Kecerdasan Spiritual Romantis
Alkisah, ada dua sahabat Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam yang sangat setia dan sayang kepada istri masing-masing.
Dua sahabat itu adalah Umar bin al-Khattab dan Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu. Keduanya selalu membangunkan istrinya, kemudian anaknya, di malam agar melaksanakan salat tahajud (qiyam al-lail) dan makan sahur untuk puasa sunah.
Kedua sahabat ini merasa sangat berkesan ketika mendengar hadis qudsi yang disampaikan Jibril Alaihis Sallam kepada Nabi Shallallahu a'laihi wasallam: “Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa kemuliaan orang Mukmin itu terletak pada qiyam al-lail.” (HR. Muslim).
Sedemikian indahnya kesan itu, sehingga Umar bin al-Khattab berpesan kepada rakyatnya: “Manisnya kehidupan dunia itu terletak pada tiga hal: qiyam al-lail, bertemu dengan kawan seperjuangan, dan salat berjamaah”.
Pesan indah Umar ini, secara psikologis, mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki kecerdasan romantis (romantic intelligence).
Sebuah kecerdasan yang bersumber dari hati yang suci dan mulia untuk selalu bersyukur dengan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata'ala, kepada anggota keluarga, dan kepada sesama manusia.
Menurut penuturan ‘Aisyah, Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam pernah salat tahajjud sangat lama. Beliau meminta ‘Aisyah, biarkanlah aku berlama-lama (romantis) dalam beribadah kepada Allah.
‘Aisyah mendekati Rasulullah dan berkata: “Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang membahagiakanmu!” Rasulpun tidak “tergoda” oleh rayuan romantis Aisyah. Rasul kemudian mengambil air wudhu dan melanjutkan tahajjud malam itu.
‘Aisyah mengisahkan, Rasul meneruskan salat tahajjudnya sambil menitikkan air mata. Air mata itu mula-mula hanya membasahi pipi, lalu jenggot beliau, sampai akhirnya membasahi tanah tempat beliau salat.
Rasulullah terus menangis dalam salatnya hingga Bilal Radhiyallahu Anhu mengumandangkan azan subuh. ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah pasti mengampuni dosa masa lalumu maupun dosa mendatang?”
Rasul menjawab: “Tidakkah, dengan beribadah seperti itu, aku menginginkan diri ini menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!” Kata kunci kecerdasan spiritual romantis itu adalah kesadaran untuk selalu bersyukur kepada Allah dengan memperbaiki ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya seromantis mungkin.
Menjelang ajal kematiannya, Umar bin Abdul Aziz ditanya salah seorang rakyat yang membesuk di atas tempat tidurnya.
Pembesuk itu bertanya: “Apa yang engkau wariskan kepada 11 orang anakmu, wahai Umar? Sang khalifah menjawab: “Kuwariskan takwa kepada mereka. Jika mereka itu orang shalih, niscaya Allahlah akan memelihara kesalehan mereka. Akan tetapi, jika mereka tidak shalih, maka tidak akan kuwariskan sesuatupun yang membuat mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata'ala.”
Kecerdasan spiritual romantis Umar bin Abdul Aziz dalam mendidik dan mendewasakan putra-putrinya membuat mereka bergaya hidup penuh ketakwaan dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wata'ala.
Dengan kata lain, takwa adalah bekal, modal, sekaligus pengawal kehidupan yang membuat manusia semakin romantis dengan Allah Subhanahu wata'ala.
Sebaliknya, jika tidak dijaga dan dikawal dengan takwa, maka warisan harta berpotensi menyebabkan manusia maksiat kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Karena itu, sebaik-baik harta adalah harta orang shalih, karena pasti akan dimanfaatkan untuk kebaikan, termasuk disedekahkan dan dibelanjakan di jalan Allah.
Legasi kecerdasan romantis Umar bin Abdul Aziz tersebut diamalkan oleh salah satu putranya. Seorang penjenguk Umar itu lalu berkata: “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku menyaksikan salah seorang anakmu menyedekahkan 100 kuda untuk keperluan jihad di jalan Allah.”
Kecerdasan spiritual romantis merupakan penabur benih kasih sayang orang tua untuk kesalehan anaknya. Kecerdasan spiritual romantis itu indah dan mengindahkan nilai-nilai kemuliaan, karena penempuh jalan (salik) kecerdasan ini pasti menomorsatukan kecintaan dan kerinduannya kepada Sang Kekasih, Allah Subhanahu wata'ala.
Kecerdasan spiritual romantis sejati dapat mengalahkan kecintaan manusia terhadap dunia, harta, tahta, bahkan wanita. Oleh karena, terapi terhadap penyakit wahn: cinta dunia dan takut mati (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Adalah penyadaran dan pengembangan kecerdasan spiritual romantis. Merindukan kedekatan diri dengan Allah merupakan solusi terhadap berbagai persoalan hidup manusia.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meneladankan kecerdasan spiritual romantis dengan selalu berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon kepada-Mu untuk selalu merasa takut kepada-Mu, saat sendiri maupun ramai. Aku memohon kepada-Mu kelezatan untuk memandang wajah-Mu, dan merindukan pertemuan romantis dengan-Mu dalam situasi tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.” (HR an-Nasai, no. 1304).
0 Response to "Kecerdasan Spiritual Romantis"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak