Hukuman atas Pelaku Liwath

Hukuman atas Pelaku Liwath

Liwath merupakan kejahatan yang luar biasa besar. Tak heran bila hukumannya juga berat, baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebagian orang berselisih pendapat, apakah hukuman bagi pelaku liwath lebih berat daripada hukuman bagi pezina, ataukah sebaliknya, ataukah keduanya setara. Berikut ini ada beberapa pendapat.

Satu pendapat mengatakan bahwa liwath hukumannya lebih berat daripada zina. Hukuman bagi pelaku liwath adalah hukum mati, baik itu bagi muhshan (orang yang sudah menikah) maupun bukanmuhshan. 

Pendapat ini didukung oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah bin Zubair, Imam Malik, Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat darinya), Imam Syafi'i, dan Abdullah bin Abbas.

Pendapat lain mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku liwath sama dengan hukuman bagi pelaku zina. Yang berpandangan demikian antara lain:

Atha' bin Rabah, Hasan Bashri, Sa'id bin Musayyab, Qatadah, Auza'i, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam riwayat yang kedua.

Sedangkan Hakim dan Abu Hanifah berpendapat, hukuman liwath tidak sama dengan hukuman zina. 

Alasannya, liwath adalah persetubuhan pada tempat di luar tabiat manusia. Allah menurunkan hukuman berupa rasa benci semua manusia, bahkan binatang, terhadap pelaku liwath. Pelaku liwath tidak dijatuhi hukuman had seperti pezina. Alasannya, pelaku liwath tidak disebut sebagai zina (pezina), secara bahasa atau secara syariat, ataupun menurut pemahaman secara umum. Juga tidak ada nash al-Qur'an yang menetapkan bahwa hukumannya seperti hukuman zina.

Mereka menjelaskan, jika maksiat dilakukan menurut tabiat umum, hukumannya cukup had seperti yang ditentukan untuk hukuman zina, mencuri, dan minum minuman keras. Bertolak dari sini, tidak ada had bagi persetubuhan dengan binatang atau mayat.

Allah menciptakan tabiat dan fitrah yang menolak dengan sangat keras persetubuhan antara lelaki dengan sesama lelaki.

Bila yang menghendaki persetubuhan sejenis itu adalah kedua belah pihak, Hakim dan Abu Hanifah berpendapat, jika salah satu dari keduanya merasakan kenikmatan dengan praktik penyimpangannya, belum cukup bagi mereka hukuman zina (melainkan mungkin lebih keras lagi). 

Begitu pula halnya perempuan dengan perempuan, jika mereka melakukan persetubuhan dan saling menikmati, tidak ada hukuman pasti bagi mereka karena mungkin ada hukuman langsung dari Allah.

Pendapat pertama dipegang oleh mayoritas ulama dan hampir seluruh sahabat. Mereka mengatakan bahwa tidak ada maksiat yang lebih besar daripada kejahatan liwath. Yang terbesar adalah liwath, baru kemudian kekufuran, lalu pembunuhan. Dosa besar macam ini belum ada yang melakukan sebelum kaum Luth, di mana mereka menerima hukuman yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun kecuali diri mereka. 

Mereka memperoleh hukuman dengan kombinasi siksaan yang dahsyat, yakni dihancur leburkan, perkampungan mereka dibalikkan, dihujani bebatuan dari langit, dan diberi musibah yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun sebelum mereka. 

Itulah konsekuensi dari besarnya kejahatan yang telah mereka lakukan. Bumi nyaris miring karenanya. Orang-orang berlarian karena takut tertimpa azab yang sama. Bumi berseru kepada Allah, gunung-gunung nyaris tercerabut dari tempatnya berdiri. 

Karena itu, lelaki yang diperlakukan sebagai pasangan gay lebih baik dibunuh daripada diperlakukan seperti itu. Sedangkan pelakunya juga lebih baik dibunuh daripada dibiarkan hidup. Orang yang diperlakukan menyimpang sebenarnya adalah orang yang teraniaya, tetapi hukuman mati atas dirinya akan bermanfaat bagi akhiratnya. Lalu bagaimana kalau kedua lelaki itu memang saling menyukai?

Ada pendapat sebagai berikut. Allah telah menetapkan hukum had bagi pembunuh. Wali korban diberi dua pilihan: qishash atas si pembunuh atau diyat. Kalau ia memilih qishash, si pembunuh dijatuhi hukuman mati. Namun, bila wali korban memberi maaf dengan meminta diyat, si pembunuh harus membayar diyat. 

Untuk pelaku liwath diputuskan hukum bunuh. Para sahabat Rasulullah sepakat mengenai hal itu. Sunnah Rasulullah telah membuat dalil tegas untuk hukuman bagi tindak kejahatan semacam ini dan telah pula mengaplikasikan ketentuan tersebut secara nyata atas pelaku liwath.

Khalid bin Walid mengemukakan bahwa di suatu wilayah Arab ia pernah menemukan seorang lelaki mengawini sesama lelaki layaknya suami istri. Khalid pun melaporkan kasus itu kepada Khalifah Abu Bakar lewat surat. Khalifah lalu minta petunjuk kepada para sahabat. Pada saat itu Ali bin Abi Thalib ada di situ.

Pendapatnya paling keras, “Perbuatan semacam itu tidak akan dilakukan, kecuali oleh umat yang keji.

Kalian tahu apa yang dilakukan Allah terhadap umat itu? Menurut pendapatku, pelaku liwath patut dihukum bakar,” ujar Ali. Berdasarkan masukan Ali, Khalifah memerintahkan kepada Khalid agar membakar si pelaku liwath, dan hal ini benar-benar dilaksanakannya. (HR. Baihaqi).

Abdullah bin Abbas menjelaskan bahwa para sahabat memutuskan hukuman mati ini berdasarkan yurisprudensi hukuman Allah atas kaum Nabi Luth.

Ibnu Abbas meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

“Barangsiapa kalian temukan sedang berbuat seperti perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang melakukan dan yang diperlakukan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). 

Para sahabat berpegang pada hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,

“Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad).

Rasulullah belum pernah melaknat (mengutuk) para pezina sampai tiga kali dalam sebuah hadis.

Memang beliau pernah melaknat sekelompok orang yang melakukan dosa-dosa besar, tetapi tak lebih dari satu kali dalam satu hadis. Akan tetapi, lihatlah.

Allah, melalui Rasul-Nya, mengulang-ulang laknat atas para pelaku liwath sampai tiga kali dalam satu hadis, yang kemudian diperkuat oleh pendapat sahabat dengan ijtihad mereka. 

Berangkat dari sini, hukuman bagi pelaku liwath secara tegas ditetapkan, yaitu hukuman mati. Dari dua pendapat yang ada, tidak ada perselisihan tentang cara-cara pelaksanaan hukuman ini. Perbedaannya hanya dalam susunan kata-kata, bukan dalam penetapan hukuman mati tersebut.

Acuannya adalah firman-firman Allah sebagai berikut.

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (OS. Al-Isra' : 32).

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya), (ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, 

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu,yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (OS. Al-A'raf: 80).

Ada perbedaan antara liwath dengan zina. Allah menyamakan zina dengan kata fahisyah. Fahisyah berarti kekejian. Dalam konteks ini berarti kejahatan di atas kejahatan. 

Kejelasan makna perbuatan tersebut sebagai liwath dapat dilihat dalam konteks kalimat, “Mengapa kalian mengerjakan...?” Atau “Apakah kalian akan melakukan...?” Ayat di atas mengindikasikan suatu sifat “sangat” dalam kejahatan, yang sekaligus menunjukkan puncak kekejiannya sehingga harus disebutkan di mana-mana. Misalnya, penghujatan terhadap kejahatan Firaun:

“Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu.” (QS. Asy-Syu'ara' : 19).

Lalu Allah menempatkan liwith di level puncak kekejian yang melewati batas. Allah menyebutkan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di bumi ini sebelum kaum Luth itu, seperti disebutkan dalam surah al-A'raf ayat 80.

Ditegaskan bahwa nurani manusia tidak menyukainya, bahkan merasa sangat jijik. Fitrah manusia akan menghindari perbuatan lelaki menyetubuhi lelaki seperti memperlakukan perempuan. 

Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A'raf: 81).

Dengan tegas Allah memperingatkan mereka tentang haramnya perbuatan itu. Yang mendorong mereka kepada perbuatan itu tak lain hanyalah syahwat, bukan fitrah sebagaimana lelaki menyukai perempuan. Tidak didorong oleh kebutuhan akan kenikmatan, mendapatkan kasih sayang, dan cinta. Adalah fitrah kehidupan bila karena cinta, seorang perempuan mampu berpisah dengan kedua orangtuanya demi kasih sayang yang baru.

Ia akan cenderung dekat kepada suaminya. Fitrah seperti ini bertujuan untuk mendapatkan keturunan demi mempertahankan keturunan manusia yang merupakan makhluk termulia. Juga untuk

melindungi perempuan dan memenuhi kebutuhan keperempuanannya, selain untuk mendapatkan keluarga baru, seperti mertua, ipar, dan sebagainya.

Pertemuan antara lelaki dan perempuan dalam pernikahan akan memberi wahana bagi lelaki untuk menunjukkan kepemimpinannya dan perlindungannya atas perempuan, dan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya.

Dengan bersatunya lelaki dan perempuan secara sah, bisa lahir insan-insan mulia yang paling disukai Allah, misalnya nabi-nabi, para wali, dan orang-orang mukmin, di mana umat Muhammad adalah umat terbaik di antara umat nabi-nabi yang lain.

Masih banyak lagi kemaslahatan pernikahan.

Sebaliknya, liwath sangat berlawanan dengan itu semua. Dengan praktik liwath, perbuatan-perbuatan keji bukannya berkurang, melainkan justru kian merajalela.

Allah secara pasti mengklasifikasikan liwath sebagai keburukan yang paling buruk. Mereka menjungkirbalikkan fitrah Allah yang mengharuskan lelaki berfitrah sebagai lelaki. 

Mereka adalah kaum yang menjungkirbalikkan sifat dan tabiat yang diprogram Allah. Fitrah lelaki adalah menyukai perempuan, bukan menyukai sesama jenisnya, tetapi mereka membalik kebiasaan naluriah tersebut dengan menyukai sesama lelaki. 

Karena itu, Allah pun membalikkan rumah-rumah mereka, yang di atas dijadikan di bawah. Allah menjerembabkan mereka ke dalam siksa, dan menjungkirkan kepala mereka sebagai azab. Allah menetapkan liwath sebagai sebuah kejelekan, dan juga menetapkan mereka dengan israf yang melebihi hukuman had. 

Allah berfirman, “Bahkan kalian adalah kaum musrif,” yaitu kaum yang israf atau berlebihan terhadap diri sendiri. Maka renungkanlah, apakah perbuatan mereka itu melebihi perbuatan zina atau tidak?

Allah menetapkan itu dengan firman-Nya,

“Dan kepada Luth Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (QS. Al-Anbiya : 74).

Kemudian Allah menetapkan dosa dan kejelekan atas diri mereka dengan dua sifat:

Allah menyebut mereka “orang-orang yang berbuat kerusakan.” Bahkan Nabi-Nya pun memohon pertolongan dari azab yang bakal turun akibat perbuatan kaum perusak tersebut:

“Luth berdoa, 'Ya Tuhanku, tolonglah aku (dari azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (QS.Al-'Ankabut: 30).

Allah juga menamakan mereka sebagai “orang-orang yang zalim.” Malaikat berkata kepada Ibrahim 

“Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini, sesungguhnya penduduknya orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Ankabut: 31).

Renungkanlah hukuman dan celaan Allah di atas.

Setelah Ibrahim mendebat mereka, para malaikat memberitahunya tentang kebinasaan yang akan ditimpakan terhadap orang-orang itu:

“Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” (QS. Hud: 76).

Renungkanlah kekejian liwath itu. Penduduk Sodom sungguh berlebihan dalam melanggar ajaran Allah. Mereka bergegas mendatangi Luth setelah mendengar kabar tentang kedatangan tamu-tamu lelakinya yang berparas rupawan. Maka Luth pun berusaha keras meluruskan perbuatan mereka yang benar-benar menyimpang:

“Hai kaumku, inilah putri-putriku. Mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Hud: 78).

Luth mencoba mengalihkan perhatian kaum gay itu kepada putri-putrinya. Ditawarkannya putri-putrinya untuk dinikahi karena dia mengkhawatirkan cela besar atas diri mereka. Namun, apa hendak dikata. Mereka menolak mentah-mentah tawaran Luth.

“(Mereka menjawab), “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” (QS. Hud: 79).

Nabi Allah itu mengeluh. Desahan keluar dari hatinya yang resah:

“Luth berkata, “Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” (QS. Hud: 80).

Di tengah kekalutan itulah malaikat yang menyamar sebagai tamunya membuka rahasia. Mereka memberitahu Luth bahwa mereka berasal dari golongan yang tak terjamah oleh kaumnya yang keji.

Tamu-tamu itu berkata:

“Hai Luth, sesungguhnya kami utusan-utusan Tuhan-mu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu.” (QS. Hud: 81).

Malaikat juga menyampaikan kabar gembira kepada Luth bahwa kedatangan mereka adalah membawa janji untuknya dan kaumnya, berupa bencana yang akan menimpa. Para malaikat itu mengatakan:

“Sebab itu, pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seseorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81).

Luth merasa janji pembinasaan itu terlalu lambat datangnya. Dia berkata, “Aku akan lebih cepat dari pada ini.”

Malaikat menjawab, “Bukankah pagi telah dekat? Demi Allah, tidak ada satu pun di antara pembinasaan musuh-musuh Allah dan penyelamatan nabi serta walinya kecuali hanya sekejap, seperti jarak antara sahar (waktu menjelang fajar) dan fajar.”

Tiba-tiba rumah-rumah mereka tercabut dari tanah tempatnya berdiri dan terangkat ke langit. Para malaikat bisa mendengar riuhnya gonggongan anjing dan ringkikan keledai. Lalu turunlah azab Allah yang tak mungkin ditolak oleh hamba-hamba yang keji.

Allah berfirman:

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas di bawah (Kami balikkan) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar.” (QS. Hud: 82).

Allah menetapkan kejadian yang menimpa kaum Luth sebagai hujjah bagi alam semesta, sebagai nasihat bagi orang yang bertakwa, juga sebagai terapi kejut bagi pelaku dosa-dosa serupa dan dosa-dosa yang lain. Dewasa ini, Allah menjadikan perkampungan kaum terazab tersebut sebagai daerah pemukiman yang dilewati banyak orang. Allah berfirman:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 75-77).

Para gay dari kaum Luth dihantam azab Allah saat sebagian dari mereka tengah tidur pulas dan sebagian lagi sedang mabuk. Mereka sudah buta sehingga tiadalah berguna apa yang mereka usahakan dan mereka hasilkan. Kesenangan mereka dalam sekejap berubah menjadi kepedihan dan rasa sakit. Mereka disiksa karena perbuatannya. Segala kelezatan dunia lenyap, berganti menjadi kecemasan dan kekhawatiran. Mereka merasakan kenikmatan sesaat saja, tetapi disiksa dalam waktu lama. Mereka memanjakan diri dengan berbagai kesenangan, tetapi berakhir dengan keadaan mengenaskan.

Mereka mabuk karena minuman-minuman pemuas syahwat tanpa sadar bahwa diri mereka berada di dalam rumah-rumah yang terazab. Kealpaan telah melenakan mereka. Mereka terjaga dan sadar kembali setelah berada di rumahnya yang telah binasa. 

Mereka menyesal saat penyesalan tak lagi berguna. Masyarakat kota itu menangis. Api keluar dari lubang-lubang di wajah dan tubuh mereka.

Mereka berada dalam tingkatan neraka Jahannam.

Di dunia, mereka menenggak minuman lezat, tetapi di akhirat kelak, minuman itu akan berubah menjadi

nanah dengan daging berikut darah yang mengalir.

Akan dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah apa yang kalian usahakan!”

Firman Allah, “Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu, kamu diberi balasan terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Ath-Thur: 16).

Allah telah mendekatkan jarak siksa antara umat zaman ini dengan saudara-saudara mereka dahulu pada zaman Luth dalam perbuatan maksiat. Allah mengancam dalam firman-Nya:

“Yang diberi tanda oleh Tuhanmu dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS.Hud: 83).

Hukum Syariat tentang Liwath dan Zina

Penetapan hukuman bagi pelaku liwath, selain dalil tentang perzinaan, didasarkan pada beberapa dalil, baik berupa nash maupun pendapat ulama.

Salah satu pendapat mengatakan, liwith merupakan perbuatan maksiat tanpa had (hukuman) yang pasti dari Allah. Penetapan hukum liwath ini diambil dari beberapa pendapat yang dianggap sahih sebagai rujukan hukum, antara lain sebagai berikut.

1. Batas maksimal hukuman bagi pelaku liwath adalah hukuman mati. 

Inilah yang ditetapkan Rasulullah, sedangkan ketetapan Rasulullah datang dari Allah. Jika Anda menghendaki hukum yang bukan berdasarkan nash agama, itu  tidak bisa dibenarkan. 

Bila Anda berpendapat  bahwa hukum itu tidak punya dalil pokok seperti yang ada di dalam al-Qur'an, bukan berarti hukumnya terhapus karena ketetapan permanennya didasarkan pada sunnah saja. 

2. Ini seperti hukum rajam yang disandarkan pada  sunnah Rasulullah. Jika Anda berkata, “Hal  ini didasarkan pada nash al-Qur'an, di mana kalimatnya sudah dihapus tetapi hukumnya masih dipakai.” Kami menjawab, “Hukumannya berubah menjadi seperti hukuman peminum arak." 

3. Penghapusan dalil-dalil tertentu tidak berarti penghapusan seluruh dalil secara mutlak, dan tidak pula penghapusan semua hal yang ditetapkan oleh dalil. Adapun liwath adalah persetubuhan yang bertentangan dengan kebiasaan manusia, yang merupakan perbuatan menyimpang dari fitrah. Termasuk perbuatan menyimpang dari fitrah ini di antaranya homo-seksualisme, lesbianisme, persetubuhan dengan mayat atau binatang, dan lain-lain. Mengenai masalah ini, ada berbagai pendapat.

- Mengqiyaskan(menganalogikan) menyetubuhi waria cantik yang menggodanya dengan menyetubuhi mayat perempuan atau binatang adalah qiyas yang paling keliru. Apakah manusia bisa disamakan dengan keledai betina, sapi betina, atau mayat perempuan?

Itu hanya akan membelenggu akal orang-orang yang sedang mabuk syahwat, dan memenjarakan hati dan pikiran yang dikuasai oleh syahwat dan setan. Sungguh, tak ada qiyas yang lebih buruk daripada ini.

- Hal itu benar-benar qiyas atau analogi yang keliru, sekaligus penafsiran dan contoh yang buruk. Karenanya, qiyas itu ditolak oleh sunnah Rasulullah dan ijma' para sahabat, sebagaimana telah disebutkan.

- Ada pula persetubuhan yang lebih buruk, yaitu menyetubuhi ibu, anak gadis, atau saudara perempuan sendiri. Perilaku yang 

bertolak belakang dengan naluri fitrah ini membawa konsekuensi hukuman yang paling berat. Salah satu pendapat mengatakan bahwa hukumannya adalah hukuman mati, baik pelakunya muhshan maupun bukan muhshan. Ini adalah salah satu pendapat dari dua riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad dan sejumlah ahli hadis lainnya.

Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari hadis  Barra' bin Azib, “Aku bertemu pamanku. Ia tampak mengemban suatu tugas. Maka kutanyakan, “Hendak pergi ke manakah, Paman?" Pamanku menjawab,

“Rasulullah mengutusku kepada seorang lelaki yang mengawini istri ayahnya (ibu tirinya) setelah ayahnya (mengawininya). Aku akan memenggal lehernya dan mengambil hartanya.” (HR. Abu Daud).

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis inisahih.

Dalam Sunan Abi Dawud dan Ibnu Majah dari hadis riwayat Ibnu Abbas disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menyetubuhi perempuan mahramnya sendiri maka bunuhlah ia.” (HR. Ibnu Majah).

Pernah diajukan kepada Hajjaj sebuah kasus di mana seorang lelaki menyetubuhi saudara perempuannya sendiri secara paksa. Hajjaj berang dan memerintahkan, “Sekaplah ia, lalu tanyakan perihalnya kepada para sahabat Nabi yang ada di sini!” 

Bertanyalah orang-orang kepada Abdullah bin Mathaf. Dia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melanggar kehormatan orang mukmin maka langgarlah perutnya dengan pedang.”

Ketentuan membunuh dengan sasaran perut pada kasus ini merupakan dalil yang bersifat bebas atau tidak mutlak. Ketentuan bagi orang yang berbuat cabul kepada ibunya, anak gadisnya, perempuan-perempuan yang bukan haknya, perempuan yang masih mahramnya, atau perempuan yang belum boleh disetubuhi saat itu, adalah seperti hukuman yang ditimpakan terhadap para pelaku liwath, yaitu hukuman mati. 

Pada dasarnya, keabsahan mengambil dalil atas dua masalah dengan nash dan qiyas bisa dibenarkan. Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa berzina dengan mahramnya maka ia dikenai hukuman had. 

Perbedaan-perbedaan yang ada hanya dalam soal bentuk hukumannya: apakah dengan hukum mati dengan segala kondisinya, atau seperti had zina.

Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan, hukuman bagi pelaku penyimpangan seksual itu adalah had zina. 

Adapun Imam Ahmad, Ishaq, dan sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa pelaku penyimpangan seksual tersebut harus dijatuhi hukuman mati dalam beragam cara. 

Mereka juga sepakat, sekiranya pelanggarannya dilakukan dengan cara menikah, sedangkan si pelaku mengetahui keharamannya, ia dijatuhi hukuman had. Kecuali Abu Hanifah, ia menyatakan bahwa hal tersebut adalah syubhat, yang berarti dapat membatalkan had. 

Pendapat ini menuai kritik keras. Seharusnya, melakukan persetubuhan dengan mahram karena sudah dinikahi hukumannya justru lebih berat dan keras. 

Sebab si pelaku telah melakukan dua kesalahan besar, yakni menikah secara haram dan menyetubuhi. Bagaimana mungkin hal seperti ini dihukum ringan saja?

0 Response to "Hukuman atas Pelaku Liwath"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak