adalah keputusan yang pasti.
Padahal kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari metode rasional sendiri memang bisa bersifat dugaan atau bersifat pasti, bergantung pada penginderaan terhadap fakta yang ditransfer ke dalam otak dan informasi-informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.
Namun demikian, proses berpikir yang berlangsung pada sesuatu yang tidak bisa diindera tersebut hanyalah khusus berkaitan dengan hal-hal yang pengaruhnya bisa diindera. Alasannya, pengaruh dari sesuatu adalah bagian dari keberadaan sesuatu itu.
Oleh karena itu, sesuatu yang pengaruhnya bisa diindera, dipandang bahwa keberadaannya pun bisa diindera oleh panca indera. Terhadap sesuatu tersebut bisa dilakukan proses berpikir, dan keberadaannya pun bisa dipikirkan dengan pasti. Begitu juga proses berpikir bisa terjadi pada perkara yang ditunjukkan oleh indera dan dibedakan jenisnya. Di luar itu, tidak ada yang bisa dijadikan objek berpikir sehingga tidak bisa dijadikan pemikiran.
Sebagai contoh, indera kadang-kadang bisa mencerap sejumlah perkara yang menjadi sifat (karakteristik) dari sesuatu, bukan pengaruh sesuatu. Sifat-sifat tersebut kemudian dijadikan sebagai perantara untuk menilai suatu perkara atau benda. Amerika, misalnya, memeluk ide kebebasan. Ini berarti, Amerika bukan negara imperialis.
Sebab imperialisme (penjajahan) merupakan penindasan terhadap berbagai bangsa. Dan ini bertentangan dengan gagasan kebebasan. Jadi, premis-premisini, yakni bahwa Amerika memeluk ide kebebasan, bukanlah salah satu pengaruh Amerika di luar negerinya, melainkan salah satu sifat yang dilekatkan padanya.
Jadi, suatu benda, misalnya, memiliki sifat begitu, tidak berarti sifat tersebut adalah pengaruhnya. Oleh karena itu, proses berpikir tidak bisa dilakukan terhadap sifat tersebut. Pasalnya, sifat tersebut bukan merupakan karakteristik yang ditransfer oleh pancaindra ke dalam otak untuk menilai seluruh aktivitas.
Semua itu hanya merupakan sifat khusus dari suatu perkara, bukan merupakan salah satu pengaruhnya. Oleh karenanya, berbagai perbuatan tidaklah bisa diputuskan melalui perantaraan sifatnya yang dijadikan premis-premis bagi perbuatan. Ini dikarenakan berbagai perbuatan manusia tidak mewujud pada diri manusia karena manusia menyifati dirinya dengan sifat tertentu.
Akan tetapi,berbagai perbuatan tersebut mewujud pada diri manusia karena adanya berbagai macam pertimbangan dan berbagai sifat yang berbeda-beda. Sebagai contoh,Islam adalah agama yang mulia.
Hal ini tidak berarti bahwa seorang muslim pasti mulia. Ini dikarenakan kemuliaan bukanlah agama, melainkan hanya merupakan salah satu pemikiran agama.
Manusia sendiri, ketika memeluk suatu agama, tidak secara otomatis terikat dengan agama yang dipeluknya. Jadi, kemuliaan bukanlah merupakan salah satu pengaruh agama, melainkan hanya salah satu sifat agama.
Keterikatan dengan agama juga bukan salah satu pengaruh agama, melainkan hanya merupakan salah satu sifat agama. Hal ini tidak bisa dijadikan sebagai objek berpikir karena ia hanya merupakan asumsi semata, bukan proses berpikir.
Berdasarkan penjelasan di atas, sesuatu yang bisa dijadikan sebagai objek berpikir adalah pengaruh/bekas (atsar, effect) dari sesuatu, bukan sifat dari sesuatu itu. Alasannya, pengaruh dari sesuatu adalah mungkin untuk ditransfer (ke dalam otak) melalui panca indera.
Lain halnya dengan sifat sesuatu, ia tidak bisa diindera sehingga tidak mungkin ditransfer (ke dalam otak) dengan perantaraan panca indera. Sifat yang ada pada sesuatu memang ada yang bisa diindera.
Akan tetapi, meski pun bisa ditransfer oleh panca indera, proses berpikir yang dilakukan hanya bisa ditujukan pada sifat itu sendiri, bukan pada pengaruh sesuatu.
Menjadikan sifat sesuatu sebagai perantara untuk menilai pengaruhnya atau untuk menilainya secara langsung, tidak akan membentuk aktivitas berpikir sehingga tidak akan berlangsung proses berpikir tentang sesuatu tersebut.
Dengan kata lain, sekadar asumsi semata tidak bisa dijadikan sebagai perantara untuk menilai sesuatu, karena asumsi tidaklah bisa diindera.
Memang benar, sebagian asumsi yang dijadikan premis dalam logika termasuk perkara yang bisa diindra. Akan tetapi, jika memang demikian adanya, hal tersebut berarti bukan termasuk asumsi, melainkan termasuk fakta.
Asumsi hanya sekedar perkiraan, bukan penginderaan, dan bukan pula perkiraan yang lahir dari proses penginderaan. Atas dasar ini, adalah sebuah kesalahan ketika asumsi dan fantasi dijadikan sebagai pemikiran.
Sering dikatakan, bahwa ketika objek berpikir dibatasi hanya pada objek yang dapat diindera, atau pada objek yang pengaruhnya dapat diindera, hal itu berarti telah menjadikan metode ilmiah sebagai asas berpikir, karena metode ilmiah tidak mempercayai apa pun kecuali objek yang bersifat inderawi. Jadi, kemana perginya metode rasional?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya metode ilmiah mensyaratkan agar objek-objek yang inderawi tersebut tunduk pada eksperimen dan pengamatan, tidak cukup hanya sekadar dapat diindera.
Oleh karena itu, proses berpikir (at-tafkîr) tidak dapat dilakukan kecuali pada objek-objek yang dapat diindera, baik yang tunduk pada eksperimen dan pengamatan, maupun yang hanya dapat diindera.
Hal itu tidak berarti menjadikan metode ilmiah sebagai asas berpikir, melainkan hanya menjadikan metode tersebut sebagai aktivitas berpikir yang benar, karena metode ilmiah mensyaratkan objek pemikirannya harus bersifat inderawi sekaligus harus tunduk pada percobaan dan pengamatan.
Berbeda dengan objek pemikiran dari metode rasional yang menuntut objeknya harus bersifat inderawi. Alasannya, yang menjadi dasar dari definisi akal bukanlah informasi terdahulu (al-ma‘lumât as-sâbiqah), melainkan fakta-fakta yang bisa diindera.
Informasi terdahulu, dalam hal ini, hanyalah syarat yang harus ada agar proses berpikir terhadap objek yang bisa diindera tersebut dapat berlangsung. Artinya, tanpa informasi terdahulu, yang terjadi hanyalah sekadar penginderaan saja.
Walhasil, yang menjadi persoalan pokok dalam berpikir adalah bagaimana proses berpikir dapat berlangsung pada fakta-fakta yang bisa diindera, bukan pada objek-objek yang hanya sebatas diperkirakan atau yang dikhayalkan keberadaannya.
Jadi, pernyataan bahwa proses berpikir manusia pertama telah berlangsung dengan metode tertentu tidak bisa dipandang sebagai proses berpikir. Sebab manusia pertama bukanlah fakta yang dapat diindera.
Manusia sekaranglah yang merupakan fakta yang dapat diindera. Artinya, kita harus mengambil manusia yang ada pada saat ini untuk dikaji bagaimana proses berpikir yang berlangsung pada dirinya.
Setelah itu, kesimpulan yang dihasilkan dari pengkajian tersebut kita terapkan pada jenis manusia. Sebab, jenis yang sama tidak akan berbeda-beda, atau tipe yang sama tidak akan berbeda-beda.
Jika kita mengambil satu butir tanah atau tanah tertentu yang kemudian kita indera, hasil penginderaannya pasti akan sama pada seluruh jenis tanah tersebut, baik tanah itu di hadapan kita maupun tidak, baik dijalankan proses berpikir terhadap tanah tersebut maupun tidak.
Yang penting adalah kenyataan bahwa sesuatu yang menjadi objek pemikiran haruslah berupa fakta yang dapat diindera, baik zatnya ataupun pengaruhnya.
Dengan demikian, secara mutlak dapat dikatakan bahwa proses berpikir pasti tidak akan dapat berlangsung pada objek apa pun yang tidak dapat diindera, baik zatnya ataupun pengaruhnya.
Atas dasar ini, harus menjadi kejelasan bahwa keputusan apa pun yang dikeluarkan atau informasi apa pun yang diambil dari selain fakta (inderawi) atau dari fakta yang diasumsikan atau dikhayalkan saja keberadaannya, tidak dapat dipandang ditinjau dari segi mana pun sebagai pemikiran atau merupakan produk akal.
Ini dikarenakan akal tidak akan bekerja tanpa adanya fakta yang dapat diindera atau yang dapat diindera pengaruhnya. Maka proses berpikir tidak akan berlangsung kecuali pada fakta atau pada pengaruh/bekas dari fakta, tidak pada objek-objek di luar itu.
Oleh karena itu, banyak sekali perkara yang diklaim sebagai pemikiran, baik yang terdapat di dalam buku-buku maupun yang dijadikan sebagai wacana sesungguhnya tidak bisa dianggap sebagai hasil kerja akal atau hasil dari proses berpikir, sehingga selanjutnya tidak bisa dipandang sebagai pemikiran.
Dalam hal ini, sering dijumpai perbincangan tentang hal-hal yang gaib (al-mughayyabat, unseen), baik yang gaib dari seorang pemikir maupun gaib dari penginderaan.
Lantas, apakah dengan demikian kesibukan otak untuk mencerap hal-hal gaib tidak dapat disebut sebagai proses berpikir? Selanjutnya, apakah pendapat yang dilontarkan seputar hal-hal yang gaib tidak bisa disebut pemikiran?
Jawabannya adalah, bahwa berbagai perkara yang gaib dari seorang pemikir sebenarnya bukanlah hal yang gaib tetapi tetap dipandang sebagai sesuatu yang hadir (dapat disaksikan).
Sebab, yang dimaksud dengan mentransfer penginderaan adalah transfer mana pun yang dilakukan oleh manusia mana pun, bukan yang hanya dilakukan oleh pemikir tertentu saja.
Sebagai misal, Makkah dan Baitul Haram, ketika keduanya atau salah satunya sedang dipikirkan oleh seseorang yang belum pernah melihat dan menginderanya, tidak berarti ia berpikir tentang sesuatu yang tidak dapat diindera.
Sebaliknya ia tetap dianggap sedang memikirkan sesuatu yang dapat diindera. Sebab, yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat diindera bukanlah yang secara langsung dapat diindera oleh seseorang, melainkan sesuatu yang pada faktanya memang dapat diindera oleh siapa pun.
Proses berpikir mengenai hal-hal yang gaib dari seseorang tetap dianggap sebagai proses berpikir, dan aktivitas otak untuk memikirkannya juga tetap dipandang sebagai proses berpikir.
Oleh karena itu, sejarah tetap dianggap sebagai pemikiran, meskipun penulisan atau pembicaraan mengenai sejarah tersebut telah berlangsung ribuan tahun.
Pengetahuan masa lalu juga tetap dianggap sebagai pemikiran, begitu juga aktivitas otak terhadapnya, meskipun berlangsung setelah ribuan tahun.
Demikian pula dengan berbagai berita yang disampaikan melalui telegram dan aktivitas otak ketika memikirkannya, tetap dipandang sebagai proses berpikir, meskipun datang dari jarak yang sangat jauh.
Dengan demikian, hal-hal yang gaib dari seorang pemikir tidak secara otomatis merupakan hal yang gaib secara mutlak, melainkan tetap termasuk sesuatu yang bisa diindera.
Sebab, penginderaan tidak disyaratkan harus ada pada diri seorang pemikir, karena kadang-kadang dia menerima informasi tentangnya, dan kadang-kadang dia hanya sekadar mendengar atau membacanya. Yang terpenting di sini adalah bahwa suatu pengetahuan tidak akan menjadi pemikiran, kecuali jika dihasilkan dari fakta-fakta yang dapat diindera.
Jadi, pengetahuan tentang fakta-fakta yang bisa dindera atau yang dapat diindera pengaruhnya, adalah pengetahuan yang bisa menjadi pemikiran, sehingga aktivitas otak terhadapnya dipandang sebagai proses berpikir. Di luar itu tidak bisa disebut sebagai pemikiran sehingga aktivitas otak terhadapnya juga tidak dapat dikategorikan sebagai proses berpikir.
Adapun hal-hal yang gaib dari penginderaan, inilah yang menjadi persoalan.
Untuk menjawabnya harus diperhatikan terlebih dulu, yaitu jika hal gaib tersebut disampaikan atau diriwayatkan dari sumber yang sudah dipastikan kebenaran perkataannya, dan keberadaan sumber itu telah ditetapkan dengan dalil yang pasti (qath’i), maka hal gaib tersebut dianggap pemikiran.
Aktivitas otak terhadapnya dianggap sebagai aktivitas berpikir, yakni proses berpikir. Ini karena kepastian adanya sumber yang menyampaikan atau yang meriwayatkan telah ditetapkan melalui penginderaan dan pemikiran yang pasti.
Dan kebenaran perkataannya juga telah ditetapkan melalui penginderaan dan pemikiran yang pasti. Karena itu hal gaib seperti itu pada asalnya dianggap berasal dari sesuatu yang terindera atau dari sesuatu yang terindera pengaruhnya.
Selain itu, keberadaan sumbernya serta kebenarannya telah ditetapkan dengan pemikiran yang pasti. Maka perkara gaib tersebut dipandang sebagi pemikiran, juga aktivitas otak terhadapnya disebut proses berpikir. Sama saja apakah penyampaian atau periwayatannya ditetapkan dengan dalil yang pasti (qath’i) atau dugaan (zhanni).
Karena kepastian hanya disyaratkan pada keberadaan sumber dan kebenaran sumber, sehingga hal gaib itu bisa disebut pemikiran. Di sini tidak disyaratkan adanya kepastian dalam sumber/ketetapan perkataannya (tsubut al-qaul), tetapi disyaratkan kebenaran perkataan meskipun dengan jalan dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Jadi perkara yang gaib yang berasal dari pihak yang keberadaan dan kebenarannya telah ditetapkan dengan dalil yang pasti dipandang sebagai pemikiran.
Juga aktivitas otak terhadapnya dipandang sebagai proses berpikir jika kemunculannya telah dinyatakan telah benar, baik dinilai benar melalui jalan yang pasti maupun benar melalui jalan dugaan kuat.
Akan tetapi, hal gaib yang kemunculannya berasal dari sesuatu dipastikan keberadaannya dan dipastikan kebenarannya, jika kebenarannya bersifat pasti, maka ia merupakan sesuatu yang pasti sumbernya dan pasti pengertiannya (qath’i ats tsubut qath’i ad-dalalah).
Maka hal itu wajib dibenarkan secara pasti (at-tashdiq al-jazim) dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun padanya. Jika kebenarannya tidak bersifat pasti tetapi bersifat dugaan (zhanni), maka boleh membenarkannya dengan tidak secara pasti (tashdiq ghair jazim). Tetapi keduanya tetap termasuk pemikiran, juga aktivitas otak terhadapnya dipandang sebagai proses berpikir.
Dengan demikian, hal-hal yang gaib yang terdapat di kalangan kaum Muslim, baik yang terdapat dalam hadits ahad yang dapat diterima untuk dijadikan dalil, maupun yang terdapat dalam al-Qur’an, dipandang sebagai pemikiran, dan aktivitas otak terhadapnya dipandang sebagai proses berpikir.
Adapun perkara gaib yang berasal dari sumber yang tidak dipastikan keberadaannya dan tidak dipastikan kebenarannya, maka ia tidak menjadi pemikiran, dan aktivitas otak terhadapnya bukanlah proses berpikir. Melainkan hanya khayalan (fantasi) dan asumsi, serta semata-mata omong kosong.
Karena itu, hal-hal yang gaib tidaklah dipandang sebagai pemikiran, dan aktivitas otak terhadapnya bukanlah merupakan proses berpikir, kecuali jika ia berasal dari sesuatu yang dipastikan keberadaannya dan dipastikan pula kebenarannya secara sahih.
Hanya dalam kondisi inilah hal yang gaib bisa disebut sebagai pemikiran dan aktivitas otak terhadapnya dipandang sebagi proses berpikir. Ini dikarenakan hal-hal gaib itu disandarkan pada sesuatu yang bisa diindera dari sisi asalnya, sebab ia dianggap berasal dari pihak yang dapat menginderanya.
Atau hal ghaib itu telah diambil dari pihak yang dipastikan keberadaannya dan dipastikan pula kebenarannya. Selain kondisi ini, maka hal-hal gaib bukanlah pemikiran, dan aktivitas otak terhadapnya pun tidak disebut proses berpikir.
Ini karena hal gaib tersebut tidak termasuk objek yang bisa diindera. Jadi berpikir adalah aktivitas otak terhadap objek-objek yang bisa diindera, atau yang bisa diindera pengaruhnya.
Sedangkan pemikiran adalah hasil dari aktivitas tersebut, yang tidak mungkin terwujud kecuali berlangsung pada objek-objek yang bisa diindera atau yang bisa diindera pengaruh/bekasnya.
0 Response to "Objek-Objek Yang Dapat Dipikirkan dan Yang Tidak"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak