Lukisan, Foto dan Video Makhluk Bernyawa

Di zaman digital sekarang ini, konten suatu pesan atau iklan biasanya ditampilkan dengan visual yang unik dan menarik. 

Iklan produk kesehatan, iklan makanan, iklan fashion, bahkan iklan otomotif, pasti menampilkan bintang iklan terkenal supaya pesannya sampai dan produknya dibeli oleh konsumen.

Sang bintang, kalau jika tidak digambar, pastinya diambil dengan kamera atau video. Jika kurang sempurna, maka gambarnya akan diedit sedemikian rupa supaya lebih menarik.

Kita saja yang bukan pembuat iklan atau film, hampir setiap hari membuat foto atau video. Dengan menggunakan hand phone (hp), kita ber-selfie ria atau wefie, lalu mem-posting postingnya di media sosial (medos). 

Selfie dan wefie, kini seperti sudah menjadi ritual yang sulit dihindari, baik ketika bertemu teman, ikut kegiatan/meeting, lagi piknik, sebelum makan, bahkan ketika beribadah. 

Demikian juga ketika melihat pemandangan yang indah atau binatang yang unik dan lucu, maka kita akan secara refleks mengambil hp dan memotretnya. Lalu posting di medsos.

Jadi, di era milenial ini, melihat dan membuat gambar, foto atau video makhluk bernyawa, sepertinya sudah menjadi adat kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. 

Semua orang kini bisa menjadi fotografer, editor foto atau movie maker, walaupun tidak profesional.

Tapi semuanya bisa dilakukan secara mudah, murah dan praktis. Motivasinya pun beragam: untuk dokumentasi, bisnis, narsis, seru-seruan (having fun), nostalgia, dan lainnya. 

Yang sering jadi pertanyaan; menurut Fikih, bolehkah kita membuat dan melihat gambar, foto dan video makhluk yang bernyawa?

Kalau menelusuri teks-teks al-Qur’an, sepertinya kita tidak akan menemukan ayat yang secara spesifik membahas kebolehan atau larangan menggambar makhluk bernyawa.

Masalah ini hanya akan kita temukan di dalam hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi, seperti halnya masalah musik, hadis-hadtis tersebut juga memiliki perbedaan, sehingga para ulama fikih pun memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa semua jenis gambar, baik itu lukisan, kartun, foto atau film hukumnya adalah haram, apapun tujuannya, entah itu positif ataupun negatif. Bagi mereka, menggambar itu termasuk dosa besar dan hukumannya bisa masuk neraka. 

Salah satu hadis yang selalu dijadikan argumen adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Kepada mereka dikatakan: Hidupkanlah apa-apa yang kamu buat itu.” [HR. Muslim, II:  323;al-Bukhari, VII: 85, hadis no. 5957-8]

Selain itu, hadis yang selalu dijadikan argumentasi adalah riwayat yang mengisahkan seorang laki-laki yang datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu dia berkata, 

“Sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini dan aku menyukainya.” Ibnu ‘Abbas segera berkata kepada orang itu, “Mendekatlah kepadaku”. Lalu, orang itu segera mendekat kepadanya. Selanjutnya, Ibnu ‘Abbas mengulang-ulang perkataannya itu, dan orang itu mendekat kepadanya. Setelah dekat, Ibnu ‘Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut dan berkata, “Aku beritahukan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap orang yang menggambar akan dimasukkan ke neraka, dan dijadikan baginya untuk setiap gambarnya itu nyawa, lalu gambar itu akan menyiksanya di dalam neraka Jahanam.’” Ibnu ‘Abbas berkata lagi, “Bila engkau tetap hendak menggambar, maka gambarlah pohon dan apa yang tidak bernyawa.” (HR Muslim).

Dengan menggunakan pemahaman yang tekstual, dua hadis di atas dipahami oleh para ulama untuk mengharamkan semua jenis gambar, baik itu komik, kartun animasi, wayang kulit, wayang golek, patung dan semua yang ada unsur gambar di dalamnya.

Bahkan ada juga yang melarang kamera foto dan mengharamkan foto-foto dan mereka tidak mau difoto atau dilukis. Tentu saja, televisi, video dan alat apapun yang dapat memproduksi gambar mereka jauhi. 

Cukup ekstrim juga ya? Tapi ya, begitulah cara pemahaman yang tekstual 13 abad yang lalu, dan selalu yang ingin mengimplementasikan diimplementasikan dalam kehidupan 13 abad yang lalu di zaman sekarang. 

Tapi, kita tidak perlu boleh mengejek atau nyinyir, justru kita harus menghargai dan menghormati pendapat mereka. Kalau kamu termasuk yang punya pemahaman seperti ini, dan istiqamah mempraktekkannya itu sangat-sangat luar biasa.


0 Response to " "

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak