NEW NORMAL YANG DIPAKSAKAN
Di tengah masih tingginya kasus positif covid-19, rezim Jokowi telah bersiap untuk mengimplementasikan kebijakan new normal atau tatanan hidup normal baru. Secara sederhana, new normal berarti kehidupan sosial dan ekonomi dipulihkan seperti sediakala dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan covid-19 dan menerapkan physical distancing.
Mengapa rezim Jokowi buru-buru hendak menerapkan new normal padahal saatnya belum tiba? Alasan utama adalah ekonomi. Akibat penerapan PSBB, aktivitas ekonomi masyarakat melorot secara signifikan. Perusahaan-perusahaan merugi, sebagian tutup, sektor informal terpukul hebat, pengangguran melejit, dan terjadi pemiskinan massal. Hal ini menimbulkan kerawanan sosial dan pundi-pundi rezim menipis akibat berkurangnya penerimaan dari pajak.
Sementara utang perusahaan harus segera dicicil di tengah hilangnya pendapatan. Hal ini pada gilirannya akan memukul perbankan nasional. Tapi bukan hanya swasta yang kewalahan menghadapi utang, rezim pun demikian. Tak dapat diharapkan rezim bisa mencicil utang-utangnya yang menumpuk di tengah lesunya ekonomi. Karena itu, rezim mengeluarkan surat utang baru yang nilainya hampir mencapai Rp 1.000 triliun.
Maka, new normal diharapkan dapat menggerakan roda ekonomi kembali. Namun, sejak awal new normal telah menimbulkan kontroversi dan kritik. Rezim mendefinisikan new normal sebagai upaya penyelamatan ekonomi sekaligus mencegah penyebaran covid-19. Sehingga sejalan dengan membaiknya roda perekonomian, diharapkan kurva pandemi covid-19 pun menurun.
Tapi guru besar ekonomi IPB Hermanto J Siregar mendefinisikan new normal sebagai titik keseimbangan baru dalam kurva pandemi covid-19. Titik keseimbangan muncul ketika pandemi covid-19 mencapai puncaknya dan menurun, sehingga membentuk garis sejajar dengan garis normal sebelum covid-19 mewabah di Indonesia. Menurutnya, saat ini pandemi covid-19 belum mencapai puncak sehingga belum bisa dilakukan new normal.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa meminta Jokowi berhati-hati agar tak salah mengeluarkan kebijakan, termasuk kebijakan yang datang dari menteri. Ia minta Jokowi meningkatkan kewaspadaan pada perilaku orang-orang dekatnya dan para pembantunya.
Ketua DPR Puan Maharani meminta Jokowi tidak terburu-buru menyiapkan teknis protokolnya sehingga tidak matang dan memunculkan kebingungan baru di masyarakat. Memang WHO sendiri mengajukan beberapa syarat bagi negara yang ingin memberlakukan new normal. Di antaranya, kemampuan mengendalikan transmisi covid-19, kesiapan rumah sakit untuk menguji, mengisolasi, menangani tiap kasus, dan melacak tiap kontak. Nampaknya, Indonesia belum memenuhi semua syarat ini.
Lepas dari itu, Wakil Ketua Umum MUI KH Muhiyiddin Junaidi, dengan mengutip pendapat pakar mengatakan, penerapan new normal -- yang diidentikkan dengan herd immunity -- tanpa dibarengi stimulus ekonomi kerakyatan yang adil, justru akan menimbulkan resiko besar bagi rakyat. Rakyat akan menjadi kelinci percobaan. Karena itu, di tengah kurva positif covid-19 yang masih tinggi, MUI menolak penerapan herd immunity hanya dengan alasan penyelamatan ekonomi tanpa penerapan PSBB secara sungguh-sungguh di bawah satu komando yang jelas dan tegas.
Pendapat MUI ini sejalan dengan pendapat ekonom senior Rizal Ramli. Menurutnya, di awal rezim maju mundur sebelum akhirnya menyerahkan pada hukum rimba. Penerapan new normal, tegasnya, seolah membiarkan rakyat untuk berjuang atas hidupnya sendiri. Nantinya, hanya mereka yang kuat, baik dari sisi kesehatan maupun keuangan, yang mampu bertahan di rimba corona.
Dalam konteks inilah pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyamakan corona dengan istri yang tak dapat ditalukkan mendapat banyak kritikan. Terutama karena Mahfud menganjurkan agar kita hidup bersama corona. Sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, pendukung militan Jokowi, mengecam pernyataan itu sebagai hal yang tidak layak diutarakan pejabat negara sekelas Menko. Pasalnya, pertama, relasi suami-istri itu mitra sejajar. Bukan antara penakluk dan yang ditaklukkan. Kedua, istri itu warga habitat manusia. Sedangkan virus warga habitat liar, non-human.
Bukan hanya Thamrin, sosiolog Ariel Heryanto juga ikut geram dengan pernyataan Mahfud. "Menjijikkan. Ditunggu ralatnya!" tegasnya. Memang pernyataan Mahfud salah konteks. Yang lebih fatal ia mengajak kita untuk berdamai dengan corona. Ini bertujuan memuluskan rencana rezim Jokowi menerapkan new normal sebelum waktunya. Akibatnya nanti semakin banyak orang terpapar corona, makin banyak orang mati sia-sia, makin lama corona bertahan di negeri ini, dan ekonomi tak juga bisa ditanggulangi. Sudah terlalu sering Jokowi mengeluarkan beleid hanya untuk menyelamatkan rezimnya, bukan demi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara.
Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar
CATATAN KRITIS IDe#58*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 29 Mei 2020
0 Response to "NEW NORMAL YANG DIPAKSAKAN"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak