Janji Surga Bagi Orang yang Ikhlas

Janji Surga Bagi Orang yang Ikhlas

Manakala ikhlas telah tertanam dalam pengamalan suatu ketaatan, sedangkan ketaatan itu murni hanya dalam rangka mencari wajah Allah saja, maka kita dapat menyaksikan bahwa pasti Allah akan memberi balasan yang besar terhadap orang-orang yang ikhlas meskipun ketaatannya itu sedikit.

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (QS. asy-Syuura: 20)

Jika seorang hamba benar-benar mengikhlaskan tujuannya hanya untuk mencari keridhaan Allah dan kampung akhirat, maka Allah akan meridhainya dan memberinya kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman-Nya:

“Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. al-Imran: 145)

Imam Hasan ra. berkata tentang penggalan ayat ‘Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’, (artinya) Allah akan memberikan kepada seorang hamba dengan niatnya (niat akhirat) (pahala) dunia dan akhirat.

Pada ayat di atas Allah berjanji akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Ini berarti bahwa orang yang niat dan motivasinya akhirat akan dicatat sebagai orang-orang yang bersyukur. Sedangkan orang yang bersyukur akan ditambah pahalanya dan rezekinya. Sebagamana firman Allah pada ayat lainnya:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah

(nikmat) kepadamu …’” (QS. Ibrahim: 7)

Bersyukur itu indah dan nikmat. Karena hanya dengan bersyukur kita bisa menikmati nikmat dan karunia yang ada dan tersedia. Jika kita tidak bersyukur, maka nikmat sebesar apapun tidak pernah akan bisa membuat kita senang, suka, dan gembira. Orang yang bersuyukur akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Yakni pahala di dunia berupa kebahagiaan dan bertambahnya nikmat dunia. Dan pahala di akhirat yang sudah tentu akan lebih besar lagi.

Jadi, orang yang tujuan dan keinginannya akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah swt. berfirman yang artinya:

“Wahai anak Adam, beribadah-lah kepada-Ku sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan.” (HR. al-Hakim)

Pada hadis Qudsi yang lainnya Allah swt. berfirman:

“Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

Perhatikan, pada hadis yang mulia ini Allah telah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.

Alangkah ruginya usaha kita jika hanya diniatkan untuk dunia semata. Untuk itulah pentingnya meluruskan niat dalam beribadah. Sungguh Allah telah mengingatkan kepada kita dalam salah satu firman-Nya, bahwa bagi-Nya ada dua pahala, dunia dan akhirat, dan Dia memerintahkan kepada hamba-Nya agar memilih keduanya:

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisa’: 134)

Kalau kita berniat murni melaksanakan perintah Allah, maka Allah akan membalas di dunia dan juga di akhirat. Inilah kelebihan kita sebagai orang Islam, karena dengan hanya melaksanakan satu perbuatan baik saja, jika murni karena Allah, maka untuk dunianya pasti dapat dan akhiratnya mendapat pahala keridhaan Allah. Bukankah kehidupan kita yang sebenar-benarnya adalah akhirat?

Dunia ini sekedar tempat singgah untuk mencari bekal pahala akhirat, karena kita ini makhluk yang diperjalankan melalui lima alam, yaitu: alam ruh, alam janin, alam dunia, alam kubur, dan alam akhirat.

Alam akhirat ada dua pilihan, yakni surga dan neraka. Kesempatan menentukan pilihan itu ada pada saat ini. Jika kita berniat ikhlas karena Allah, maka ibarat kita akan mendapatkan sekeping uang logam yang dapat dua sisi. Dengan satu niat, tapi insya Allah dapat dua keuntungan sekaligus.

Kebahagiaan dan Kepuasan yang Tak Terputus karena Tidak Mengharapkan Imbalan Apapun dari Manusia

Setiap manusia pasti menginginkan dan mendambakan kehidupan yang bahagia, menikmati hidup ini tanpa merasa terbebani oleh berbagai masalah. Itulah di antara surga dunia yang selalu kita impikan. Dan hal ini hanya akan dirasakan oleh orang yang sungguh-sungguh berupaya ikhlas, menjaga setiap amalnya, baik amal ibadah maupun amal saleh dalam kehidupan bermasyarakatnya, hanya bagi Allah.

Mengapa kebahagiaan sejati itu hanya bisa dinikmati oleh orang yang ikhlas? Karena betapapun baiknya perbuatan seseorang, jika hal itu tidak dilandasi atas dasar keikhlasan, maka yang akan muncul kemudian adalah rasa kecewa, menyesal, dan bahkan sakit hati. Sebagian orang mampu melakukan perbuatan baik, tetapi bukan karena mereka takut kepada Allah, melainkan ingin mendapatkan kehormatan dan pujian di mata manusia. Mereka mempunyai tujuan untuk mendapatkan balasan dan keuntungan dunia, besar maupun kecil. Sebagai contoh, seseorang yang mengirimkan barang-barang dan pakaiannya untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal karena bencana alam. Ia mungkin saja membantu saudaranya atau bersikap baik, sayang, dan baik budi. Ia mungkin juga ramah, lembut, dan memahami karyawannya. Ia mungkin hormat dan penuh toleransi kepada orang yang lebih tua. Jika perlu, ia bisa saja mengorbankan dirinya, ikut serta dalam kegiatan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang baik. Tapi jika ia tidak ikhlas dalam melakukannya, pasti ujung-ujungnya ia akan kecewa dan merugi.

Seseorang yang riya’, ketika harapan dan keinginannya tidak terwujud, maka terasa sempitlah kehidupannya dan gelisah lah hatinya. Sebab, dia tidak mendapatkan ridha Allah dan tidak memperoleh hasil yang diharapkan dari orang banyak.

Fondasi kebahagiaan orang yang tidak ikhlas sangatlah rapuh. Hatinya gampang sekali kecewa, bersedih, dan gelisah, karena semua perbuatannya selalu dikaitkan dengan kepentingan dirinya.

Ia tak senang karena tak diberi, senang karena diberi, membenci karena dibenci, mencintai karena dicintai, memukul karena dipukul, tak menghormati karena tidak dihormati, dan seterusnya.

Hatinya menjadi selalu gelisah dan tidak tenang karena ia diperbudak oleh penantian mendapat penghargaan ataupun imbalan dari makhluk. Sedangkan penantian adalah hal yang tidak nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal yang dapat meresahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang sebaliknya, caci-maki.

Tentang hal ini hadis Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam menyebutkan:

“Celakalah para materialis (penghamba dinar, dirham, dan sutera). Senang jika diberi, dan tak senang jika tak diberi.” (HR. al-Bukhari)

Berbeda dengan hamba yang ikhlas, ia tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan apapun dari manusia. Dia melakukan amal ibadahnya murni hanya karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah. Ia hanya berpikir dan bergantung kepada Allah Subhanahu wata'ala Yang Maha Sempurna, yang akan memberi balasan yang terbaik untuknya.

Ia yakin bahwa setiap perbuatannya tidak ada yang kecil dalam pandangan Rabb-nya.

Sayyidina Ali ra. pernah berkata, “Orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.”

Karena itu, orang yang ikhlas batinnya akan selalu dipenuhi oleh kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kepuasan. Ia tidak bersedih jika orang lain tidak menghargai jerih-payahnya. Tidak akan risau jika sikapnya atau perilakunya dicela orang lain. Tidak gundah ketika tangan tulus yang ia ulurkan dibalas dengan tamparan yang menyakitkan. Dan ia tidak takut atau khawatir bila perbuatannya dihujat manusia. Bahkan seandainya semua orang membencinya, ia tetap dalam pendiriannya, tidak akan pernah peduli dengan semua itu. Ia tetap asyik dengan kebahagiaan dan keindahan mengharapkan ridha dan pahala Allah.

Demikian itu karena tidak pernah terbersit di hatinya keinginan untuk dipuji, dihargai, dihormati makhluk atau meminta balasan dari mereka. Ringan saja ketika melakukan sesuatu, yang penting baginya adalah ridha dan berkah Allah. Ia tahu bahwa tugasnya di dunia ini hanya dua, pertama meluruskan niat hanya demi meraih cinta Allah, lalu selanjutnya ia harus menyempurnakan ikhtiar agar hasil yang diharapkan betul-betul optimal, terbaik yang dapat dipersembahkannya.

Sehingga ia tidak peduli dengan penghargaan orang lain, ia tetap bersemangat beramal saleh, baginya yang terpenting, apa yang dilakukannya mendapatkan ridha Allah. Rezeki baginya adalah ketika ia mampu berbuat meluruskan niat dan beramal dengan amal terbaik. Apakah amalnya akan mendapat pujian manusia atau tidak, itu bukan urusannya. Apakah ia akan diabaikan dan dicela, itu tidak menjadi perhatiannya. Justru ia takut jika sanjungan manusia akan membuatnya sombong dan ujub dengan amalnya. Ia berusaha melupakan dan mengabaikan amal baiknya di hadapan makhluk.

Sesungguhnya, yang membuat kesuntukan dan kegelisahan itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari simpati mereka, keinginan untuk dipuji dan dihargai, dan keinginan untuk tidak dicela.

Maka, tidak usah heran, jika kita tidak ikhlas kita akan banyak mengalami kekecewaan dalam hidup ini. Orang yang tidak ikhlas akan banyak tersinggung dan terkecewakan karena ia memang terlalu banyak berharap kepada manusia. Menginginkan agar orang lain menghargainya, memujinya, memuliakannya, merelakan dan begitulah seterusnya.

Padahal, membuat manusia rela pada kita itu adalah sesuatu yang mustahil. Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berusaha dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Tabiat untuk mengingkari, membangkang, dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang umum menimpa manusia. Kita tak perlu heran dan resah jika mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah kita berikan, mencampakkan budi baik yang telah kita tunjukkan.

Sungguh orang yang berharap sesuatu pada makhluk, apakah itu imbalan, sanjungan atau ucapan terima kasih, maka ia akan selalu resah dan capek sendiri. Demikian itu karena memang tabiat makhluk suka membenci dan iri terhadap orang lain.

Jika kita tidak ikhlas, maka kita ibarat orang yang terpenjarakan dan dibelenggu oleh orang lain. Kita tidak merdeka karena dalam tindakan-tindakan itu, hati kita terbelenggu oleh pujian, applaus, dan sikap-sikap orang lain. Kalau tidak mendapat pujian, kita tak mau melakukannya. Kalau tidak diperhatikan, kita cenderung berbuat semaunya. Kalau tidak mendapat penghormatan, kita menjadi kurang semangat.

Riya’ itu ibaratnya menjual (kemerdekaan) diri kita ditukar dengan (belenggu) pujian, penghormatan, atau sikap-sikap simpati lainnya dari orang lain. Betapa kerdilnya diri kita jika demikian. Sungguh andai saja ada orang lain yang tahu maksud riya’ di hati kita, pasti tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memuji dan menghormati kita, bahkan mereka akan mencela dan memandang rendah diri kita.

 Intinya, puncak kebahagiaan dan kemerdekaan diri hanya bisa diraih dengan keikhlasan. Kita akan menjadi manusia yang bahagia dan merdeka serta bebas dari segala belenggu jika kita mampu menjadi orang yang ikhlas. Kita akan senang, puas, dan bahagia karena kita bisa menghargai amal perbuatan kita sendiri, bukan mengharapkan orang lain menghargai perbuatan kita. Silakan, orang mau tahu atau tidak, mau memuji atau tidak, mau menghormati atau tidak, yang penting saya adalah saya, kokoh dengan tindakan dan pendirian saya. Beginilah kemerdekaan.

Karenanya, biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu, kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yang pasti aman.

Jangan disebut-sebut dan diingat-ingat lagi. Mengingat-ingat dan menyebutnya justru akan mengurangi pahala amal kita. Di samping akan menyebabkan kita terkena penyakit ‘ujub, cari perhatian dan simpati orang lain. Dan akhirnya menjadikan kita tidak tenang, kecewa dan sedih karena kita mengharapkan sesuatu yang sangat sulit untuk diraih.

Tidak Diliputi oleh Ketakutan dan Kekhawatiran

Tidak ada orang yang tidak pernah ditimpa ketakutan dan kekhawatiran. Begitu pula tidak ada orang yang tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kegembiraan. Hidup ini senantiasa dipenuhi oleh berbagai macam keadaan: ada suka dan duka, ada keberhasilan dan kegagalan, ada pertemuan dan perpisahan, ada terang dan gelap, ada cinta dan benci, dan begitu seterusnya. Beragam kondisi luar itu pada akhirnya pasti akan memengaruhi keadaan jiwa dan hati kita.

Jika kita bertanya, apakah dan siapakah yang menyebabkan jiwa ini menjadi takut dan khawatir? Dihantui oleh oleh kegelisahan dan keresahan? Takut miskin, takut ditimpa musibah, takut sakit, takut mati, takut kehilangan harta dan jabatan, takut ditinggalkan teman atau saudara, takut dicela orang dan berbagai macam takut lainnya. Jawabnya adalah, diri kita sendirilah yang sebenarnya memunculkan perasaan takut itu. Berbagai ketakutan itu bersumber dari diri kita.

Dan pada kenyataannya, kebanyakan manusia lebih sering ditimpa ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan, daripada merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Memang ketika mendapatkan kenikmatan dunia, maka ia akan senang dan bahagia, berbangga diri dan dan cenderung lupa diri. Tapi, sebentar saja kebahagiaan itu datang, perasaan takut dan khawatir segera datang menghantuinya.

Ketika sedang menggenggam dunia, ia khawatir dunia terlepas darinya.

Ketika menduduki jabatan atau kedudukan, ia takut digeser, diturunkan, atau ada orang lain yang menjegalnya. Ketika punya harta, ia takut kalau sewaktu-waktu ada orang lain yang merampasnya. Banyak pintu gerbang rumah tertutup rapat di siang hari. Tidak sedikit pejabat yang rela melakukan tipu daya dan kejahatan. Banyak pedagang atau pengusaha yang melakukan hal yang aneh-aneh. Itu semua adalah di antara bukti bahwa dalam kegembiraan dan kesenangan yang mereka dapatkan, mereka selalu dihantui perasaan takut, khawatir, dan tidak tenang.

Mengapa kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan itu begitu menguasai dan mendominasi jiwa mereka? Jawabnya hanya ada satu, yakni karena mereka kurang ikhlas dalam menjalani hidup ini. Mereka hanya mengarahkan tujuan dan cita-citanyanya pada kesenangan dunia yang sudah pasti akan sirna dan menghilang. Pan- dangan mereka hanya tertuju pada harta, jabatan, kepopuleran, dan gemerlapnya perhiasan dunia. Maka, segala sikap, perilaku, dan tindakannya hanya akan diperuntukkan untuk memperoleh dunia dan mengumpulkannya yang sebanyak-banyaknya. Adanya dunia membuat mereka takut dari kehilangannya. Dan tidak adanya dunia menjadikan ia bersedih, khawatir, kecewa, dan putus asa. Begitulah, kehidupan mereka selalu diliputi oleh kabut kegelisahan, kepanikan, ketakutan, kekecewaan dan berbagai macam hal buruk lainnya.

Allah Subhanahu wata'ala telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha:124)

Kondisi dan keadaan yang demikian ini sangat berbeda dengan orang yang ikhlas. Walaupun orang yang ikhlas juga bisa merasa takut dan gelisah, namun ketakutannya itu tidak akan sampai menguasai hatinya, menjadikannya hilang kendali. Ia tidak pernah takut kehilangan dunia, karena ia percaya dan berkeyakinan bahwa dunia dan segala isinya hanyalah milik Allah. Ia juga tidak akan bersedih jika ditimpa kesulitan dan kemalangan dunia, karena ia yakin bahwa Allah akan tetap menyayangi dan mengasihinya.

Tidak ada yang ditakutkan dan dicemaskan oleh orang yang ikhlas selain daripada Allah Tuhannya. Ia hanya takut jika Allah tidak meridhainya, memurkainya, dan menimpakan siksa kepadanya.

Ia hanya khawatir dan gelisah memikirkan bagaimana nasibnya kelak di hari pembalasan.

Ketakutan orang yang ikhlas itu sebagaimana digambarkan Allah dalam firman-Nya:

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. az-Zumar: 23)

Saat mereka mengingat Allah, ingat akan dahsyatnya ancaman dan siksa-Nya. Hati mereka menjadi bergetar ketakutan.

Jiwa dan pikiran mereka diliputi oleh perasaan takut, khawatir bercampur perasaan mengagungkan, memuliakan, dan dan tunduk kepada-Nya. Kemudian setelah itu, hati mereka menjadi tenang dan damai. Jiwa dan perasaan mereka berganti menjadi senang, bahagia, bercampur perasaan penuh harap akan rahmat dan kasih-Nya.

Begitulah, hati orang yang ikhlas, selalu dipenuhi perasaan cemas dan harap. Cemas pada ancaman siksa Allah. Dan berharap besar pada rahmat-Nya.

Ketakutannya pada Allah dan hari akhirat benar-benar akan membuat hatinya menjadi lapang, jiwanya menjadi tenang dan tenteram. Justru dengan takut kepada Allah, ia tidak akan takut kepada selain-Nya.

Karena, bagaimana mungkin orang yang ikhlas terhadap Rabb-nya, merasa selalu di sertai-Nya, ia akan takut pada orang lain?

Bagaimana mungkin orang yang sadar bahwa segala sesuatu itu ada di bawah kekuasaan Allah, lalu akan takut pada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang takut kepada Allah juga takut kepada selain Allah? Padahal Allah telah berfirman:

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Imran: 175)

Dan, bagi orang yang ikhlas, tidak ada yang perlu dirisaukan dari perkara dunia yang menimpanya. Baginya, apa yang datang atau hilang dari perkara dunia adalah hal kecil yang tidak perlu membuatnya takut dan bersedih. Ia tidak perlu resah dan menyesali atas apa yang telah terjadi, apalagi meratapi kegetiran-kegetiran kisah hidupnya. Yang terpenting dan yang menjadi perhatian utamanya adalah bagaimana ia bisa menyiapkan bekal untuk episode kehidupan yang sebenarnya, yakni kehidupan akhirat.

Dunia itu kecil dan hina di mata Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu a'laihi wasallam:

“Seandainya dunia ini di sisi Allah sama nilainya dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan pernah memberi minum seorang kafir walau seteguk air.”

Menurut Allah, dunia lebih tidak berharga dari sayap seekor nyamuk. Inilah hakikat nilainya dan timbangannya di sisi Allah.

Lalu mengapa ia harus takut dan resah karenanya.

Pemilik hati yang seperti ini adalah para hamba Allah yang ikhlas, para kekasih-Nya. Mereka tidak akan pernah ditimpa ketakutan dan kesedihan, sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

Dalam hidupnya, orang yang ikhlas akan selalu merasa senang, bahagia, dan gembira. Mengapa? Karena ia punya harapan besar dan cita-cita yang tinggi. Yakni harapan dan cita-citanya bahwa kelak ia akan diberi pahala surga dan bisa bertemu dengan Rabbnya. Dan ia telah memperjuangkan harapannya itu, berusaha mewujudkan cita-citanya tersebut. Ia tidak perlu khawatir dan bersedih karena Allah pasti akan menepati janji-Nya. Jadi, orang yang ikhlas itu punya harapan besar yang membuat hidupnya selalu dalam kebahagiaan dan kebermaknaan.

Berbeda dengan orang yang riya’ dan tidak ikhlas, maka ia tidak punya harapan tinggi yang bisa mambuatnya senang dan bahagia. Harapannya hanya tertuju pada dunia. Baginya, dunia adalah tempat dan tujuan akhir dari semua harapan. Padahal, harapan dan cita-cita dunia itu belum tentu dapat diperolehnya atau dinikmatinya. Makanya, tidak mengherankan bila kita sering melihat mereka adalah orang-orang yang paling gelisah ketika menghadapi suatu musibah dan paling mudah larut dalam penyesalan saat malapetaka merenggut semua milik mereka. Itu semua, tak lain dikarenakan mereka hanya memandang, memikirkan, mementingkan, dan hanya berbuat segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dunia yang sangat singkat, fana, dan tidak bernilai ini. Bahkan seolah-oleh mereka tak rela sedikitpun keceriaan dan kegembiraan mereka di dunia ini terkotori dan terusik oleh hal apapun.

Berkaitan dengan hal ini, seorang ulama salaf pernah memberi wasiat kepada saudaranya, “Bawalah ambisimu ke satu arah saja, yakni bertemu dengan Allah, bahagia di akhirat, dan damai di sisi-Nya.

Sungguh tidak ada ambisi yang lebih mulia dan lebih tinggi selain daripada ambisi yang demikian itu. Yakni ambisi yang digantungkan dan diarahkan pada cita-cita tertinggi nan agung yang begitu indah. Itulah ambisi orang yang ikhlas. Apalah arti sebuah ambisi jika hanya tertuju pada kehidupan dunia ini saja. Karena semua itu hanya akan bermuara pada ambisi yang palsu dan sulit diraih.

Ambisi pada kedudukan, jabatan, emas dan harta, anak-anak, nama besar, kemasyhuran, istana-istana, dan rumah yang besar yang semuanya akan musnah dan pasti kita tinggalkan.

Jibril pernah menasihatkan kepada Muhammad saw., “Hai Muhammad, hiduplah sesuai yang kamu inginkan, sesungguhnya kamu pasti mati! Dan cintailah orang yang kamu cintai, sesungguhnya kamu pasti akan berpisah dengannya.” (HR. Baihaqi)

Apabila tujuan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia adalah surga yang kekal abadi, niscaya setiap bencana akan terasa ringan, berbagai beban kehidupan akan membuat matanya tetap berbinar, dan semua kesengsaraan hidup tetap dapat dijalani dengan riang hati.

Malaikat Akan Menjadi Penolongnya dan Menggembirakannya gembirakannya dengan Janji-Janji Surga 

Tentu sebuah anugerah yang teramat besar tatkala hidup kita di dunia ini selalu dilindungi, dijaga, dan ditolong oleh para tentara Allah. Yakni para malaikat Allah yang selalu siap menjaga dan membantu kita, di manapun dan kapanpun Mereka selalu menggembirakan di kala kita bersedih, memberi ketenangan di saat-saat kita mengalami ketakutan dan kegelisahan, menjadi pendamping dan penolong di waktu kita butuh pertolongan.

Dan semua perlindungan serta penjagaan itu Allah spesialkan kepada para hamba-Nya yang ikhlas. Allah swt. berfirman dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:

‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’” (QS. Fushshilat: 30)

Ayat di atas melukiskan bagaimana penyertaan khusus Allah terhadap para kekasih-Nya, yakni dengan cara mengutus malaikat yang selalu menjaga, mengawasi, melindungi, dan menggembirakannya.

Makna bahwa para malaikat menjadi penolong orang mukmin adalah malaikat punya pengaruh pada ruh-ruh manusia dengan ilham dan mukasyafah keyakinan, sebagaimana syaitan juga mempunyai pengaruh pada ruh dengan menimpakan was-was dan khayalan batal.

“Sesungguhnya syaitan itu punya suatu bisikan terhadap anak Adam, begitu pula malaikat juga mempunyai bisikan. Adapun bisikan syaitan menjanjikan pada keburukan dan mendustakan kebenaran.

Sedangkan bisikan malaikat menjanjikan pada kebaikan dan membenarkan kebenaran. Barangsiapa yang mendapatkan hal itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, lalu memujilah pada-Nya. Dan barangsiapa menemukan yang lainnya, berlindunglah kepada Allah dari syaitan.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Baihaqi)

Orang-orang yang istiqamah dan ikhlas, mereka benar-benar akan merasa bahagia dengan janji-janji baik dari Allah. Malaikat selalu membisikkan ketenangan dan kegembiraan di hatinya, “Jangan takut, jangan bersedih, tenanglah dan berbahagialah karena janji surga Allah pasti ditepati dan telah dekat.” 

Orang yang ikhlas yakin bahwa Allah akan mencukupinya, melindunginya, dan ridha padanya, dan itu disebabkan karena ia telah mau rela dan ikhlas dengan keputusan-Nya.

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. al-Anfaal:64)

Ketika Nabi Musa as. dan para pengikutnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, para pengikutnya khawatir dan takut, menyangka mereka akan dapat terkejar oleh mereka. Tapi, saat itu Musa alaihis Sallam dengan tenang berkata,

“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-Syu’araa: 62)

Allah adalah Dzat yang selalu ada dan abadi. Kapanpun dan manapun seorang hamba, Allah pasti bisa melihat dan mengawasinya, mampu menolong dan melindunginya. Orang yang tujuannya hanya diarahkan pada Allah, maka ia akan selalu bahagia dan gembira karena cinta pada-Nya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah ra. menjelaskan, “Ikhlas dan tauhid adalah satu pohon yang tumbuh di dalam hati, cabang-cabangnya adalah amal dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sebagaimana buah yang ada di dalam surga tidak pernah terputus dan terhalang untuk didapat, begitu pula buah tauhid dan ikhlas di dalam dunia ini.”

Semua Mahluk akan Mencintai dan Menyayanginya

Salah satu nikmat terbesar di dunia ini adalah apabila kita bisa dicintai dan disayangi oleh banyak orang. Kita dicintai oleh keluarga, kerabat, teman, dan saudara-saudara kita, bahkan musuh kita sekalipun segan terhadap kita. Bukan cinta dan kasih sayang palsu, melainkan kecintaan yang keluar dari ketulusan dan keikhlasan hati.

Apalah arti sebuah cinta jika terkotori oleh berbagai pamrih duniawi?

Apalah arti kasih sayang jika keluar dari hati yang riya’? Dan kecintaan yang demikian ini hanya akan mampu didapatkan dan dirasakan oleh orang-orang yang benar-benar ikhlas.

Orang yang ikhlas akan dicintai oleh banyak manusia. Mengapa? Karena ia adalah kekasih Allah, hamba yang disayangi Allah.

Dan jika Allah menyayangi hamba-Nya, maka ia memerintahkan kepada seluruh malaikat, setiap penghuni langit dan bumi agar mereka juga menyayanginya. Dalam hadis yang sahih dinyatakan:

“Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia, maka Jibril pun mencintainya.

Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

Hasan al-Bashri pernah bercerita, “Ada seorang laki-laki yang berkata, ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk masjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata, ‘lihatlah orang yang riya’ ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata, ‘tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata, ‘semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al-Bashri pun membaca ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”

Barangsiapa yang dimuliakan oleh Allah, maka semua makhluk akan memulikannya. Dan barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka semua makhluk pun akan menghinakannya. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa dan menggenggam segalanya. Dia-lah yang membolak-balikkan hati manusia. Dia yang menciptakan kebaikan dan keburukan, cinta dan benci, pujian, dan celaan.

Lalu, bagaimana memahami bahwa orang yang ikhlas akan dicintai dan disayangi makhluk? Di manakah letak kekuatan hamba-hamba Allah yang ikhlas? Kita semua tahu bahwa setiap perbuatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji dan tersanjung. Begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan yang tercela, walau berusaha mencari pujian dan sanjungan, tetap saja tercela.

Sedangkan orang yang ikhlas perbuatannya selalu baik dan terpuji.

Demikian itu karena Allah tidak pernah memerintahkan kepada hamba-Nya yang ikhlas kecuali pada kebaikan dan keindahan.

Orang yang ikhlas tidak pernah mengharapkan imbalan atau balas jasa apapun dari manusia. Jika ia memberi, maka ia memberi karena ikhlas. Jika ia menolong, ia menolong dengan tulus.

Kinginan dan cita-citanya hanya tertuju untuk mendapatkan keridhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi. Karena itu, ia tidak akan pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, banyak pamrih, dan tidak wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan dan ucapannya. Hal ini karena ia tidak akan berusaha mempengaruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan cepat disukai dan membuat orang lain merasa nyaman dengannya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa sifat-sifat menipu yang dilakukan untuk mendapatkan pengaruh pada orang lain akan merusak ketulusan hatinya. Ia akan merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.

Inilah yang membuat kebanyakan manusia mencintai dan menyayanginya. Karena sesungguhnya, watak dasar manusia itu suka dan cinta pada pada ketulusan, kejujuran, dan keikhlasan. Siapa pun orangnya, sampai pun ia seorang penjahat, pencuri atau penipu, pasti ia suka pada orang yang tulus dan jujur. Maka itu, orang yang ikhlas sudah pasti akan banyak dicintai, mulia di mata manusia.

Imam Ibnu al-Qayyim ra. berkata, “Jika hanya Allah yang kamu tuju, maka kemuliaan akan datang dan mendekat padamu, serta segala keutamaan akan menghampirimu. Kemuliaan sifatnya mengikut. Artinya, jika kamu menuju Allah, kemuliaan akan mengikutimu. Tapi jika kamu hanya mencari kemuliaan, Allah akan meninggalkanmu. Jika kamu telah menuju Allah kemudian tergoda untuk mencari kemuliaan lain bersama-Nya, maka Allah dan kemuliaan-Nya akan pergi meninggalkanmu.”

Seorang hamba yang ikhlas memiliki kekuatan ruhiyah yang begitu besar. Ia seakan-akan menjadi pancaran energi yang melimpah.

Ia bagai magnet yang mampu menyedot kecintaan semua orang yang ada di sekitarnya. Keikhlasan seorang hamba Allah dapat dilihat dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya. Siapapun orangnya pasti akan suka berteman dengan orang yang ikhlas. Kita akan merasa aman bergaul dengan orang yang ikhlas. Kita tidak khawatir akan ditipu atau dikhianati, tidak curiga akan dikecoh olehnya. Justru sebaliknya, kita akan merasa nyaman karena sikap dan tutur katanya menghargai dan menyejukkan, penuh manfaat, karena orang yang ikhlas perhatiannya fokus memberi yang terbaik untuk Allah yang selalu menatapnya. Dia benar-benar bening dari berbuat rekayasa. Setiap tumpahan kata-kata dan perilakunya tidak ada yang tersembunyi. Semua itu ia lakukan tanpa mengharap apapun dari orang yang dihadapinya, yang ia harapkan hanyalah memberikan yang terbaik untuk siapapun.

Lain halnya dengan orang yang berbuat riya’ dan tidak ikhlas dengan amalnya. Ia akan dijauhi dan banyak mendapatkan celaan orang. Sikap riya’ akan menghilangkan rasa hormat dari masyarakat kepada dirinya. Hal ini karena Allah akan mencabut rasa hormat masyarakat kepada seseorang yang bersikap riya’. Allah berfirman:

“Dan barangsiapa dihinakan Allah, maka tidak ada seorangpun yang memuliakannya.” (QS. al-Hajj: 18)

Betapapun baiknya penampilan suatu amal, jika orang yang melakukannya tidak ikhlas, maka pasti amal itu ujungnya akan dicela orang, pasti pelakunya akan dibenci dan dijauhi. Mengapa?

Karena orang yang riya’ itu suka berpura-pura, berpenampilan baik padahal tidak, ambisius, banyak pamrih, penuh tipu daya, dan rekayasa. Ketika bergaul atau berteman dengan orang yang riya’, kita tidak akan tenang, gelisah, dan risau. Karena jika ia berbuat sesuatu, pasti ia berharap sesuatu pada diri kita, minimalnya ucapan terima kasih. Maka kemudian, kita pun dituntut agar selalu memenuhi harapan dan keinginannya tersebut. Dan lama kelamaan, kita akan dibuat capek, bosan, dan merasa muak dengan sikap dan perilakunya.

Begitulah orang yang riya’, ia akan mendapatkan kebencian dan celaan semua orang. Sesungguhnya orang yang berbuat riya’ adalah orang yang menipu diri mereka sendiri.

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. al-Baqarah: 9)

Mampu Menjalani Hidup dengan Penuh Sema-ngat, Gairah, dan Prestasi ngat, Gairah, dan Prestasi

Hidup adalah perjuangan untuk meraih cita-cita, cita-cita untuk meraih kesuksesan dunia dan cita-cita untuk menggapai kebahagiaan surga yang abadi. Hidup ini akan terasa indah dan nikmat jika kita mampu tetap bersemangat dan bergairah dalam berusaha dan berjuang mewujudkan setiap cita-cita yang kita inginkan. Lihatlah orang-orang yang selalu bergairah dan bersemangat dalam hidup ini! Mereka terlihat begitu senang dan gembira, selalu optimis dalam menjalani hidup, raut muka mereka memancarkan sinar kebahagiaan. Tapi lihatlah seorang pemalas, ia terlihat lemah dan selalu sedih, mudah kecewa dan putus asa, pesimistis, wajah mereka tampak murung, kusut, dan suram. Seakan mereka tidak lagi punya keinginan untuk menjalani hidup ini.

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita:

“Beramallah untuk duniamu seakan engkau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati besok.”

Tidak ada motivator dan motor penggerak dalam hidup ini yang lebih kuat daripada ikhlas. Ikhlas memiliki daya ubah dan daya gugah yang begitu besar. Keikhlasan dapat menyemangatkan hidup dan beraktivitas apapun. Karena ikhlas itu bersikap aktif, bukannya pasif. Ikhlas berbeda dengan pasrah. Ikhlas adalah menerima ketetapan Allah sambil terus berusaha mencari solusi dalam menyelesaikan masalah atau problem yang terjadi, bukan berdiam diri. Sedangkan pasrah sama dengan ngalah, menyerah sebelum berusaha.

Contohnya bila suatu ketika kita tersandung atau terjatuh, kita akan merasakan sakit. Konsep pemikiran ikhlas dengan aktif mengajak kita menyadari bahwa kita telah jatuh dan kita sakit karenanya (bukan malah mengingkarinya, bukan malah menolak sakit tersebut, bukan mencari-cari sebab kejatuhan secara berlebihan, bukan mencari kambing hitam untuk disalahkan). Ketika kita mampu menerima kenyataan tersebut dengan tidak meratapinya, maka hal ini ini akan membuat sakit hanya sebatas sakit saja. Tidak berkembang menjadi berlipat-lipat akibat penolakan kita. Tidak berkembang menjadi berkali-kali akibat ketidakmampuan kita menerima hal tersebut.

Dan yang perlu kita lakukan setelah menyadari rasa sakit itu hanya satu, obati! Berikan obat dan selanjutnya biarkan waktu yang bekerja menyembuhkannya secara alami, tidak dipaksakan.

Kita bisa melihat bagaimana kekuatan ikhlas ini telah mampu mengubah dan menjadikan para sahabat Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam, sehingga mereka menjadi orang-orang yang bersemangat dalam menjalani kebaikan dan menyebarkannya. Mereka terlihat bersemangat dalam menjalani hidup, senantiasa optimis, dan selalu ringan dalam mengerjakan setiap kebaikan. Dan itu tidak lain karena dorongan ikhlas dari hati mereka.

Dikisahkan, Syaddad bin al-Hadi mengatakan, “Seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam, lalu beriman dan mengikutinya. Orang itu mengatakan, ‘Aku akan berhijrah bersamamu.’Maka Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam menitipkan orang itu kepada para sahabatnya.

Saat terjadi perang Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah (rampasan perang). Lalu beliau membagi-bagikannya dan menyisihkan bagian untuk orang itu seraya menyerahkannya kepada para sahabat. Orang itu biasa menggembalakan binatang ternak mereka.

Ketika ia datang maka para sahabat menyerahkan jatahnya itu. Orang itu mengatakan, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah bagianmu yang dijatahkan oleh Rasulullah saw.’ Orang itu mengatakan lagi, ‘Aku mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti ini. Aku mengikutimu semata-mata karena aku ingin tertusuk dengan anak panah di sini (sambil menunjuk tenggorokannya), lalu aku mati lalu masuk surga.’ Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam mengatakan, ‘Jika kamu jujur kepada Allah, maka Dia akan meluluskan keinginanmu.’

Lalu mereka berangkat untuk memerangi musuh. Para sahabat datang dengan membopong orang itu dalam keadaan tertusuk panah di bagian tubuh yang ditunjuknya. Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam mengatakan, ‘Inikah orang itu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam berujar, ‘Ia telah jujur kepada Allah maka Allah meluluskan keinginannya.’ Lalu Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam mengafaninya dengan jubah Beliau kemudian menshalatinya. Dan di antara doa yang terdengar dalam shalatnya itu adalah Allaahumma haadza ‘abduka kharaja muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun ‘alaihi (Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya).” (HR. an-Nasai)

Ketika kita lemah, malas, dan mengalami penurunan semangat, maka ingatlah dan luruskanlah niat. Tanyakan pada diri, untuk apa dan untuk siapa kita beribadah dan bekerja keras? Bukankah keuntungannya akan kembali kepada diri kita sendiri? Bukankah kita punya cita-cita dan harapan yang agung, yakni surga yang dijanjikan Allah?

Misalnya saat kita mencari nafkah. Mencari nafkah adalah merupakan ibadah kepada Allah, bahkan seorang yang mencari nafkah disamakan dengan mujahid. Jika imbalan yang akan didapat bukan hanya materi di dunia, maka sudah seharusnyalah kita lebih

bersemangat untuk mencari nafkah. Jika Allah yang menjadi tujuan, mengapa harus dikalahkan oleh rintangan-rintangan yang kecil di hadapan Allah? Jika mencari nafkah merupakan ibadah, semakin kita kerja keras, Insya Allah semakin besar pula pahala yang akan diberikan oleh Allah.

Orang yang ikhlas dalam beramal, berdakwah, dan melakukan perjuangan apa pun, ia tidak mudah terjebak dan tergoda oleh kondisi-kondisi sesaat. Ia bekerja penuh semangat dan berjuang terus tiada henti, baik ada orang yang menghargainya atau tidak, baik ketika dilihat orang atau sendiri. Tidak ada yang dapat menghentikan orang yang ikhlas dari amal dan perjuangannya selain kematian.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110)

Ciri seorang mukmin yang ikhlas adalah ia tidak pernah puas melakukan amal kebaikan sebelum ia sampai di surga nanti.

Sabda Nabi Muhammad shalallahu a'laihi wasallam:

“Seorang mukmin tidak akan pernah puas dari kebaikan yang didengarnya hingga ia sampai pada tempat pemberhentiannya yakni surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban) 

Orang-orang beriman yang ikhlas, mereka suka berlomba-lomba dalam mengerjakan amal baik untuk mendapatkan keridhaan Allah. Mereka berjuang terus-menerus hingga batas kekuatan yang mereka miliki agar berhasil mendapatkan keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan surga Allah. Mereka selalu ingin beribadah kepada Allah dalam situasi apa pun. Tidak pernah merasa enggan dalam mengabdi dan beribadah kepada Allah.

“Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. al- Anbiyaa: 90)

Di samping itu, orang yang ikhlas juga akan bekerja dan berbuat dengan sebaik mungkin. Mengapa? Karena jika ia memang ikhlas, tentu ia akan mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhannya. Bukahkah ia bekerja untuk memperoleh keridhaan dan penilaian yang terbaik dari Tuhannya? Maka itu, bekerja secara maksimal dan profesional adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari makna ikhlas itu sendiri. Nabi shalallahu a'laihi wasallam bersabda:

“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan seorang pekerja yang melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya (profesional).” (HR. Ahmad)

“Kerjakanlah kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh. Dan sembahlah Allah di waktu siang dan malam, dan selalu mengambil jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga).”

Seorang guru boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia tidak menyiapkan materi dan silabus pengajaran dengan sebaik-baiknya. Seorang pembantu rumah tangga boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, ketika ia tidak berupaya memisahkan pakaian yang luntur dari pakaian yang tidak luntur pada saat mencuci pakaian. Seorang pegawai boleh jadi belum sempurna ikhlasnya ketika tidak berupaya optimal untuk mencapai target pekerjaan yang telah ditetapkan. Seorang pelajar boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apabila ia bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Jadi, ikhlas itu sesuatu yang dinamis, bergerak, dan kunci prestasi.

Hasan al-Banna pernah mengatakan, “Ikhlas itu kunci keberhasilan. Para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali karena kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan mereka. Bila kalian sudah memiliki tiga karakter tersebut, maka ketika engkau berpikir, Allah akan mengilhamimu petunjuk dan bimbingan. Jika engkau beramal, maka Allah akan mendukungmu dengan kemampuan dan keberhasilan…”

Tegar, Kuat, dan Tidak Putus Asa dalam Mengha- Asa dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Hidup

Hidup ini adalah masalah, ujian dan cobaan. Tidak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang tidak menemui masalah.

Setiap manusia pasti akan diuji dengan masalah. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyaa: 25)

Orang yang sukses dalam hidup ini adalah mereka yang berhasil menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah dengan sebaik mungkin. Ia tetap tegar dan kuat menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan hidup.

Hanyalah orang yang ikhlas yang mampu menghadapi hidup ini dengan tetap tegar, tabah, dan sabar. Kekuatan keyakinan akan indahnya pahala di sisi Allah swt. bagi orang yang beramal dan berjuang secara ikhlas, akan membuahkan sikap mental: segala beban dan penderitaan yang didapat saat berjuang dirasakan ringan, bahkan dirasakan sebagai sesuatu yang nikmat, menyenangkan, dan membahagiakan. Ia menjalaninya tanpa keluh-kesah.

Dalam catatan sejarah para Nabi, kita bisa mengetahui bagaimana Nabi Ibrahim as. tidak takut dan tidak gentar menceburkan dirinya dalam kobaran api yang telah siap membakarnya.

Nabi Nuh as. tidak pernah bosan dan putus asa mengajak kaumnya agar menyembah Allah, walaupun ia harus menanggung beban penderitaan dari kaumnya selama seribu tahun. Nabi Musa as. tidak mundur tatkala para penyihir Fir’aun mengeluarkan sihir-sihirnya.

Nabi Mu-hammad saw. tetap tegar dan bersemangat dalam dakwahnya, walaupun orang-orang kafir Quraisy berusaha terus-menerus menakut-nakutinya, menyakitinya, dan bahkan mengancam mau membunuhnya.

Semua ketegaran dan keteguhan itu disebabkan karena mereka sangat ikhlas dalam menjalani perintah Allah. Mereka selalu menyuarakan dalam dakwahnya:

“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Huud: 1)

Dalam sejarah para sahabat Nabi saw. juga dikisahkan, sebagian dari mereka ada yang dikucilkan masyarakatnya, dipersulit jalur perekonomiannya, dicemarkan nama baiknya, dijatuhkan martabat dan kewibawaannya di depan umum, diusir dari kampungnya, dan disiksa bersama keluarganya.

Di antara mereka ada yang pernah dijemur di tengah padang pasir yang panas, dikurung dalam penjara bawah tanah, dan disiksa dengan berbagai cara. Dari mereka banyak yang harus ber cerai berai dengan keluarganya, berpisah dengan kawan karibnya dan meninggalkan harta bendanya. Meski demikian, mereka tetap ikhlas dan berpegang teguh pada agama Islam dan mencintai Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam Mengapa mereka sangat bahagia dengan risalah yang dibawanya? Merasa tenteram dengan manhaj-nya, dan mampu melupakan semua rasa sakit, kesulitan, tantangan, dan ancaman yang begitu besar?

Itu karena Rasulullah saw. telah berhasil menancapkan ketulusan dan kerelaan pada jiwa setiap sahabatnya. Maka tak mustahil bila mereka tidak pernah lagi memperhitungkan berbagai rintangan yang menghadang jalan dakwah mereka. Sebab kokohnya keyakinan yang ada dalam dada mereka telah melupakan semua luka, tekanan, dan kesengsaraan itu. Jiwa raga  mereka menjadi tenteram, hati mereka senantiasa sejuk damai, dan otot-otot mereka selalu kendur dan mudah terkendali.

Saat terjadi perang Tabuk, Abu Dzar al-Gifari ra. tertinggal rombongan mujahidin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah shallallahu a'laihi wasallam Itu terjadi karena kendaraan yang dinaikinya berjalan lambat.

Akhirnya Beliau turun dari kendaraannya itu dan memanggul barang-barang bawaannya di atas pundaknya. Tidak ada keluh kesah dan tidak ada perasaan berat saat Beliau harus menempuh perjalanan dari kota Madinah ke Tabuk, yang jaraknya kurang lebih 900 km. Padahal perjalanan itu ditempuh sendirian dan berjalan kaki pula. Perjalanan yang bagi orang-orang munafik dirasakan amat berat. Karena Abu Dzar tahu bahwa dalam perjalanan jihad itu ada pahala dan ganjaran dari Allah Subhanahu wata'ala. Beliau benar-benar dapat menikmati kepenatan-kepenatan dakwah.

Demikianlah, orang yang ikhlas tidak akan gampang menyerah dan putus asa. Prinsip yang dipegang orang yang mukhlis hanya bagi Allah semata. Dia tegar dalam hal ini dan terus seperti itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kepada Allah, karena Allah lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia hanya sekedar berusaha, kalaupun benar-benar berhasil, maka segala puji hanya bagi Allah. Dan jika kandas, maka daya dan kekuatan itu hanya milik Allah.

Mampu Mempertahankan, Memelihara, dan Memperkuat Memperkuat Ukhuwwah Islamiyyah

Ciri dari dunia ini adalah sempit, sedikit, akan rusak dan pasti menghilang. Dunia ini tidak bisa menampung banyak orang.

Seorang yang tujuannya hanya untuk mencari dunia, maka ia harus rela berusaha dan berjuang untuk memperebutkannya. Ibarat sebuah kursi kedudukan atau jabatan yang hanya muat diduduki oleh satu orang saja, maka untuk mendapatkannya ia harus mau saling berebut dengan lainnya. Ibarat satu piring nasi yang diinginkan dan diperebutkan oleh sepuluh orang, maka ia harus berjuang keras agar dapat ikut makan.

Maka, orang yang orientasi perbuatannya hanya tertuju pada dunia, ia akan mudah terjangkiti penyakit iri dan dengki. Adanya sikap dan perilaku seperti iri dan dengki, berebut pengaruh dan perhatian orang, saling dendam, melakukan tipu daya, sikut sana dan sikut sini, hilangnya persaudaraan dan silaturahim, timbulnya bermacam konflik dan permusuhan, semua itu merupakan akibat dari ketidakikhlasan dan ketidaktulusan.

Andai saja seseorang tujuannya ikhlas hanya mengharapkan keridhaan dan pahala Allah, maka tidak akan timbul sikap saling iri dan dengki, saling berebut. Karena ridha Allah itu amat luas, tak berbatas. Surga Allah itu juga luas seluas langit dan bumi. Mereka justru akan saling menyayangi dan  mencintai. Ketika salah seorang dari mereka melihat saudaranya rajin berbuat ketaatan dan kebaikan, maka ia akan ikut bahagia karena ia suka dan senang jika Allah ditaati dan disembah banyak orang. Kecintaannya itu merupakan tanda bahwa ia benar-benar mencintai Allah.

Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidak akan terjadi saling dengki di kalangan para ulama. Sebab yang mereka tuju adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Dan tujuan seperti itu bagaikan samudra luas yang tidak bertepi. Dan yang mereka cari adalah kedudukan di sisi Allah. Dan itu pun merupakan tujuan yang tidak terbatas. Karena kenikmatan paling tinggi yang ada pada sisi Allah adalah memandang-Nya. Dan dalam hal itu tidak akan ada saling dorong dan berdesak-desakan. Orang-orang yang melihat Allah tidak akan merasa sempit dengan adanya orang lain yang juga melihat-Nya.

Bahkan, semakin banyak yang melihat semakin nikmatlah mereka. Memang, bila para ulama, dengan ilmunya itu menginginkan harta dan wibawa, mereka pasti saling dengki. Sebab harta merupakan materi. Jika ia ada pada tangan seseorang, pasti hilang dari tangan orang lain. Dan wibawa adalah penguasaan hati. Jika hati seseorang mengagungkan seorang ulama, pasti orang itu tidak mengagungkan ulama lainnya.”

Surga Terindah Bagi Orang yang Ikhlas 

Setiap manusia yang beriman di dunia ini pasti menginginkan dan mendambakan bisa masuk surga. Betapa tidak, sedangkan surga adalah kenikmatan dan kesenangan tertinggi yang dijanjikan oleh Sang Pencipta jagad raya ini. Terlalu sulit bagi kita membayangkan keindahan dan keagungan surga secara pasti. Gemerlap dan segala kemewahannya pasti tidak ada di dunia ini.

Lalu, apakah kunci surga itu? Kunci surga adalah kalimatul ikhlas. Kalimat ikhlas adalah sebuah ungkapan kesaksian kepada Tuhan yang diucapkan dengan ketulusan dan keikhlasan. Tanpa keikhlasan, maka ia tidak dinamakan kalimat ikhlas. Diceritakan dalam sebuah hadis:

“Datanglah malaikat maut menemui seorang laki-laki yang hendak meninggal. Lalu malaikat itu merobek hatinya dan tidak menemukan satu kebaikan pun padanya. Kemudian ia merobek kedua janggutnya, maka ia menemukan ujung lidahnya melekat dengan langit-langit mulutnya. Dia berkata, ‘La ilaaha Illallah’ (tiada Tuhan selain Allah). Maka Allah mengampuninya dengan kalimatul ikhlas.” (HR. Ibnu Abi Dunnya, Baihaqi, dan Daelami)

Ternyata hanya dengan keikhlasan, surga Allah itu dapat diraih. Ternyata hanya dengan keikhlasan, seorang hamba mampu selamat dari siksa neraka.

Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam pernah menceritakan ada seseorang yang hanya karena menyingkirkan sepucuk duri dari tengah jalan, maka kepadanya diganjar dengan rahmat oleh Allah Subhanahu wata'ala, sehingga meraih surga. Mengapa bisa begitu? Ternyata pada saat dia memungut duri itu, hatinya teramat ikhlas. Dia tidak ingin duri itu mencederai para pengguna jalan. Dia mengharapkan rahmat dan keridhaan Allah semata.

Ada lagi kisah tentang seorang wanita pemaksiat, tapi bisa diampuni dosanya dan diberikan rahmat oleh-Nya, lantaran memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan. Wanita itu sangat kasihan melihat penderitaan anjing, sehingga hatinya tergugah untuk memberinya minum, walaupun ia harus turun ke dalam sumur untuk mencedok air dengan menggunakan sepatunya.

Dua kisah sebagaimana yang diceritakan dalam hadis yang sahih ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa betapa tingginya dan berharganya nilai sebuah keikhlasan. Andai saja seseorang dalam satu kesempatan hidupnya sanggup mengerjakan satu amal saja dengan ikhlas, walaupun amal itu hanya seberat atom, sedangkan ia orang yang beriman, tentu ia akan masuk surga.

Jika kita mendapatkan seseorang yang ikhlas dalam setiap perilaku dan amalnya, maka ketahuilah, ia adalah seorang ahli surga.

Walaupun ia orang yang tidak banyak amalnya, dan walaupun ia tidak dikenal oleh orang banyak dengan kesalehannya.

Diceritakan dalam al-Hadis, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu a'laihi wasallam menatap satu per satu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah,” ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya.” 

“Apa yang hendak engkau tanyakan itu,” tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya, “Siapakah di antara kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ‘ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’.

Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri. Rasulullah menatap ramah. Beliau dengan tenangnya menjawab, “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul.” Lalu setiap pasang mata pun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggu pun muncul. 

Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. 

Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam bersabda:

“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya.”

0 Response to "Janji Surga Bagi Orang yang Ikhlas"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak