Pentingnya Hak-hak Seksual

Pentingnya Hak-hak Seksual

Hak seksual adalah salah satu dari hak asasi manusia yang sangat penting dan pemenuhannya tidak dapat diabaikan sedikitpun. 

Setiap manusia-tanpa membeda-bedakan dalam hal apapun, termasuk identitas seksual, identitas gender, dan orientasi seksual-berhak mendapatkan pemenuhan hak seksualnya tanpa diskriminasi. 

Negara dan masyarakat berkewajiban membantu terpenuhinya hak seksual tersebut serta mempromosikan prinsip non-diskriminasi, prinsip non-kekerasan, dan prinsip kesetaraan bagi semua orang.

Dalam instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dinyatakan bahwa pemenuhan hak seksual manusia didasarkan pada tujuh prinsip utama, yaitu prinsip hak seksual sebagai hak asasi manusia; prinsip perlindungan demi tumbuh kembang anak-anak; prinsip non-diskriminasi; prinsip kenikmatan dan kenyamanan; prinsip kebebasan yang bertanggungjawab; prinsip penghargaan dan kebebasan manusia; dan prinsip pemenuhan hak.

Secara lebih rinci, prinsip-prinsip hak seksual tersebut dapat dielaborasi sebagai berikut.

1. Hak atas kenikmatan seksual laki-laki dan perempuan, terbebas dari kekerasan dan pemaksaan, tanpa kekuatiran akan infeksi penyakit, kehamilan yang tak diinginkan atau kerusakan tubuh.

2. Hak atas ekspresi seksual dan hak untuk membuat keputusan seksual yang konsisten dengan nilai-nilai personal, etika, dan sosialnya.

3. Hak atas perawatan, informasi, pendidikan, dan pelayanan kesehatan seksual.

4. Hak atas integritas tubuh dan hak untuk memilih, kapan, bagaimana, dan dengan siapa untuk menjadi aktif secara seksual dan terlibat dalam hubungan seksual dengan kesadaran penuh.

5. Hak untuk memasuki suatu relasi, termasuk relasi perkawinan dengan kesadaran bebas dan sempurna sebagai orang dewasa dan tanpa pemaksaan.

6. Hak atas privasi dan kerahasiaan dalam mencari pelayanan perawatan kesehatan reproduksi dan seksual.

7. Hak untuk mengekspesikan seksualitas tanpa diskriminasi dan kemerdekaan dalam reproduksi.

Dalam implementasinya di masyarakat, upaya pemenuhan hak seksual manusia berjalan seiring dengan pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi. Setiap orang pada prinsipnya memiliki hak untuk menikmati seksualnya. Akan tetapi, pemenuhan hak seksual tersebut harus mengindahkan sejumlah aturan agar tidak menimbulkan kerugian dan kesengsaraan dalam hidupnya kelak.

Misalnya, seseorang mesti tahu dan sadar apakah dirinya atau pasangannya mengidap penyakit kelamin yang dapat menularkan atau membahayakan orang lain atau pasangannya. Seseorang mesti mendapatkan informasi yang cukup tentang bahaya kehamilan yang tidak diinginkan dan bagaimana mencegah kehamilan seperti itu.

Demikian juga informasi tentang bahaya penggunaan obat-obatan dan berbagai alat bantu pemuas seksual.

Upaya menyampaikan informasi, promosi, dan advokasi tentang hak-hak kesehatan reproduksi secara intensif sudah dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat level nasional maupun internasional, dimulai sejak semua negara terlibat dalam memutuskan Deklarasi International Conference on Population and Development dikenal dengan ICPD, yaitu Kongres Internasional untuk Pembangunan dan Kependudukan di Kairo tahun 1994.

Salah satu keputusan ICPD adalah bahwa semua negara peserta berkomitmen untuk memberikan perhatian dan menjadikan bagian dari kebijakan di negara masing-masing tentang isu kesehatan reproduksi dan hak-hak kesehatan reproduksi.

Implikasi dari komitmen tersebut adalah semua negara peserta Kongres harus menjadikan kesepakatan Kairo itu sebagai dasar kebijakan dan praktik terkait dengan pemenuhan hak kesehatan reproduksi di dalam berbagai sektor pembangunan.

Dalam Deklarasi ICPD dinyatakan bahwa kesehatan reproduksi “mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial seseorang, bukan saja terbebas dari penyakit maupun kelemahan, tetapi berkaitan pula dengan sistim reproduksi, fungsi, dan prosesnya.”

Dalam upaya mewujudkan kesehatan reproduksi diperjuangkan hak-hak kesehatan reproduksi yang mencakup:

Hak untuk hidup; Hak atas kemerdekaan dan keamanan; Hak atas kesetaraan dan bebas diskriminasi; Hak atas kerahasiaan pribadi; Hak atas kebebasan berpikir; Hak mendapatkan informasi dan pendidikan; Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga; Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak, jumlah dan kapan harus mempunyai anak; Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan; Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan; Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik; Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.

Hak-hak kesehatan reproduksi tersebut secara konseptual pada level nasional dan internasional telah diakui sebagai hak dasar bagi pasangan dan individu untuk dipenuhi secara bebas dan bertanggung jawab.

Akan tetapi, dalam implementasinya di masyarakat hak-hak kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Misalnya, mandat bahwa 15% dari total remaja seharusnya mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, kenyataannya belum tercapai.

Pemerintah masih enggan untuk memasukkan materi pendidikan kesehatan reproduksi menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia. Berbagai kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur dan remaja masih sering terjadi, bahkan kecenderungannya semakin meningkat.

Ini mengindikasikan bahwa hak memperoleh perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan seksual bagi anak-anak belum terjamin atau terpenuhi sepenuhnya. Di sisi lain, hak kesehatan reproduksi tidak atau belum dapat dipenuhi karena hambatan aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, kebijakan, juga karena persoalan tafsir ajaran agama. Di samping itu, hak reproduksi belum memasukkan hak-hak individu bagi mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Hak-hak seksual-yang tercantum dalam Deklarasi IPPF on Sexual Rights dan dipertegas The Yogyakarta Principles-menciptakan perubahan besar dalam cara pandang negara dan masyarakat terhadap “kedaulatan tubuh manusia”, juga memberikan penghormatan yang luar biasa kepada perempuan, menjamin harkat dan martabatnya.

Jaminan pemenuhan hak itu oleh negara dilakukan melalui berbagai macam regulasi yang dibuat.

Dengan demikian, hak-hak kesehatan reproduksi dan hak seksual tidak hanya menjadi bagian penting dalam rangka penghormatan terhadap hak asasi manusia saja, namun lebih menempatkan manusia secara utuh dengan segala hak dan kewajibannya yang melekat di dalam dirinya.

Hak-hak seksual dimaksud meliputi :

Hak kesetaraan, perlindungan yang sama di muka hukum dan bebas dari diskriminasi; Hak berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas, dan gender; Hak hidup, merdeka, dan terjamin keamanan dirinya secara utuh; Hak atas privasi;

Hak otonomi pribadi dan pengakuan hukum; Hak berpikir bebas, berpendapat, berekspresi dan berserikat; Hak sehat dan manfaatbkemajuan ilmu pengetahuan; Hak pendidikan dan informasi; Hak menetapkan pernikahan, merencanakan keluarga, dan memutuskan tentang anak; Hak pertanggungjawaban dan ganti rugi.

Pemenuhan hak-hak seksual hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip hak seksual itu sendiri, yaitu sebagai hak asasi manusia, hak anak yang berdaulat, prinsip non-diskriminasi, prinsip kenikmatan seksualitas dan kebebasan bereproduksi, dan prinsip perlindungan anak. Negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak seksual semua orang.

Persoalan hak akan selalu berhubungan dengan manusia yangbmenjadi subyeknya. Pada satu sisi, manusia merupakan individu yang sekaligus merupakan makhluk sosial, dalam arti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain, manusia sangat bergantung dengan manusia lainnya. Tetapi sebagai individu, manusia memiliki hak-hak yang dijamin oleh negara.

Di sisi lain, manusia juga sebagai makhluk seksual. Peristiwa kelahiran manusia adalah akibat peristiwa seksual. Ketertarikan antara manusia satu dengan manusia yang lain adalah bagian dari seksualitas. Oleh karena itu, seksualitas haruslah dimaknai lebih luas, tidak hanya semata-mata hubungan seks. Manusia sebagai makhluk sosial dan seksual, menjadikan hubungan fungsi-fungsi itu menjadi sangat kompleks.

Pemenuhan hak-hak seksual bagi setiap individu dalam rangka memenuhi hak asasinya sudah barang tentu tidak boleh mengabaikan tatanan sosial yang berlaku di masyarakatnya dan tidak menimbulkan konflik dengan manusia lainnya.

Sejak tahun 1998, Indonesia melakukan Reformasi total atas semua produk regulasi yang dihasilkan selama pemerintahan Orde Baru. Salah satu hasilnya adalah diberlakukannya Amandemen UUD 1945, yang lebih menjamin warga sipil dalam rangka menjalankan perannya sebagai warga negara. Selain itu juga diberlakukannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini lebih menekankan kepada hak sipil politik (Sipol) para warga negara.

Pada tahun 2005, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. 

Melalui instrumen Undang-undang dan Ratifikasi tersebut, negara memberikan jaminan kepada seluruh warganya untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang di dalamnya termasuk Ratifikasi ICPD Kairo yang merupakan landasan diterbitkan hak-hak seksual.

Dalam implementasi pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual masih terdapat persoalan-persoalan mendasar.

Misalnya, perlakuan masyarakat maupun negara terhadap orientasi seksual berbeda, mulai dari akses pelayanan kesehatan yang harus mereka dapatkan sampai pada identitas mereka. Hukum, peraturan, maupun pedoman yang ‘buta’ gender akan banyak merugikan perempuan, sedangkan pedoman yang ‘buta’ seksualitas akan banyak merugikan kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transseksual/Transgender, Interseksual, dan Queer).

Setiap orang hendaknya mendapatkan informasi tentang berbagai hal terkait seks dan seksualitas. Tidak kurang pentingnya, informasi terkait ajaran agama yang menjelaskan hubungan seksual yang diakui dalam ajaran agama.

Memang diakui tidak mudah bagi kita mempromosikan hak-hak seksual tersebut. Paling tidak, ada tiga hambatan yang sering dihadapi.

Pertama, hambatan kultural atau budaya. Budaya patriarkhi yang kuat di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek seksual, dan karenanya dalam relasi seksual perempuan selalu diposisikan sebagai pihak yang pasif dan hanya menerima. Selain itu, paradigma heteronormativitas yang sangat kuat di masyarakat memandang orientasi seksual selain hetero sebagai hal yang negatif, tidak alamiah. Bahkan dianggap abnormal dan menyimpang.

Kedua, hambatan struktural, berupa kebijakan publik dan Undang-undang yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok transgender serta mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan hetero.

Ketiga, hambatan interpretasi ajaran agama. Umumnya interpretasi agama yang tersosialisasi luas di masyarakat masih belum ramah terhadap jenis kelamin perempuan; demikian juga interpretasi agama hanya berpihak kepada kelompok heteroseksual, dan belum mengakomodasikan kepentingan kelompok orientasi seksual lainnya, seperti homoseksual, biseksual, dan aseksual.

Dalam rangka memberikan pemahaman yang luas terkait dengan bagaimana khazanah Islam memandang hal-hal nyata dalam kehidupan manusia, khususnya terkait dengan implementasi pemenuhan hak-hak seksual, pada dasarnya domain etika dalam Islam dibedakan menjadi:

1. Domain ‘ibâdah yang sering kali diletakkan pada level paling atas.

2. Domain ahwâl syakhshiyyah (personal law) yang lebih diarahkan kepada hak otonom atau domain privat.

3. Domain mu’âmalah yang merupakan domain publik.

Dalam banyak kasus terkait dengan hak privat dan otonominperempuan atas tubuhnya yang merupakan domain ahwâl syakhshiyyah seringkali ditarik ke domain ‘ibâdah, seperti sunat perempuan, yang pada gilirannya malah menghilangkan hak otonominya.

Perlawanan yang muncul kemudian lebih memperjuangkan otonomi dan hak sakral perempuan, misalnya ke arah domain publik yang lebih bersifat mu’âmalah, seperti pada argumen Mohammad Abduh yang mengharamkan poligami karena implikasinya yang negatif terhadap perempuan Mesir, bukan pada masalah hukumnya.

Padahal Islam hadir untuk melindungi dan menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘âlamîn).

0 Response to "Pentingnya Hak-hak Seksual"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak