Kiat Agar Dapat Ikhlas

Bismillâhirrahmânirrahîm. Puji dan syukur kepada Allah subhânahu wata’âla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.


Kiat Agar Dapat Ikhlas

Ikhlas dalam amal adalah sesuatu yang sungguh sulit kita lakukan. Hal ini sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar Sufyan ats-Tsauri radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, 

“Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”

Karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk melatih dan mengevaluasi keikhlasan secara rutin. Terkadang kita bisa terlepas dari riya’ yang satu, tapi kemudian muncul riya’ dalam bentuk yang lainnya. Riya, sum’ah, dan ‘ujub adalah penyakit hati yang begitu lembut, yang bisa datang kapan saja, dan terkadang kedatangannya tanpa kita sadari.

Jangan sampai kita merasa telah berhasil menyingkirkan penyakit berbahaya itu, kemudian tidak mau berusaha dan berhenti berlatih. Kita harus selalu waspada pada ajakan nafsu yang begitu liar.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)

Berikut ini kami kemukakan beberapa kiat agar kita bisa ikhlas. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemauan dan kemampuan agar kita bisa terus berlatih dan mencapai ikhlas.

Bertanya Sebelum Berbuat 

Hal pertama yang harus kita lakukan setiap kali hendak melakukan amal apapun adalah meneliti, memeriksa, dan menimbang suatu perbuatan. Terlebih dahulu kita harus tahu bahwa yang kita perbuat itu benar dan baik. Kita harus tahu syarat diterimanya amal. Untuk itu, biasakan berpikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah yang hendak kita tempuh.

Jangan berpikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan kita jauh ke depan: manfaat dan madharat-nya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani.

Jika sudah mampu demikian, maka kita akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama kita yakin apa yang kita perbuat itu benar. Ikhlas itu identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan, dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan. Sedangkan riya’ (sum’ah, ‘ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.

Ada beberapa pemeriksaan yang harus kita lakukan sebelum kita memutuskan untuk berbuat sesuatu, yakni:

1. Tentang syarat formal 

Mula-mula kita harus menanyakan, apakah perbuatan yang kita lakukan itu telah benar secara syar’i. Artinya terlebih dahulu kita harus mengetahui kalau amal perbuatan yang akan kita lakukan itu baik dan benar dari segi hukumnya maupun tata-caranya.

Pertanyaan ini terkait dengan syarat formal suatu ibadah.

Syarat formal ibadah adalah syarat yang biasa dibahas dalam fiqh. Syarat formal ini relatif lebih mudah untuk dipenuhi karena tolak ukurnya sangat jelas, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci dalam fiqh.

Tentang hal ini, ada dua pertanyaan yang harus kita jawab:

· Apa yang aku kerjakan?

· Bagaimana aku mengerjakannya?

Pertanyaan pertama adalah menyangkut diri amal tersebut.

Dalam arti dari sisi hukumnya, apakah wajib, sunah, haram, makruh, mubah, atau masih syubhat (keserupaan dalam hukum).

Sedangkan pertanyaan kedua menyangkut cara atau metode pengerjaan amal. Artinya, kita pun harus mengetahui caranya agar kita tidak terjebak pada kesalahan, dosa, dan kesia-siaan.

Hadis Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam menyebutkan:

“Barangsiapa yang membuat sesuatu dalam urusan kami (agama ini) ini, apa yang yang tidak termasuk di dalamnya, maka sesuatu itu tertolak.” (HR. al-Bukhari)

2. Tentang syarat materiil 

Jika pertanyaan pertama telah terjawab dengan benar,

maka giliran pertanyaan kedua, yakni tentang syarat meteriil suatu amal. Apakah niat kita itu telah benar dan ikhlas? Perhatikan motif yang menggerakkan perilaku kita. Allah Subhanahu wata'ala mengingatkan kita dalam firman-Nya:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi: 110)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan agar amal yang dikerjakan ialah amalan saleh, yaitu amal perbuatan yang sesuai dengan aturan syariat. 

Selanjutnya, Allah memerintahkan orang yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu kepada Allah semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari selain-Nya dengan amalan itu.

Al-Hafiz Ibnu Katsir ra. berkata dalam tafsirnya, “Dua perkara ini merupakan rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amalan itu harus murni untuk Allah swt. dan benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam sabdanya menjelaskan:

“Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya. Dan bagi setiap orang apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka sebelum beramal, kita harus melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:

· Haruskah hal ini aku kerjakan?

· Untuk apa aku berbuat hal ini?

· Mengapa aku mengerjakan?

· Untuk siapa aku mengerjakan?

· Karena siapa aku mengerjakan?

Dalam memeriksa niat, kita pun harus jeli dan cermat.

Jangan sampai kita tertipu dan terjebak pada keinginan nafsu belaka, dan akhirnya kita merugi.

Yang sering terjadi, kita tidak sibuk meluruskan niat, tapi sibuk dengan perbuatannya. Misalnya saja kita ingin membeli pakaian, kita harus bertanya dulu pada diri kita: perlukah saya membeli pakaian lagi, padahal persedian yang ada di almari masih banyak? Untuk apa aku membeli pakaian?” Kita mungkin menjawab, “Tapi yang ada di almari kan sudah tidak layak.” Atau mungkin kita berkata dalam hati, “Namun yang itu kan warnanya kurang cocok,...” Kurang cocok kata siapa? Jujur saja, apakah warnanya yang kurang cocok ataukah ingin lagi?

Mau membeli sepeda motor yang baru. Kita harus bertanya dulu, apakah itu hanya karena keinginan dan kemauan semata, atau karena kita memang membutuhkannya? Untuk apa aku membeli sepeda motor yang baru? Bukankah yang lama masih bisa dipakai? Jika memang tidak terlalu penting dan mendesak, alangkah lebih baiknya bila aku mengalokasikan uangnya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya.

Bukannya membeli pakaian dan sepeda motor baru itu tidak boleh dan tidak baik, tapi jika motifnya hanya karena menuruti kemauan nafsu, maka itu akan membuat kita rugi sendiri.

Yang banyak terjadi justru bukan hanya sekedar keinginan hati saja, tapi nafsu untuk mengumpulkan harta dan berbangga diri dengan kepemilikan dunia.

Kita harus berpikir dan mempertimbangkan, untuk apa memberatkan hisab. Jikalau pakaian indah tapi kelakuan tidak indah, tidak ada gunanya. Bila pakaian baru tapi hati semakin keruh, apa artinya. Untuk apa membeli sepeda motor atau mobil baru yang mewah jika hanya menyebabkan kesombongan dan memperkeruh hati.

Ketika sudah akan beli, tanya lagi pada diri kita, ‘Benarkah kita beli sesuatu itu karena Allah atau karena ingin dipuji?’ tanya, tanya, tanya,.....!

Pikirkan dan renungkan, untuk siapa atau untuk apa kita bergerak, berlari atau bertanya tentang sesuatu? Apa tujuan dan target kita? Apakah kita mencari Allah atau ego kita? Bila kita ulurkan tangan dan menangkap sesuatu, kita harus perhatikan untuk siapa kita membawa atau menyentuhnya.

Telitilah dirimu dengan cermat. Usahakan untuk menilai perbuatanmu dengan introspeksi apakah amal itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikan atau karena motif-motif yang lain.

Apa yang mendorong kamu untuk bersedekah membantu orang lain? Mengapa kamu begitu gembira dan bersemangat ketika mendengar diundang untuk berceramah? Mengapa kamu begitu bersemangat menceritakan kepada orang lain dengan berbagai cara tentang ibadah hajimu? Mengapa kamu tidak puas dengan membatasi amal salehmu hanya untukmu saja? Apa yang kau inginkan dari pemberitahuan kepada orang lain tentang amal salehmu? Jika perbuatan itu dilakukan karena Allah, atau kamu bermaksud agar orang lain menirumu, atau kamu berpikir sesuai dengan hadis ‘yang menunjukkan kebaikan sama dengan yang melakukannya’ sambil kamu melakukannya, maka perbuatanmu itu masih dapat dibenarkan. Bersyukurlah kepada Allah, karena Dia telah menolong kamu bertindak dengan sepenuh kesadaran dan kemurnian hati. Tetapi hendaknya kamu selalu berhati-hati akan jebakan-jebakan setan ketika memeriksa dirimu, sebab syaitan dapat memproyeksikan amal riya’ sebagai amal yang suci dan ikhlas.

Jikapun kita bisa melakukan sesuatu bukan karena pamrih pada manusia atau keuntungan duniawi. Tapi kita juga harus bertanya lagi, apakah ada pendorong lain selain itu? Tanpa tersadar terkadang kita melakukan sesuatu bukan atas dasar mencari keridhaan Allah, tapi misalnya karena didorong rasa malu, sungkan atau takut. Seperti kita malu dikatakan orang yang pelit karena tidak mau bersedekah. Kita ikut kerja bakti karena malu nanti dikata orang yang tidak tahu etika sosial. Kita bersedia menghadiri undangan karena takut nanti mendapat gunjingan orang.

Atau, kita memberi sesuatu kepada pengemis di pinggir jalan karena kita kasihan dan iba melihat keadaannya. Rasa iba dan kasihan adalah cerminan dari sifat kemanusiaan kita. Namun, pernahkah kita memberi sesuatu kepada seseorang tanpa harus tahu kita kasihan atau tidak? Seorang ahli hikmah mengatakan bahwa memberi sesuatu lantaran adanya sebab, seperti kasihan, prihatin, iba dan sebagainya, itu belum bisa dikategorikan sebagai ikhlas. Namun tidak lebih sebagai suatu bentuk kerelaan atau ketulusan hati saja yang bisa menjadi sebagai pemuasan hawa nafsu ego kasihan atau ego iba kita. Namun memberi atas dasar rasa kasihan atau iba pun itu sudah cukup baik. Terlebih lagi jika kita bisa berlaku ikhlas.

Ingatlah, apa yang dilakukan untuk ego kita atau untuk dunia ini, maka ia palsu dan akan lenyap. Semua itu hanya sementara dan tidak bernilai. Tetapi apa yang kita lakukan untuk Allah Subhanahu wata'ala, maka itu suatu keberuntungan yang sejati dan tidak akan berakhir.

Apabila kita berkata atau berbuat tidak punya niat apa-apa, atau niat riya’ lebih mendominasi hati kita, maka lebih baik diam dan menangguhkannya terlebih dahulu. Jangan tergesa-gesa dan grasa-grusu. Janganlah kita memberatkan diri dengan amalan-amalan yang banyak. Karena, alangkah banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya kecuali rasa capek dan keletihan semata di dunia dan siksaan di akhirat.

Orang yang melakukan banyak amal tanpa mau berpikir dulu, maka ia akan mengalami kerugian. Pertama, jika amalan itu mubah tanpa niat maka akan memperberat hisab. Jika amal itu riya’ maka akan mendatangkan siksa. Jika tidak niat apa-apa maka hanya mendapatkan rasa capek dan lelah, perbuatan kita tidak bermakna. Mungkin ada yang beralibi, ‘tapi kan ini bermanfaat untuk dunia saya’. Namun bagi orang yang berakal akan rugi jika ia hanya dapat keuntungan satu saja, yakni dunia. Padahal mungkin saja suatu amal bisa memberi dua manfaat sekaligus, yakni akhirat dan dunia. Jika kita niat dunia maka kita hanya akan dapat dunia. Tapi jika kita niat akhirat maka kita jelas akan dapat pahala dan terbuka kemungkinan mendapatkan pahala dunia.

Intinya kita harus bersabar dan mengevaluasi motif setiap perbuatan yang hendak kita lakukan. Dan tanggung jawab ini dimulai sejak kita bangun tidur di pagi hari sampai kita tidur lagi.

Hendaknya kita melihat untuk apa dan siapa kita mengerjakan dan apa manfaatnya? Bila tidak bermanfaat untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain, tinggalkan niat itu, karena saat itu akan mengundang kutukan atas diri kita.

Bila kita telah mengevaluasinya secara benar dan kita beramal untuk Allah, maka semua yang kita kerjakan pasti akan diberkahi, dinilai tinggi dan diterima oleh-Nya. Tapi bila pekerjaan kita bukan untuk-Nya, maka sia-sialah pekerjaan itu dan kita menghancurkan diri sendiri. Kesukaran yang tidak terhitung akan mengelilingi kita. Perhatikan selalu pekerjaan kita, apakah benar-benar untuk Allah Subhanahu wata'ala semata?

Imam al-Ghazali pernah memberi nasihat, “Telitilah tingkah lakumu dan janganlah kamu bergerak sebelum merenungkan terlebih dahulu, mengapa kamu bergerak? Apa yang kamu dapatkan dari duniamu, apa yang terlewatkan dari akhiratmu?

Mengapa dunia lebih mengungguli akhirat? Jika kamu sudah tahu bahwa tidak ada penggeraknya selain agama, maka teruskanlah niatmu. Dan jika tidak, maka tahanlah. Kemudian, telitilah juga penahananmu dan pencegahanmu dari berbuat. Sesungguhnya meninggalkan berbuat itu merupakan perbuatan yang juga membutuhkan niat yang benar…”

3. Menyembunyikan atau menampakkan amal 

Ketika kita mau melakukan amal, hendaknya diperhatikan terlebih dahulu, apakah amalnya itu mau kita sembunyikan atau ditampakkan. Kita harus pandai dan cermat dalam melihat kondisi hati kita. Hal ini menjadi penting karena ini menyangkut keikhlasan yang akan kita dapatkan.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. al-Baqarah: 271)

Ayat di atas memberikan dua alternatif pilihan dalam beramal. Yakni menampakkan amal atau menyembunyikannya.

Artinya kita boleh menampakkan amal atau menyembunyikan-nya. Keduanya sama-sama baik dan utama, asalkan niat dan keikhlasan kita tetap terjaga.

Memang pada dasarnya amal kebaikan haruslah disembunyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain. Cukuplah Allah sajalah yang menjadi saksi atas diri kita. Namun begitu, jika kita berkeinginan menampakkan amal atau menceritakannya kepada orang lain, hal itu juga tidak dilarang atau keliru, asalkan punya niat yang benar. Hadis Nabi shallallahu a'laihi wasallam menyebutkan:

“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikit pun dari kebaikannya.” (HR. Muslim)

Dalam keadaan tertentu, memperlihatkan amal saleh dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:

· Bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)

· Terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.

Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguatkan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan memberikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Sufyan bin Harits, salah seorang paman Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam. menjelang wafatnya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam aku tidak pernah melakukan dosa.”

Para ulama telah menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya’) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib.

Ibnu Hajar ra. berkata, “At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijmak bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdal daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.”

Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya’ yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya’ muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”

Imam Izzuddin bin Abdus Salam  menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Ketaatan itu ada tiga:

· Amalan yang disyariatkan untuk dinampakkan seperti azan, iqamat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jumat dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya’, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menolak riya’, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.

· Amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhal dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti membaca qira’ah secara perlahan tatkala shalat (yaitu shalat yang tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qira’ah), dan berzikir dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahirkan (diperkeras suaranya).

· Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia khawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia menampakan amalannya dia akan riya’, maka menyembunyikan amalan (sedekah) tersebut lebih baik daripada jika menampakkannya.

Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam bukunya yang berjudul Silsilah Amalan Hati mengutip pendapat Ibnu Qudamah dan kemudian merinci prinsip-prinsip dalam memperlihatkan dan menyembunyikan amal sebagai berikut:

· Amal perbuatan yang dianjurkan oleh sunah untuk dikerjakan secara rahasia hendaknya dikerjakan secara rahasia.

· Amal perbuatan yang dianjukan oleh sunah untuk dikerjakan dengan terang-terangan, hendaknya dikerjakan dengan cara terang-terangan.

· Amal perbuatan yang dapat dilakukan, baik secara rahasia maupun terang-terangan, jika orang yang bersangkutan termasuk orang yang kuat menanggung pujian orang lain atau celaan mereka, maka bagi dia boleh dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi, jika dia termasuk orang yang tidak kuat menyangga hal tersebut, maka hendaklah dia mengerjakannya dengan sembunyi-sembunyi. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jiwa seseorang kuat untuk menghindar dari riya’, tidaklah mengapa baginya jika menonjolkan amalnya, karena sesungguhnya dalam keadaan seperti itu hal yang lebih baik adalah dengan menonjolkannya, agar dapat diteladani oleh yang lain.

Tapi demikian, kita perlu waspada dan hati-hati, jangan sampai kita tertipu oleh keinginan yang nampaknya baik, padahal kita kurang mampu menjaga keikhlasan. Mungkin saja dalam hati kita berkata, “Saya menampakkan amal supaya diikuti dan memberi contoh baik pada orang lain.” Kita harus waspada dengan bisikan ini. Bisa jadi itu hanya alasan pembenaran setan agar kita terjebak dalam tipu dayanya. Bagi orang yang belum benar-benar ikhlas, sungguh sulit baginya menghindarkan diri dari pengaruh pujian dan dikenal banyak orang.

Ketahuilah, mayoritas manusia itu sangat lemah dan riskan dari akibat buruk menampakkan amal. Sedikit sekali manusia yang bisa lepas dan selamat dari fitnah ketenaran, kepopuleran dan kemasyhuran. Kebanyakan mereka justru terjerumus dalam ketertipuan amal mereka sendiri. Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang. Karenanya, jika kita merasa kalau diri kita tidak mampu terhindar dari bahaya memperlihatkan amal, sedangkan tidak ada hal lain yang mengharuskan kita menampakkannya, maka lebih baiknya kita sembunyikan saja amal kita. Jangan membuka pintu yang bisa mengantarkan kita terjatuh dalam riya’.

Basyr bin al-Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”

Para ulama dan orang-orang saleh terdahulu, mereka sangat suka menyembunyikan berbagai amal ketaatan. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal itu mereka lakukan demi untuk menjaga keikhlasan, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Imam Ahmad ra. berkata, “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Makkah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran.”

Seseorang bertanya pada Tamim ad-Dari, “Bagaimana shalat malam engkau?” Maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja shalatku di tengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku shalat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia.”

Ayyub as-Sikhtiyani shalat sepanjang malam, dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya.

Dan jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya seakan-akan dia baru saja bangun pada saat itu.

4. Memilih suatu amal

Ketika suatu saat kita di hadapkan pada beberapa pilihan ibadah atau amal kebajikan, jika ibadah itu selain yang wajib, maka hendaknya kita memeriksa kondisi hati kita, lalu memilih ibadah yang dirasa paling ikhlas menjalankannya. Hal ini penting, karena ia akan sangat menentukan hasil akhir suatu amal. Apakah suatu amal akan menghasilkan pahala yang sedikit atau banyak, atau bahkan justru mengundang dosa dan murka Allah, itu semua tergantung pada niatnya.

Untuk itu, kita harus mendahulukan amal yang dirasa paling ikhlas walaupun amal itu hanya mubah saja. Misalnya, kita lebih baik melakukan makan yang hukumnya mubah tapi kita punya niat yang benar dan ikhlas, daripada mengerjakan shalat sunat tapi kurang ikhlas dan tidak khusyuk. Kita lebih baik pergi ke pasar mencari rezeki dengan niat bersedekah kepada keluarga, daripada menjalankan puasa sunah di rumah tapi menelantarkan keluarga. Kita lebih baik diam dan berpikir terlebih dahulu, daripada berkata baik tapi tidak ikhlas dan menyakitkan. Dan demikianlah amal-amal lainnya, tinggal kita pandai-pandai mencermatinya.

Perlu diingat, jika kita mendahulukan yang mubah daripada yang sunah, yang sunah ghairu muakkad daripada yang sunah muakkad. Ini bukan berarti mengecilkan, meremehkan, atau mengesampingkan amalan yang derajatnya lebih tinggi. Tapi tujuannya adalah untuk mencari keikhlasan yang tertinggi dalam amal. Bukankah kunci pahala itu ada pada keikhlasan. Setinggi atau semulia apapun perbuatan kita, jika tidak dilakukan dengan ikhlas, maka amal itu akan sia-sia dan bahkan bisa mengundang siksa. Dan sebaliknya, sekecil atau seremeh apapun amal kita, jika dilakukan ikhlas karena Allah, maka amal itu akan menjadi bernilai tinggi di sisi-Nya. Yang menjadi penilaian utama Allah itu bukan bentuk amalnya, tapi niat dan tujuannya.

Firman Allah Subhanahu wata'ala dalam al-Qur’an:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. an-Nisa’: 114)

Sabda Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala. tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian.”

Namun demikian, pemilihan yang seperti itu tidaklah mutlak. Jika kita mampu memperbaiki niat kita dalam yang sunah, lalu kita bisa berbuat ikhlas, tentu saja yang sunah lebih utama dan hendaknya lebih didahulukan daripada yang mubah.

5. Mengembangkan niat amal

Sebelum beramal, hendaknya kita berhenti untuk berpikir dan merenung terlebih dahulu. Yakni memikirkan tentang berapa banyak niat baik yang bisa kita peroleh dan kumpulkan.

Terkadang, dalam satu amal kebaikan, kita bisa mendapatkan tiga, lima, atau bahkan mungkin lebih dari sepuluh niat kebaikan. Dan dalam setiap niat baik yang kita lakukan itu, kita akan diganjar dengan pahala satu kebaikan. Maka, semakin banyak niat baik, semakin banyak pula pahala yang diraih.

Kita akan mendapatkan pahala itu sesuai dengan tingkat keikhlasan dan seberapa banyak niat baik yang kita maksudkan.

Tentang hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan pahala-Nya sesuai kadar niatnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)

Misalnya kita hendak berangkat mengikuti pengajian di masjid. Kita tahu bahwa mengaji atau menuntut ilmu agama itu merupakan amal yang mulia dan utama. Dengan niat ini saja, jika kita ikhlas, maka kita akan mendapatkan pahala yang besar. Namun bila kita mau berpikir lebih dalam, kita sebenarnya dapat mengembangkan niat amal kita itu, sehingga dengan kita dapat meraih keutamaan orang-orang yang bertakwa dan mencapai derajat muqarrabiin. Di antara niat-niat baik yang bisa dilakukan adalah:

· Menyengaja untuk mendapatkan ilmu yang manfaat.

· Niat menghilangkan kebodohan.

· Niat mencari ilmu untuk diamalkan.

· Mensyukuri atas nikmat akal.

· Niat bersilaturahim dengan saudara muslim.

· Niat i’tikaf di masjid.

· Kita meyakini bahwa masjid adalah Baitullah, dan orang yang memasukinya berarti mengunjungi Allah. Maka dengan itu, kita juga niat mengunjungi Tuhan kita dengan berharap apa yang dijanjikan Rasulullah saw., “Barangsiapa duduk di masjid, sungguh ia telah berziarah Allah Ta’ala, dan hak bagi yang dikunjungi memuliakan pengunjungnya.”

· Niat menunggu pelaksanaan shalat berjamaah.

· Mengekang pendengaran, mata, serta anggota-anggota lainnya dari perbuatan maksiat.

· Memusatkan zikir pada Allah dan berpikir tentang akhirat dengan mengasingkan diri ke masjid.

· Niat meninggalkan dosa-dosa karena malu pada Allah dan malu berbuat dosa di rumah Allah.

Sewaktu kita makan atau sarapan pagi, kita bisa meniatkannya dengan beberapa niat: niat mensyukuri nikmat Allah, niat untuk memperoleh kekuatan agar dapat berbuat taat pada Allah. Lalu, ketika di pagi hari kita berangkat kerja, maka kita bisa meniatkannya dengan beberapa niat: Niat berbuat taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya, niat mencari keridhaan-Nya, niat mencari pahala akhirat dari sisi-Nya, niat mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, niat menghindarkan diri dari meminta-minta, niat menjaga kehormatan diri dan keluarga.

Lihatlah, betapa satu amal kebaikan bisa diniatkan untuk lebih dari sepuluh niat kebaikan. Dan begitulah, setiap amal kebaikan itu bisa diniatkan untuk banyak sekali niat kebaikan.

Maka, sungguh sangatlah rugi apabila satu kebaikan yang ternyata bisa menghasilkan sepuluh pahala kebaikan, seratus, seribu,

atau bahkan mungkin tidak terbatas, namun kita hanya meniatkannya satu kebaikan saja. Ini semua adalah tergantung pada niat kita, kejelian, dan kepandaian kita dalam mengumpulkan niat kebaikan.

Menjaga Ikhlas Ketika Beramal

Setelah kita menentukan amal dan menata niat dengan benar, maka awalilah dengan membaca basmalah. Segala aktivitas kita: mau keluar rumah, mau pergi ke sekolah, jalan-jalan, ke rumah teman, memasak, mencuci, sampai memakai pakaian, seyogyanya kita mulai dengan mengucap basmalah. Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap perkara itu punya keadaan yang mulia. Jika tidak dimulai dengan membaca basmalah maka ia terputus (berkurang kebaikannya).”

Sabda Beliau ini mengandung maksud bahwa ucapan basmalah yang keluar dari mulut kita itu hendaknya bukan hanya sekedar ucapan semata, namun ia mampu mengingatkan hati kita sehingga perbuatan yang kita lakukan benar-benar ikhlas karena Allah. Karena jika hanya di mulut saja, maka ia sedikit manfaatnya, walaupun itu sudah baik.

Dan jika kita terlupa membaca basmalah di awal amal, maka kita tetap dianjurkan dan disunahkan agar membacanya meskipun saat itu kita sedang melakukannya, atau bahkan kita hampir selesai sekalipun. Sabda Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam:

“Jika salah seorang dari kalian memakan makanan, hendaklah ia membaca ‘bismillah’. Bila ia lupa membaca ‘bismillah’ di awalnya, hendaklah ia membaca: ‘Bismillahi fi awwalihi wa aakhirihi’ (Dengan menyebut nama Allah di walah dan akhirnya (perbuatanku).” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

Dengan mengucapkan basmalah di setiap kali berbuat, Insya Allah kita akan selalu ingat dan sadar dalam amal yang sedang

kita lakukan. Niat awal kita yang telah tulus yang diawali dengan asma Allah akan membangun kesadaran hati kita hingga selesai beramal.

Selanjutnya ketika beramal, kita pun harus selalu ingat dan menjaga keikhlasan kita. Karena bukannya tidak mungkin, niat ikhlas yang telah kita bangun sejak awal menjadi rusak di tengah- tengah kita mengerjakan amal. Bisa jadi karena munculnya keadaan-keadaan tertentu, kita menjadi lupa, tertipu dan akhirnya rusaklah keikhlasan kita. Misalnya karena dilihat orang banyak, diawasi orang yang kita hormati, didengar oleh teman-teman kita. Karena itu, ada beberapa kesadaran yang harus selalu kita bangun ketika beramal. Yakni antara lain:

a. Ketahuilah dan sadarilah bahwa Allah Subhanahu wata'ala adalah Rabb yang berhak disembah. Karena Dia-lah pencipta alam semesta, yang telah memberikan nikmat yang tiada terhitung kepada kita.

Kita adalah makhluk yang lemah, sedang Dia-lah yang Perkasa dan Kuasa. Maka hanya Dia-lah yang patut kita sembah.

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang  Mahakuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Hasyr: 23)

Camkan dalam hati bahwa saat ini saya sedang berbuat dan berurusan dengan Allah, Pencipta dan Penguasa Yang Maha Mendengar dan Maha Menyaksikan. Jika saya beramal bukan untuknya, maka Dia akan memurkai saya. Tapi jika saya beramal untuk mencapai ridha-Nya, maka Dia akan mengasihi dan memuliakan saya.

b. Konsentrasikan pikiran dan hati kita hanya kepada Allah Subhanahu wata'ala Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita.

Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan dengan pengetahuan Allah akan segala tindakan kita. Jika terbetik dalam benak kita bahwa orang-orang sedang melihat dan mengawasi kita, maka lawanlah dengan mengatakan pada diri kita: apa urasanmu dengan orang-orang itu, mereka tahu atau tidak, Allah Subhanahu wata'ala mengetahui keadaan kita. Apa manfaatnya orang mengetahui (amal kita)? Toh mereka semua tidak akan mampu memberi manfaat atau menolak madharat dari diri kita. Untuk dunia dan juga untuk akhirat kita. Hanya Allah yang berkuasa atas segalanya. Sandainya kelak di hari pembalasan nanti kita dihisab oleh Allah, maka tak satu pun dari mereka yang dapat menolong kita untuk masuk surga ataupun menyelamatkan kita dari neraka. 

Bahkan, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakang kita, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorong kita masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?.

Apapun yang dilakukan kalau konsentrasi kita hanya tertuju kepada Allah, maka kita akan mudah mencapai ikhlas.

Imam Ali radhiyallahu 'anhu. berkata, “Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah.”

c. Selalu ingatlah pada surga Allah yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi para hamba-Nya yang beriman dan beramal ketaatan kepada-Nya. Renungkanlah secara mendalam bahwa para penghuni surga itu tak akan pernah sakit, tak mungkin bersedih hati, tak bakal mati, tak pernah menjadi tua. Penghuni surga itu akan menempati istana-istana yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Di dalam surga itu terdapat semua hal yang tidak pernah dilihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di dalam hati manusia. Sebatang pohon di surga tak akan selesai dikelilingi oleh seorang pengendara kendaraan selama seratus tahun lebih. Panjang semua kemah yang didirikan di surga dapat mencapai tujuh puluh mil lebih, sungai-sungainya mengalir dengan deras, istana-istananya sangat indah nanmegah, buah-buahannya menggelayut rendah hingga mudah dipetik, takhta-takhtanya demikian tinggi, gelas-gelasnya tertata rapi, permadani-permadaninya terhampar luas.

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebahagiannya kamu makan.” (QS. az-Zukhruf: 72-73)

Demikianlah seyogyanya kita selalu mengingatkan diri bahwa di surga itu terdapat kesenangan yang sempurna, kegembiraan yang agung. Kita beramal bukan untuk mendapatkan kesenangan dunia yang sedikit dan cepat menghilang, tapi kita beramal untuk meraih surga Allah Subhana wa Ta'ala yang kekal abadi.

d. Yakinlah akan besarnya pahala di sisi Allah Subhanahu wata'ala bagi orang yang beramal dan berjuang secara ikhlas. Ketika hati kita telah mampu melihat pahala yang dijanjikan Allah, maka segala sesuatunya akan terasa ringan. Seperti orang yang ada dalam perniagaan dunia, walaupun ia bekerja banting tulang siang dan malam, namun semua itu terasa ringan di hatinya dan ia melakukannya dengan gembira dan penuh harapan. Begitupun selayaknya orang yang mencari perdagangan akhirat, hendaklah ia selalu teringat dan yakin dengan pahala yang telah dijanjikan di akhirat.

Sungguh jika kita melakukan perdagangan akhirat, maka tidak akan ada perbuatan yang sia-sia manakala dilakukan dengan keikhlasan.

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fhaathir: 29-30)

Lain halnya dengan perdagangan dunia, maka penuh dengan tipu daya dan kebohongan. Terkadang kita sudah capek dan berjuang mati-matian untuk memperoleh uang, namun pada akhirnya tidak dapat juga.

e. Lakukan amal ketaatan dengan perasaan penuh harap akan rahmat Allah disertai dengan rasa takut dan cemas kalau amalnya tidak diterima Allah. Al-Qur’an menggambarkan kondisi hati orang yang ikhlas ketika beramal sebagai orang-orang yang hatinya dipenuhi perasaan takut dan cemas.

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)

Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60)

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang  khusyuk kepada Kami.”(QS. al-Anbiyaa: 10)

Ketika Rasulullah shalallahu alaihi wa salam ditanya tentang maksud ayat ini, Beliau menjawab, “Yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad sahih).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani radhiyallahu 'anhu, berkata, “Yang demikian dikarenakan seorang mukmin mungkin sekali datang kepadanya sesuatu yang menodai amalnya sehingga berubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan, dikarenakan ketakutan mereka tersebut, tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara’ dan takwa, semoga Allah meridhai mereka semuanya.”

Demikianlah, mereka merasa takut belum bisa melaksanakan amalan-amalnya sesuai dengan syarat-syarat ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Maka mereka tidak bisa memastikan bahwa mereka telah melaksanakannya sesuai dengan keinginan Allah, tapi mengira telah melakukan kekurangan dalam hal tersebut.

Abdul Aziz bin Abi Rawwaad radhiyallahu 'Anhu, berkata, “Aku menjumpai mereka (salafush shaleh) bersungguh-sungguh dalam beramal, apabila telah mengerjakannya mereka ditimpa kegelisahan apakah amal mereka dikabulkan ataukah tidak?”

f. Ingatlah selalu bahwa ajal selalu mengintai kita. Kita selalu bergerak maju menjeput kematian. Beramallah kepada Allah seakan kita akan meninggalkan dunia ini esok hari. Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

“Beramallah kepada Allah seakan engkau melihat-Nya! Anggaplah dirimu sebagai orang-orang yang telah mati!” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Ketika seseorang selalu mengingat kematian, maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan.

Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin terlebih dahulu. Sehingga ia takut meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).

Apabila kesadaran di atas benar-benar mampu dibangun dan dirasakan, Insya Allah kita akan bisa menikmati setiap amal yang sedang kita lakukan. Kita akan enjoy, suka, dan gembira serta bahagia ketika beramal. Kita tidak akan terpesona dan tergiur oleh godaan-godaan dunia. Karena semua kesenangan dunia itu telah tergantikan dan tertutupi oleh indahnya beribadah kepada Allah, indahnya bermunajat kepada-Nya, kegembiraan melihat pahala surga yang dijanjikan oleh-Nya.

“Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Menjaga Pahala Setelah Beramal

Sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan.

Setelah beramal, kita juga harus terus menjaga keikhlasan.

Karena bukan berarti ketika kita telah selesai beramal, lalu kita telah aman dari sesuatu yang bisa merusak amal. Penyakit berbahaya yang biasa akan muncul setelah amal adalah perasaan ‘ujub, berbangga diri dengan ibadah dan amal kebaikan.

‘Ujub adalah sesuatu yang sangat lembut, hingga terkadang kita tanpa terasa sebenarnya telah terjerumus dalam penyakit ini. Ada beberapa anak panah iblis yang diarahkan kepada kita agar amal yang telah kita lakukan rusak dengan ‘ujub.

1. ‘Ujub yang nampak dalam perilaku serta sikap kita. Yakni merasa lebih unggul, lebih mulia, dan lebih layak masuk surga dari pada orang lain disertai dengan meremehkannya. Hingga terkadang muncul ucapan yang cenderung merendahkan dan memvonis orang lain.

Rasulullah saw. pernah menceritakan kepada para sahabat bahwasanya seseorang berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Allah swt. berfirman, “Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapus amalmu.” (HR. Muslim)

Lihatlah bagaimana orang yang ‘ujub dengan ibadahnya, semuanya pahala ketaatannya itu menjadi hilang dan terhapus.

2. ‘Ujub yang tidak nampak tapi dapat dirasakan di hati. Seseorang mungkin saja tidak menampakkan dan tidak mengucapkan kata-kata yang menandakan ia orang yang ‘ujub. Tapi jika di hatinya ia merasa kagum dan takjub terhadap amal ibadahnya, maka ia adalah orang yang ‘ujub. Karena sesungguhnya ‘ujub itu perbuatan hati.

Atau seseorang bisa saja mengatakan, “Aku tak ‘ujub dengan amal-amalku, aku tak melebihkan amal yang kukerjakan, dan aku selalu berusaha mengingat dosa-dosaku….” Tapi begitu pun, jangan lengah, karena itu semua belum menandakan kita selamat dari perangkap ‘ujub yang lain.

3. Mungkin saja kita bisa menghindar dari merasa kagum pada diri sendiri. Tapi kita tidak bisa menghindar dari perasaan senang ketika mendengar pujian orang lain kepada kita. Sufyan Tsauri ra. memberi nasihat yang mengingatkan kita tentang hal ini.

Katanya, “Kalau engkau tidak ‘ujub dengan dirimu, engkau mungkin saja senang dengan orang yang memujimu dan engkau mungkin juga senang bila dengan pujian itu orang-orang memuliakanmu dengan amalmu. Mereka melihat dirimu mulia dan engkau memiliki tempat tersendiri dalam hati mereka….”

Inilah anak panah syaitan berikutnya untuk merusak amal.

Dan sedihnya, sangat sedikit orang yang bisa selamat dari bisikan syaitan ini. Karena itu, Fudhail bin Iyadh memiliki pandangan tajam untuk menimbang dan menyikapinya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya terrmasuk tanda-tanda kemunafikan adalah jika seseorang menyukai pujian apa yang tidak ada pada dirinya. Kemudian ia membenci orang yang tidak menyukai dirinya karena sesuatu yang memang ada pada dirinya. Sementara, ia juga membenci orang yang mengetahui aib-aibnya….”

4. Panah ‘ujub tak habis sampai di sini. Mungkin saja seseorang tidak ‘ujub pada dirinya, dan tidak suka dengan pujian, tapi ada celah lain yang bisa menjerumuskannya dalam penyakit ‘ujub. Apa itu? “Siapa yang mencaci dirinya sendiri di hadapan orang lain sesungguhnya dia itu termasuk alamat riya’,” begitu kata Hasan al-Bashri. Itu juga termasuk bagian dari ‘ujub, yang kerap tidak disadari oleh pelakunya. Berniat untuk merendahkan diri, tapi yang muncul syaitan justru membalik keadaannya menjadi ‘ujub.

5. Ada panah ‘ujub yang lainnya, yakni jika kita cenderung senang bila mendapatkan orang lain melakukan kesalahan. Seperti diingatkan oleh Fudhail, “Di antara alamat munafik adalah bila sesorang senang mendengar kesalahan dan kekeliruan orang lain.” Ini yang paling aneh dan paling sulit dideteksi.

Syaitan tidak pernah putus asa. Ketika seseorang dapat menyelesaikan amalnya dengan ikhlas, syaitan mulai menggelitik hatinya dan merayunya untuk menceritakan amal salehnya itu pada manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, “Ini bukanlah riya’…, tapi supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya terjebaklah orang tersebut dan dia pun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya di hadapan orang. Maka bisa jadi dia pun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia karena riya’ dan ‘ujub dengan amalnya.

Maka, untuk menghindarkan diri dari sifat ‘ujub, sebisa mungkin jangan sampai kita menceritakan amal baik yang telah kita lakukan kepada orang lain. Tidaklah perlu kita menyebutkan atau menceritakannya kalau tidak punya niat yang benar.

Adapun cara mongobati sifat ‘ujub ini adalah dengan kemakrifatan dan pengertian, karena penyebab sifat ‘ujub adalah kebodohan semata. Beberapa pengetahuan di bawah ini semoga dapat menyadarkan diri kita sehingga kita bisa terhindar dari sifat yang berbahaya ini. Semoga Allah mengaruniakan petunjuk yang lurus, menyelamatkan kita dari kekhilafan dan kesesatan, dan melindungi serta menjauhkan kita dari sifat ‘ujub yang merugikan dunia dan akhirat ini.

a. Yakinlah bahwa kita bisa mengerjakan amal karena pertolongan Allah

Kita harus yakin dan selalu ingat bahwa kita bisa mengerjakan shalat, bersedekah, berangkat haji, membantu orang lain, dan berbuat amal kebajikan, itu semua adalah karena pertolongan Allah. Coba saja kita pikir, misalnya kita berkeinginan shalat tahajud nanti malam. Siapakah yang menggerakkan niat di hati sehingga kita ingin mengerjakannya. Jika pun hati kita tergerak, tapi bila tidak ada pertolongan Allah, tentu itu tidak akan menjadi niat yang benar-benar kuat. Karena, banyak sekali lintasan pikir, ide, gerak hati, yang hanya sekedar keinginan semata, dan tidak sampai pada derajat niat. Untuk sampai pada niatan yang kuat, dibutuhkan perjuangan melawan berbagai bisikan nafsu serta syaitan. Tanpa pertolongan Allah, semuanya mustahil bisa tercapai.

Lalu ketika di waktu malam kita terbangun, siapakah yang membangunkan kita? Bisa saja kita telah mempersiapkan segala sesuatunya, alarm sudah dipasang dan orang yang ada di rumah sudah diperintahkan untuk membangunkan kita. Tapi jika Allah tidak menolong kita, kita tidak akan mampu bangun. Sewaktu kita terjaga dan kita telah mulai membuka mata, mungkin saja kita tidak jadi bangun shalat tahajud karena kita masih merasa kantuk atau ogah-ogahan.

Dan menakala kita bangun dan akhirnya mengerjakan shalat, kita menggunakan kekuatan siapa? Bukankah tubuh ini bisa kuat beribadah karena Allah. Mata, telinga, tangan, kaki, dan keseluruhan anggota tubuh ini semuanya adalah milik Allah dan ada dalam genggaman-Nya. Sungguh kita tidak mampu beribadah tanpa bantuan Allah.

Misalnya lagi kita bersedekah. Siapakah yang memunculkan niat di hati hingga kita terbetik dan mau bersedekah? Sesungguhnya sifat hati itu selalu berbolak-balik. Jika tidak ada pertolongan Allah, tentu hati kita tidak berkeinginan bersedekah.

Banyak orang yang dikaruniai harta yang melimpah, namun sedikit dari mereka yang mau bersedekah. Siapakah yang memberi dan mengirimkan uang kepada kita? Uang itu sebenarnya adalah milik Allah dan kita hanya dititipi? Kita kerja mati-matian siang malam cari uang, tapi jika Allah tidak menghendaki tentu kita tidak dapat memperolehnya.

Jika demikian keadaannya, apakah pantas kita mengaku-aku kalau amal itu berasal dari diri kita? Apakah patut bagi kita membanggakan diri dan mengagumi pada diri kita, sementara perbuatan itu bukan milik kita?

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. al-Anfaal: 17)

“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur: 21)

b. Ucapkanlah Hamdalah Hamdalah Hamdalah dengan sepenuh hati setiap kali selesai beramal kali selesai beramal

Setelah selesai beramal, ucapkanlah selalu Alhamdulillah.

Bersyukurlah kepada Allah atas segala nikmat dan karunianya sehingga kita mampu berbuat taat kepadanya. Inilah ajaran yang selalu diingatkan oleh Beliau Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam Beliau selalu memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya dalam setiap keadaan.

Sampai Beliau bersabda:

“Seandainya dunia dengan segala isinya ada di tangan seseorang dari umatku, kemudian ia mengucapkan ‘Alhamdulillah’, maka ‘Alhamdulillah’ itu lebih utama dari semua itu.” (HR. Ibnu ‘Asakir)

Dan hendaknya ucapan hamdalah itu tidak hanya sekedar di mulut saja. Namun mampu mengingatkan, menggugah dan menyadarkan hati kita sehingga tidak lupa bahwa amal itu sumbernya dari Allah. Segala ketaatan yang telah kita lakukan adalah berkat karunia dan pertolongan Allah.

Jadi ada dua kewajiban yang harus kita lakukan setelah beramal. Pertama, kita bersyukur karena Allah telah memberi kita kekuatan dan kemampuan sehingga kita mampu menyempurnakan amal kita dengan baik. Kedua, kita berlepas diri dari segala daya dan upaya kita. Kesadaran dan pengetahuan ini haruslah dimiliki oleh setiap orang yang beramal agar amalnya tidak rusak oleh sikap ‘ujub.

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya) …” (QS. an-Nahl: 53)

c. Bergembiralah karena rahmat dan karunia Allah, bukan kerena kemampuan amal kita

Apabila kita tidak bisa berbuat ketaatan dan kebajikan tanpa bantuan dan pertolongan Allah, maka semua yang kita kerjakan adalah karena rahmat dan pertolongan Allah. Karenanya, kalau pun kita bergembira dan merasa senang, hendaklah kegembiraan itu karena rahmat dan nikmat Allah, bukan karena kemampuan diri kita.

Allah telah memerintahkan kita dalam firman-Nya:

“Katakanlah, ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)

Firman Allah Subhanahu wata'ala itu mengandung makna agar kita mengakui rahmat dan anugerah Allah dalam setiap hasil apapun yang kita dapatkan. Ketika kita mampu berbuat ibadah atau kebajikan, hendaknya kita bergembira karena nikmat Allah, bukan karena nikmat itu sendiri. Dengan kata lain, ketika kita bisa bersedekah misalnya, kita bahagia karena Allah telah mengaruniakan rahmat dan pertolongannya sehingga kita bisa bersedekah.

d. Semuanya adalah milik Allah

Memang setiap orang mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain, tetapi milik siapakah semua kelebihan itu? Jika kita punya otak yang cerdas, milik siapakah otak itu, siapakah yang selalu menjaganya sehingga bisa tetap berpikir dengan sehat? Jika kita punya mata yang indah, hidung yang mancung, bibir yang seksi, muka yang ganteng, wajah yang cantik dan perawakan yang semampai, apakah semua itu milik kita? Allah swt. berfirman:

“Bagi Allah semua kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya.” (QS. al-Maidah: 120)

Maksud dari ayat di atas adalah apapun yang kita miliki, semuanya adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada kita agar kita dapat memanfaatkannya dan sebagai ujian bagi kita.

Tidak seorang pun yang memiliki sesuatu di alam semesta ini walaupun sekecil atom kecuali Allah. Uang, harta, kekayaan, nyawa, hidup, keluarga dan sebagainya, semuanya milik Allah, semuanya hanya titipan.

Jika Allah berkehendak, mudah saja bagi-Nya menumpulkan otak yang cerdas, menghilangkan kejeniusannya secara keseluruhannya. Tidak sedikit orang yang dulunya punya kecerdasan dan kepintaran yang gemilang dan akhirnya ia menjadi hilang ingatan secepat kilat. Bila Allah mau, tidak sulit bagi-Nya mengubah wajah seorang wanita yang dulunya cantik jelita menjadi buruk dan menakutkan. Kalau Allah menghendaki, sangat mudah bagi-Nya memusnahkan segala harta benda yang kita miliki, melepaskan setiap kekayaan yang kita genggam erat.

e. Selalu ingatlah, di atas orang yang kuat ada yang lebih kuat lebih kuat lebih kuat

Sesungguhnya perasaan kagum, takjub, dan berbangga diri itu sumbernya dari kebodohan, ketidaktahuan, dan kepicikan pikiran kita. Seandainya kita mau membuka mata, memasang telinga, dan memancangkan pikiran kita, lalu berpikir jauh ke depan, membuka lembaran kisah-kisah orang saleh terdahulu, membaca catatan orang-orang yang telah menuai kesuksesan, maka tentu kita tidak akan pernah merasa kalau diri kita ini lebih saleh, lebih kuat ibadahnya, lebih sukses, lebih kaya, dan lebih yang sebagainya.

Dunia ini dalam setiap tahapan sejarahnya selalu dipenuhi oleh orang-orang yang sukses. Di atas orang yang kaya, pasti ada yang lebih kaya. Di atas orang yang pandai pasti ada yang lebih pandai. Di atas orang yang saleh pasti ada yang lebih saleh. Dan begitu seterusnya. Dalam segala hal selalu ada orang yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.

Jika kita membanggakan diri dan kagum pada ibadah dan kesalehan kita, maka lihatlah orang-orang saleh dan para ahli ibadah generasi terdahulu. Bacalah kisah-kisah kesalehan mereka. Sungguh amal ibadah dan kesalehan yang selama ini kita kagumi tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan kesalehan mereka.

Allah telah memberikan contoh untuk umat manusia, para hamba pilihannya-Nya yang punya kelebihan di atas rata-rata manusia. Allah telah memberikan kepada Nabi Sulaiman kekayaan, kekuasaan, dan kerajaan yang takkan tertandingi oleh manusia manapun di dunia ini. Allah telah menganugerahkan berkat agung kepada Nabi Ibrahim as., yang tidak ada yang melebihi dari keberkatannya. Allah juga telah mengaruniakan kemuliaan kepada Nabi Muhammad Subhanahu wata'ala, yang tidak pernah Dia berikan kepada yang selainnya.

f. Yang menilai amal ibadah kita hanya Allah

Seseorang bisa saja mendapat nilai seratus dari manusia, namun sesungguhnya ia tak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah.

Sebaliknya, seseorang bisa saja mendapat nilai seratus di sisi Allah, namun ia seperti tidak memiliki nilai apapun di hadapan manusia.

Oleh karena itu, seorang hamba setelah berusaha semaksimal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara ditolak dan diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terdapat penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya.

Jangan sampai ada ‘ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan terus meningkatkan kualitasnya.

Imam ash-Shadiq as. pernah bercerita, “Ada dua orang lelaki memasuki masjid. Salah seorang dari keduanya adalah ahli ibadah dan yang satunya lagi adalah seorang fasiq (gemar berbuat maksiat). Ketika keduanya keluar dari masjid, yang fasiq menjadi shiddiq (benar) sementara si ahli ibadah berubah menjadi fasiq. Yang demikian itu karena ketika si ahli ibadah memasuki masjid, ia bersandar pada ibadah-ibadahnya. Begitulah yang ada dalam benaknya. Sedangkan si fasiq menjadi sadar akan kefasiq-annya, lalu ia menyesalinya dan memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah (selama ini).”

Beliau juga berkata, “Seseorang dari Bani Israel telah beribadat kepada Allah selama empat puluh tahun, tetapi tidak diterima amal ibadatnya, hingga akhirnya ia mencela dirinya sendiri. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Celaanmu kepada dirimu sendiri itu adalah lebih baik daripada ibadatmu (yang kamu lakukan) selama 40 tahun.”

Yahya bin Ma’in pernah berkata, “Sesungguhnya kami mencela manusia, padahal mungkin mereka yang dicela tersebut telah disediakan tempat mereka di surga sejak dua ratus tahun yang lalu.”

Dikisahkan, pada suatu masa Nabi Daud as. keluar ke pesisir untuk beribadat dan ketika telah genap setahun, ia berdoa, “Ya Rabbi, Ya Tuhanku, telah bongkok punggungku dan lemah mataku dan kering air mataku, tetapi aku belum juga mengetahui bagaimana nasibku.”

Maka Allah menyuruh katak untuk menjawab doa Nabi Daud as. itu. Lalu katak berkata, “Hai Nabi utusan Allah, apakah Anda mengungkap dan mengingat-ingatkan pada Tuhan ibadatmu yang setahun. Demi Allah yang mengutusmu menjadi Nabi, saya di hutan ini selama tiga puluh tahun (atau enam puluh tahun) bertasbih, bertahmid kepada Tuhan, sedang persendianku tetap gementar karena takut kepada Tuhanku.”

Maka menangislah Nabi Daud mendengar kata-kata katak yang menyadarkannya.

g. Selalu menganggap orang lain lebih baik daripada diri kita diri kitadiri kita 

Hendaknya kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah daripada diri kita sendiri. Sebagai contoh, jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih tua darinya tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak ada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”

Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tidak ada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku.”

Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata, “Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian ilmu yang tidak dikurniakan kepadaku.

Ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya, dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?”

Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti?”

Saat kita menyaksikan orang fasiq atau ahli maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal saleh yang nilainya lebih tinggi di mata Allah daripada amal kita. Sedangkan kita sendiri sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatan kita itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan kita juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diri kita esok hari.”

Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”

Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat dapat memastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang bisa tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat?

Semua itu adalah rahasia Allah, yang tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Bahkan beliau Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam pun berkata:

“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. al-An’aam: 50)

“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-’Araaf: 188)

h. Ingatlah aib sendiri

Jika suatu ketika ada seseorang yang memuji amal kita, maka janganlah terkecoh tentang hakikat diri kita di hadapan orang yang memuji, karena toh kita lebih mengetahui tentang rahasia hati dan diri kita daripada orang lain yang bisa tertipu penampilan dan tidak mengetahui batinnya.

Maka jadilah engkau orang yang mencela dirimu sendiri karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa jika dipuji orang lain, maka Beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang mereka katakan. Berikanlah kebaikan kepadaku dari apa yang mereka sangkakan dan ampunilah aku karena apa yang tidak mereka ketahui.”

Tatkala Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. dipuji di hadapan manusia, maka Beliau berkata, “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui.” Beliau mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Beliau tidak tertipu dengan pujian mereka, tapi justru semakin teringat dengan aib dan dosanya.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu. berkata, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah.”

Jika sahabat yang mulia seperti Ibnu Mas’ud mengatakan yang demikian, maka di manakah letak kedudukan kita? Tidakkah aib dan dosa-dosa kita lebih banyak dari Beliau? Seseorang jika semakin bertambah makrifatnya kepada Allah, maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa aib dan dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Semakin bertambah makrifat seorang hamba kepada Rabb-nya, maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan di antara manusia, khawatir diangkat-angkat di antara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk dosa.

Berlatih dan Jangan Putus Asa!

Dalam berjuang mencapai ikhlas, butuh keseriusan, kegigihan dan keistiqamahan. Jangan pernah surut melakukan amal ibadah, melakukan kebajikan sosial, betapa pun kadar keikhlasannya. Karena, untuk sampai pada derajat ikhlas yang tertinggi, butuh proses yang panjang. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi dengan sendirinya tanpa melalui proses, kecuali bagi Allah Subhanahu wata'ala 

Ikhlas tidak akan datang sendiri. Keikhlasan itu berjenjang dari mulai tahapan minimalis sampai tahapan maksimalis.

Misalnya pada tahap awal kita bersedekah mungkin ada campuran tidak ikhlasnya. Tapi tidak mengapa. Jangan mundur dan putus asa. Mau berbagi dengan orang lain saja itu sudah baik. Jangan takut dan khawatir amal kita akan sia-sia. Lakukan dan berusahalah untuk ikhlas. 

Jika kita bersungguh-sungguh berlatih ikhlas, Allah Mahatahu dengan kesungguhan dan niat kita. Dia tidak akan pernah mengecewakan setiap hamba-Nya yang berusaha keras mencari ridha-Nya. Allah berjanji dalam al-Qur’an:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-’Ankabuut: 69)

Ada orang yang meninggalkan amal karena takut riya‘.

Ini satu sikap yang salah, cocok dengan keinginan syaitan untuk mengajak manusia malas (beramal) dan meninggalkan kebaikan.

Selama motivasi awal untuk beramalnya sudah benar dan sesuai dengan tuntunan syari’at yang lurus, maka jangan meninggalkan amal karena ada bisikan riya‘. Tetapi kita wajib berusaha mengatasi bisikan riya‘ itu.

Fudhail bin Iyadl berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya`, dan ikhlas adalah bila Allah Subhanahu wata'ala menyelamatkan Anda dari keduanya.”

Abu Thalib al-Makki berkata, “Seseorang tidak boleh meninggalkan amal saleh karena takut terkena penyakit pada amal, karena memang itulah yang dikehendaki oleh musuhnya (syaitan).

Tetapi dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar.

Jika amal tersebut tersusupi oleh penyakit, maka hendaknya ia segera mencari obatnya, berusaha menghilangkannya dan tetap pada niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak boleh meninggalkan suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap mereka.

Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya karena mereka adalah riya. Meninggalkan amal karena khawatir akan masuknya penyakit (riya) di dalam hati adalah kebodohan, dan meninggalkannya ketika amal tersebut sedang dilakukan (karena keikhlasannya terganggu) adalah suatu kelemahan. 

Siapa saja yang beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena Allah, maka tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini, tentunya setelah ia dapat membuang jauh-jauh segala niat buruk. “

Logikanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mencapai ikhlas, jika ia sendiri tidak mau berusaha dan berlatih. Sedangkan melatih ikhlas itu harus dengan amal. 

Tanpa amal maka tidak ada ikhlas. Seseorang yang meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas, maka selamanya ia tidak akan pernah bisa memperoleh ikhlas. Salah seorang ulama berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas, maka ia telah meninggalkan ikhlas dan amal.

Ada juga sebagian orang yang menyangka bahwa apabila amal kebaikan itu dimulai dengan niat yang salah, maka amal tersebut harus ditinggalkan. Ini adalah anggapan yang keliru. Mengapa? Karena niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal perbuatan tersebut, tanpa harus meninggalkannya. 

Sebagian ulama salaf ada yang pernah mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar, kemudian mereka menyadari dan akhirnya kembali kepada Allah serta memperbaiki niat mereka, memulai niat menuntut ilmu dengan niat yang benar.

Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Para salaf mencari ilmu karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang diteladani. Ada juga di antara mereka yang mulanya mencari ilmu bukan karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu mereka introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka kepada keikhlasan di tengah jalan.”

Sufyan ats-Tsauri ra. berkata, “Kami mencari ilmu, dan pada mulanya kami tidak memiliki niat yang benar, kemudian Allah mengaruniakan niat kepada kami.”

Ketika amal-amal saleh yang kita kerjakan terkena polusi, maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran tersebut dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut bisa menjadi benar-benar jernih dan tidak hilang pahalanya.

Seseorang yang telah berusaha beramal dengan ikhlas, namun ternyata masih ada noda yang mengotorinya, seperti kealpaan atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang secara keseluruhan.

Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya, sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan kesempitan hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini sangat sulit dihilangkan, kecuali sebagian kecil saja. 

Namun demikian bukan berarti bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal, ia tetap membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempurnaannya, namun tidak sampai kepada tingkat menghapuskannya sama sekali.

Jika kita bersungguh-sungguh berlatih ikhlas, dari keistiqamahan itu Insya Allah kita akan dapat mencapai ikhlas sedikit demi sedikit, dari tingkatan ikhlas yang terendah sampai tingkatan yang tertinggi.

Memang bagi seseorang yang hatinya condong pada dunia dan dikuasai olehnya, sangat sulit baginya menghadirkan niat yang tulus dalam hatinya, bahkan dalam hal-hal yang wajib (fardhu) sekalipun, kecuali dengan kesungguhan yang kuat. 

Keikhlasan akan sulit menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan kehidupan dunia, kecuali atas taufik dari Allah. 

Jangan jauh-jauh, kita tengok dalam hati kita masing-masing dalam hal yang ringan saja, seperti makan atau tidur misalnya, kita melakukan itu biasanya karena memang kita menginginkannya. 

Jarang terbetik di dalam pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat dan sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik.

Demikian pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering merasakan adanya berbagai bisikan dan gangguan yang menggerogoti kemurnian niat ikhlas kita kepada Allah.

Maka langkah pertama yang harus kita jalani adalah berupaya membuat hati kita cinta dan rindu pada surga Allah. Orang yang mengetahui betapa besarnya kenikmatan surga yang abadi, tentu ia akan menginginkannya. Dan jika ia telah menginginkannya, pasti ia akan mengejarnya. 

Orang yang mendambakan surga, ia tidak akan rela menggantikan kebahagiaannya yang kekal ditukar dengan kesenangan dunia yang sementara. Manakala terbersit di hati kita keinginan untuk riya’ atau berbuat ‘ujub, ingatlah bahwa kebahagiaan surga itu tidak pernah hilang dan luntur. 

Jika kita memikirkan hal ini, kemudian membandingkan apa yang kita dapatkan dari menampakkan keindahan di hadapan manusia di dunia dengan apa yang tidak bisa kita raih di akhirat dan pahala yang terhapus, kita akan dengan mudah menghilangkan keinginan tersebut. 

Seperti orang yang mengetahui bahwa madu itu enak tetapi kalau ternyata di dalamnya ada racun yang akan berakibat buruk baginya, ia akan tinggalkan madu tersebut.

Jika hal itu tidak mampu atau belum sanggup menggugah keikhlasan hati, maka ingatlah ancaman neraka, takutlah dengan kedahsyatan siksanya. Orang yang mengingat neraka, tentu ia menjadi takut kepadanya. Dan jika ia takut, konsekuensinya ia akan lari darinya. 

Di akhirat kelak hanya ada dua tempat untuk menetap, di surga atau di neraka. Menjadi penghuni surga atau penghuni neraka, itu semua tergantung pada pilihan masing-masing manusia.

Dari sinilah mengapa dalam banyak ayat al-Qur’an yang mengulang-ulang janji dan kabar gembira surga serta ancaman siksa neraka. Hal itu dimaksudkan agar bisa meluluhkan hati yang keras, mengingatkan hati yang lupa dan terpesona dengan dunia.

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.

Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Baqarah: 281)

Takut kepada Allah adalah cara yang utama untuk menumbuhkan keikhlasan seseorang. Ia harus mendedikasikan dirinya kepada Allah dengan kecintaan yang mendalam setelah memahami kebesaran-Nya, bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah, bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini dan yang memelihara setiap makhluk hidup dengan penuh kasih. Dengan demikian, ia menyadari bahwa teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanyalah Allah. Karena itulah, keridhaan Allah adalah satu-satunya pengakuan yang harus kita cari. Selain rasa cinta yang mendalam, ia sangat takut kepada Allah, sebagaimana firman Allah:

“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah: 203)

Rasa takut kepada Allah muncul dari pemahaman dan penghargaan akan kebesaran dan kekuatan-Nya. Seseorang yang memahami kebesaran kuasa Allah dan kekuatan abadi-Nya, akan mengetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya sebagai bagian dari keadilan Illahi jika ia tidak mampu mengarahkan hidupnya sesuai dengan keinginan Allah. Kesengsaraan yang disiapkan oleh Allah dalam kehidupan duniawi dan akhirat untuk mereka yang menafikan-Nya, dirinci di dalam ayat-ayat al-Qur‘an.

Semua manusia diperingatkan untuk mewaspadai hal itu. Setiap mukmin sejati selalu menyadari akan hal ini. Takut kepada Allah dilakukan agar ia selalu ingat bahwa kehidupan dunianya cepat atau lambat akan berakhir dan bahwa semua manusia pada akhirnya harus memperhitungkan perbuatan mereka di hadapan Allah. Jadi, ia akan selalu menyadari murka Allah. Kesadaran ini menyebabkan dirinya merasakan takut yang melekat saat menghadapi siksaan Allah dan karena itu ia berusaha menghindarinya.

Berusahalah meluruskanlah niat sesering mungkin, setidaknya setiap hari, saat kita hendak memulai segala aktivitas, baik beribadah, bekerja, maupun berbisnis. Camkan sampai melekat di pikiran kita bahwa niat kita dalam beraktivitas apapun adalah untuk beribadah kepada Allah.

Selalu Berdoa Kepada Allah

Ketahuilah bahwa hati manusia cepat berubah. Jika saat ini dapat beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Riya’ adalah penyakit yang sulit dideteksi dan kerap muncul tiba-tiba dalam hati kita.

Dan kita tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk mengobati riya’, sum’ah, dan ‘ujub, kita selalu membutuhkan pertolongan dan perlindungan Allah. Dan karenanya kita pun harus selalu memohon kepada Allah agar hati kita diteguhkan dalam agama ini.

Nabi kita adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan, namun Beliau selalu memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan.

Berikut ini beberapa untaian doa dan zikir agar Allah memberikan pertolongan kepada kita keikhlasan dan keistiqamahan dalam menapaki jalan yang lurus.

1. Membaca doa sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad shalallahu a'laihi wasallam.

Allahumma innii a’uudzubika an-usrika bika wa-anaa a’lamu wa-astaghfiruka limaa laa a’lamu

“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)

Yaa muqallibal quluubi tsabbit qalbii ‘alaa diinaka

“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi)

2. Membaca istighfar sebanyak seratus kali dalam sehari.

Astaghfirullaah wa-atuubu ilaihi Astaghfirullaah wa-atuubu ilaihi

“Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”

3. Membaca Sayyidul istighfar di bawah ini satu kali di waktu pagi dan petang.

Allahumma anta-rabbii laa-ilaha illaa anta khalaqtanii Allahumma anta-rabbii laa-ilaha illaa anta khalaqtanii wa-anaa ‘abduka wa-anaa ‘alaa ‘abdika wa-wa ‘adika maas-tatha’tu a’uudzubika min syarrimaa shana’tu abuu-u laka bini’matika ‘alayyaa wa-abuu-u bidzam bii abuu-u laka bini’matika ‘alayyaa wa-abuu-u bidzam bii faaghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau ciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan menjalankan semua janjiku untuk-Mu dengan segala kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang aku lakukan. Aku kembali kepada-Mu dengan segala nikmat-Mu atasku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku karena tidak ada yang memberi ampunan terhadap dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. al-Bukhari)

4. Membaca beberapa wirid dan doa di bawah ini:

Allahumma innii asbahtu usyhiduka wa-usyhidu hamalta ‘arsyika wa lamaa-ikataka wajamii’a khalqika annaka antallaahulladzii laa ilaha illaa anta wa-anna muhammadan ‘abduka wa rasuuluka. anta wa-anna muhammadan ‘abduka wa rasuuluka.

“Ya Allah, sungguh aku memasuki waktu pagi dengan aku bersaksi kepada-Mu, bersaksi kepada para pembawa ‘Arasy-Mu dan semua makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau dan bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu.” (HR. Abu Daud). Satu kali pada pagi dan petang.

Hasbiillaahu laa ilaha illa huwa’alaihi tawakkaltu wahuwa rabbul ‘arsyil ‘azhiimi. wahuwa rabbul ‘arsyil ‘azhiimi.

“Dzat yang mencukupi adalah Allah, tiada Ilah selain Dia, kepadanya aku berserah diri, dan Dia Tuhan ‘Arasy yang agung.” (HR. Ibnu Suni dan Ibnu ‘Asakir). Tujuh kali pada pagi dan petang.

Bismillaahilladzii laa yadhurru ma’asmihi syai-un fiil ardhi wa laa fiissamaa-i wa huwassamii’ul fiil ardhi wa laa fiissamaa-i wa huwassamii’ul ‘aliimu. ‘aliimu.‘aliimu.

“Dengan nama Allah yang tidak aka nada menimbulkan bahaya dengan menyebut nama-Nya apapun yang ada di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Tiga kali pada pagi dan petang.

Radhiitu billaahi rabbaan, wa bil-islaami diinaan wabi Radhiitu billaahi rabbaan, wa bil-islaami diinaan wabi muhammadin nabiyyaan. muhammadin nabiyyaan.

“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai nabiku.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Tiga kali saat pagi dan petang.

Ya hayyuu yaa qayyuumu bi rahmatika astaghitsu ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii tharfata’ainin

“Wahai Yang Mahahidup, Wahai Yang Maha Berdiri dengan sendiri-Nya. Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.

Perbaikilah untukku semua perilakuku, dan janganlah Engkau menyerahkan kepadaku (semua urusan) dalam sekejap mata.” (HR. Nasa’i dan Al-Hakim). Satu kali pada pagi dan petang.

A-’uudzubikalimaatillaahittaammaati min syarrii maa khalaqa khalaqa

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua kejahatan uang Dia ciptakan.” (HR. Muslim dan Abu Daud). Satu kali pada sore hari.

Subhaaanallaahi ‘adada khalqihi subhaanallaahi ri- Subhaaanallaahi ‘adada khalqihi subhaanallaahi ri-zhaa-a nafsihi wa subhaanallaahi zinata ‘arsyihi wa- zhaa-a nafsihi wa subhaanallaahi zinata ‘arsyihi wa-

subhaanallaahi midaada kalimaatihi wal-hamdulillaahi subhaanallaahi midaada kalimaatihi wal-hamdulillaahi mits-lu dzaalika

“Maha Suci Allah sejumlah makhluk-Nya, Mahasuci Allah atas keridhaan diri-Nya, Mahasuci Allah hiasan ‘Arasy-Nya, Mahasuci Allah tinta kalimat-kalimat-Nya, segala puji bagi Allah seperti yang demikian itu.” (HR. Ahmad). Tiga kali saat pagi dan petang.

Allahumma shallii wasallim ‘alaa nabiyyinaa  muhammadin shallaallaahu ‘alaihi wa sallama

“Ya Allah, sampaikanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad shalallahu a'laihi wasallam” Sepuluh kali pagi dan petang.

Wallahu ‘alamu bisshawab


0 Response to "Kiat Agar Dapat Ikhlas"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak