Hukum Amal Perbuatan

Bismillâhirrahmânirrahîm. Puji dan syukur kepada Allah subhânahu wata’âla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.

Hukum Amal Perbuatan

Pengertian Riya’ dan Sum’ah

Kata riya’ merupakan bentuk mashdar dari kata raa-a yuraa-i, yang maknanya adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”

Termasuk ke dalam kategori riya’ yaitu sum’ah. Kata sum’ah (reputasi) berasal dari kata dasar sami’a (mendengar). Sum’ah berarti melakukan amal perbuatan agar orang lain mendengar apa yang diperbuat, lalu mereka memuji dan ia menjadi tenar.

Bedanya, jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, sedangkan sum’ah adalah menginginkan ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indra pendengaran (telinga), sedangkan riya’ berkaitan dengan indra penglihatan (mata).”

Jika seseorang beramal dengan tujuan ingin dilihat atau ditonton orang, misalnya dengan membaguskan dan memperlama shalat karena ingin dilihat orang lain, maka ini yang dinamakan riya’.

Adapun jika ia beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang yang memperindah bacaan al-Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini disebut sebagai sum’ah.

Baik riya’ atau sum’ah, keduanya berkait erat dengan motivasi atau tujuan suatu amal. Motivasi yang mendorong terjadinya

riya’ adalah: senang terhadap pujian dan sanjungan, menghindari terhadap celaan orang, mengharapkan kedudukan di hati orang lain. Dan ujungnya, semua itu berhubungan dengan kesenangan dan kenikmatan dunia yang ingin diraihnya.

Jelasnya, orang yang riya’ tidak mendasarkan amalnya karena Allah, melainkan ingin mendapatkan sanjungan, pujian dan eksistensi atau penghargaan dari orang lain. Sehingga apapun yang dia kerjakan, orientasinya hanya ingin dilihat orang lain. Bisa jadi ketika berhadapan orang lain, ia akan tampak begitu alim dan khusyuk dalam beribadah. Namun, ketika tidak dilihat orang lain, ia beribadah seenaknya saja. 

Karena itu, riya’ adalah bagian dari sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Sebab, orang yang riya’ suka berpura-pura dan hendak mengelabuhi Allah. Al-Qur’an menyebutkan:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya‘ (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa: 142)

Ada banyak perilaku, sikap, atau perbuatan yang bisa ditunjukkan untuk tujuan riya’. Secara garis besarnya, ada lima bagian yang semuanya merupakan sarana yang biasa digunakan oleh seseorang untuk berhias di hadapan manusia, yaitu: fisik (badan), pakaian, perkataan, perbuatan, pengikut, dan barang-barang yang tampak di luar.

Kemudian, riya’ dapat terjadi baik dalam masalah keduniaan ataupun agama. Riya’-nya ahli dunia adalah dengan menampilkan sikap, perilaku dan perbuatan agar dilihat dan disangka orang sebagai orang yang kaya, memiliki kedudukan dan prestasi dunia. Misalnya seseorang memakai pakaian atau perhiasan dunia agar perhatian orang lain tertuju kepadanya, lalu ia disanjung, dipuji, dihormati, diutamakan serta dimuliakan.

Sebagaimana yang dapat kita lihat sekarang ini, banyak orang berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian masyarakat umum. Seperti yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil menarik di hadapan umum, bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas. Bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.

Kita lihat di layar televisi ada orang yang mengecet rambutnya berwarna-warni. Ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya, lalu dicat hijau.

Ada yang rambutnya cuma di tengah saja panjang adapun sisanya gundul. Ada yang dipotong seperti warna macan tutul. Ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya. Ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisa satu pelintiran yang panjang sekali. Dan masih banyak model-model yang lainnya yang aneh-aneh. Ini baru masalah rambut, belum lagi masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran dan sebuah nama.

Jika kita bertanya, apa motivasi dari semua itu selain agar menjadi tenar, dikenal banyak orang dan mendapatkan pujian serta sanjungan dari sana sini. Sungguh seandainya salah seorang dari mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman dengan binatang dan pepohonan. Pasti dia tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti itu karena tidak ada manusia yang memperhatikannya.

Adapun riya’-nya ahli agama, maka terlihat dengan menampakkan sikap, perangai, atau prilaku saleh agar orang yang melihatnya menganggapnya sebagai ahli ibadah, seorang alim dan khusyuk.

Banyak sekali contoh untuk menggambarkan riya’ jenis ini. Misalnya:

1. Menampakkan kekurusan dan wajah yang pucat, agar orang-orang yang melihatnya dan menilainya memiliki kesungguhan dan rasa takut terhadap akhirat. Yang mendekati penampilan seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua matanya cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menampakkan bahwa ia rajin berpuasa.

Luqman al-Hakim pernah berwasiat kepada anaknya, “Wahai anakku! Janganlah kamu memperlihatkan dirimu kepada manusia bahwa kamu takut kepada Allah padahal hatimu lacur.”

2. Membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama. Maka dia mengenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai orang alim.

Rasulullah saw. mengecam orang-orang yang menampakkan kesalehan, padahal jiwanya kotor penuh cinta dunia. Beliau bersabda:

“Celakalah orang-orang yang menutupi kecintaannya pada dunia dengan agama dan dia mengenakan pakaian bulu domba di hadapan manusia serta melembut-lembutkan kata-katanya. Kata-katanya lebih manis daripada madu padahal hati mereka laksana hati srigala. Allah berfirman, “Bagaimana dia bisa tertipu?”

3. Memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan hadis-hadis dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan melakukan perdebatan. Menampakkan kelebihan ilmu, berzikir dengan menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan kemarahan terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca al-Qur’an dengan merendahkan dan melembutkan suara. Dan semua itu bertujuan untuk menunjukkan rasa takut, sedih, dan khusyuk kepada Allah.

4. Seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama, memanjangkan rukuk, sujud, dan menampakkan kekhusyukan agar dirinya disebut-sebut sebagai ahli ibadah yang khusyuk.

Rasulullah saw. berwasiat kepada sahabat Ibnu Mas’ud ra., “Wahai Ibnu Mas’ud! Janganlah kamu menampakkan kekhusyukan dan kerendahan hatimu di hadapan manusia, padahal antara engkau dan Tuhanmu dibatasi maksiat dan dosa.”

Hukum Amal Riya’

Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, karena memiliki dampak negatif yang luar biasa. Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam bersabda:

“Cukuplah kejelekan seseorang jika dia menginginkan agar orang-orang memberikan acungan jempol atas kebaikan dirinya, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, kecuali bagi orang-orang yg mendapatkan pemeliharaan Allah.” (HR. Baihaqi)

Riya’ bisa menggugurkan dan menghapuskan setiap amal saleh yang telah kita laksanakan. Allah Subhanahu wata'ala telah memperingatkan bahaya dari berbuat riya’ ini dalam firman-Nya:

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu.” (QS. az-Zumar: 65)

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Hud: 15-16)

Suatu amal baik bisa jadi merupakan amal saleh di mata manusia, namun karena mengandung unsur riya’, maka di hadapan Allah amalan-amalan baiknya tiada bernilai, ibarat batu yang licin yang tiada berbekas.

“Hai orang-orang beriman janganlah kamu batalkan sedekah kamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima, seperti orang yang membelanjakan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaan mereka seperti batu yang licin yang di atasnya tanah lalu hujan lebat menimpanya maka ia menjadi bersih. Mereka tidak memperoleh apapun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.” (QS. al-Baqarah: 264)

Pada ayat di atas, Allah swt. memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima, maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’.

Yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah Ta’ala.

Mengapa amal riya’ tidak diterima oleh Allah Ta’ala? Karena orang yang riya’ sesungguhnya tidak mengharapkan ridha dan pahala dari Allah. Ia telah menggantikan ridha Allah dengan mengharapkan ridha dan balasan dari manusia. Ia lebih ingin amal-amalnya disaksikan oleh manusia daripada disaksikan oleh Allah. Ia lebih mengharapkan pujian dan balas budi manusia daripada mengharapkan berkat dan karunia dari Allah. Maka, di hari pembalasan nanti, Allah Ta’ala tidak sudi memberikan ganjaran apapun dari amal-amalnya. Dan kepada mereka yang riya’ diminta agar pergi dan meminta ganjaran kepada manusia-manusia yang dulu ia mengharapkan ridha dari mereka. Rasulullah saw. dalam sabdanya menjelaskan:

“Ketika semua orang mendapatkan pembalasan amal salehnya. Allah berfirman kepada orang yang suka riya’ dalam amalnya, ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu jadikan riya’ atas mereka, dan lihatlah apakah kamu dapat menemukan balasan dari mereka!’” (HR. Ahmad bin Hambal)

Suatu ketika seseorang menemui Rasulullah saw. dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala? Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, dan Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam pun tetap menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa taala tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni kepada-Nya dan mengharap wajah-Nya.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad bagus).

Sesungguhnya, segala amalan itu tergantung pada niatnya.

Bila suatu amalan diniatkan ikhlas karena Allah swt., maka amalan itu akan diterima oleh Allah Ta’ala. Begitu juga sebaliknya, bila suatu amalan diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah swt. Hadis Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam menjelaskan:

“Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatinya. ‘Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya)

Kita tahu bahwa amal-amal seperti berjihad, puasa, membaca al-Qur’an, menuntut ilmu agama, sedekah, dan lain sebagainya, itu semua adalah amal shaleh yang memiliki pahala besar dan dapat meninggikan derajat seorang hamba di sisi Allah.

Jihad fi sabilillah adalah merupakan amalan yang mulia dan tinggi nilainya di mata Allah, bahkan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam:

‘’Dan puncak agama adalah jihad fi sabilillah.’’ (HR Tir-midzi)

Dan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

‘’Dan janganlah kamu mengatakan bahwa orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.’’ (QS. al-Baqarah: 154)

Akan tetapi, tatkala amalan agung ini telah ternodai oleh niat selain Allah, maka ia bukan lagi jihad yang membuahkan pahala dan membawa kemuliaan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan sahabat Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata, “Seorang Badui datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan bertanya, ‘’Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena harta rampasan, seseorang berperang karena ingin terkenal, dan seseorang berperang agar dilihat oleh manusia. Siapakah yang di jalan Allah?’’ Maka Rasulullah menjawab,

‘’Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berada di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih). 

Menuntut ilmu agama adalah perbuatan yang disukai Allah Subhanahu wata'ala Dalam hadis Nabi Shalallahu A'laihi Wa Sallam disebutkan:

“Sesungguhnya Allah Azza wa jalla, para malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi, hingga semut di lubangnya dan hingga ikan di lautan, mereka semua mendoakan pada orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia.” (HR. Tirmidzi)

Namun, jika seseorang mencari ilmu agama dengan tujuan riya’, misalnya agar menjadi terkenal dan memiliki nama baik di kalangan manusia, maka amalnya tersebut akan sia-sia dan ia akan merugi.

“Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan dunia dengan ilmu itu, ia tidak akan mendapat aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang sahih)

Tidak saja amalnya orang yang riya’ tertolak dan tidak diterima Allah. Bahkan Allah swt. telah memberikan peringatan keras dan mengancam kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Wail (kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … “ (QS. al-Maa’uun: 4-7)

Kita harus selalu ingat dan waspada, karena mungkin saja dan bisa jadi amal saleh yang dilakukan seseorang justru bukannya membuahkan pahala dan keridhaan Allah untuknya, tapi malah menjadi penyebab kemurkaan-Nya dan kecelakaanya di akhirat kelak. Dan itu bisa terjadi dikarenakan amal saleh itu dilakukan atas dasar niat riya’.

Perhatikan peringatan yang disebutkan hadits di bawah ini:

‘’Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili oleh Allah adalah seorang yang mati syahid (di mata manusia), maka orang ini didatangkan (menghadap Allah), diberitahukan kepadanya nikmat-nikmatnya dan ia pun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya, ‘’Apa yang engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?’’

Maka ia menjawab, ‘’Sungguh aku telah berperang karena Engkau, sehingga aku mati syahid.’’ Maka Allah berfirman, ‘’Engkau dusta.

Akan tetapi, engkau berperang supaya dikatakan pemberani, dan pujian itu telah engkau dapatkan,’’ kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.

Kemudian orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur’an, maka orang ini didatangkan (menghadap Allah), maka diberitahukan kepadanya nikmat-nikmatNya, dan iapun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya,

‘’Apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?’’ Orang ini menjawab, ‘’Sesungguhnya aku telah mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan aku membaca al-Qur’an karena Engkau.’’ Maka Allah berfirman, ‘’Engkau berdusta, akan tetapi engkau belajar ilmu agar dikatakan alim dan membaca al-Qur’an supaya dikatakan qarri’, dan pujian itu telah engkau dapatkan.’’ Kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.

Kemudian orang yang diberi keluasan rezeki oleh Allah, maka Allah memberikan kepadanya berbagai macam harta. Maka orang ini didatangkan (menghadap Allah). Diberitahukan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, dan ia pun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?’’ Orang ini menjawab, ‘’Tidaklah aku meninggalkan satu jalan yang Engkau cintai atau diinfakkan di dalamnya, kecuali aku menginfakkan di jalan tersebut karena Engkau,’’ maka Allah berfirman, ‘’Engkau dusta, akan tetapi engkau berinfak supaya dikatakan dermawan, dan pujian itu telah dikatakan.’’ Kemudian orang ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)

Apa yang menyebabkan tiga orang ini dicampakkan Allah ke dalam neraka Jahannam? Bukankah mereka telah melakukan amalan-amalan yang mulia? Bukankah mereka telah bersusah payah melakukannya? Tiada lain karena mereka melakukan semua itu bukan karena Allah, tapi karena ingin dipandang oleh manusia.

Amal yang Tercampuri Riya’

Jika amalan yang dilakukan karena tujuan riya’ semata menjadi tertolak dan terhapus pahalanya, lalu bagaimana jika suatu amal yang tercampuri niat riya’?

Amalan yang ditujukan bagi Allah swt. dan disertai riya’ dari asalnya, maka amalan seperti itu batil dan terhapus (tidak mendapatkan pahala apa pun di sisi Allah, bahkan berdosa). Misalnya seseorang hendak mengerjakan shalat sunat, lalu datang seseorang yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyuk karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut ada dari awal hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk menghilangkannya, maka amalannya tersebut menjadi terhapus.

Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam bersabda:

“Allah berfirman, ‘Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuk-Ku lantas ia mensyarikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dalam sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahili, dia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?’ Maka Rasulullah pun menjawab, ‘Dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab, ‘Dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Kemudian Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karena-Nya.’” (HR. Abu Daud dan Nasai)

Maka, perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah, jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya. Adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia), maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang disarikatkan, Dia hanya menerima amalan agama yang khalis (murni) untuk-Nya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya, bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan.

Ketika kita melakukan suatu amal, mungkin saja kita bisa terhindar dari niatan riya’ semata. Karena, sebagai seorang mukmin tentunya kita selalu mendambakan dan merindukan pahala dari Allah.

Sewaktu kita mengerjakan ibadah seperti shalat sunat, membaca al-Qur’an atau berzikir, kita senantiasa berharap agar amal saleh kita itu diterima di sisi Allah swt. Di kala kita bersedekah atau membantu orang lain, tentu terbersit di hati kita niatan agar mendapatkan pahala dan keridhaan Allah.

Tapi, apakah niat baik kita itu sejak awal tidak ternodai oleh riya’ atau sum’ah? Itulah masalah sulit yang seharusnya menjadi perhatian kita. Karena jika kita mencampuri dengan tujuan riya’ dalam amal saleh yang kita lakukan, maka berarti kita telah berbuat kesyirikan atau menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya.

Sedangkan Allah tidak menerima amal yang disekutukan.

Oleh sebab itulah, maka Rasulullah saw. sangat khawatir umatnya terjangkit penyakit ini. Beliau bersabda, 

“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik yang paling kecil.” Sahabat bertanya: “Apakah syirik yang paling kecil itu?” Rasul menjawab,”Syirik yang paling kecil adalah riya’.” (HR Ahmad bin Hambal)

Mengapa Beliau sangat takut dan khawatir terhadap riya’  atau syirik kecil ini? Karena jika syirik besar atau yang dilakukan secara terang-terangan, itu sudah jelas dosa besar, sehingga umat Islam bisa menghindarinya dengan mudah. Tapi lain halnya dengan syirik kecil atau riya’, maka sedikit sekali umat Islam yang bisa terlepas darinya.

Syidad bin Aus ra. pernah berkata, “Suatu hari saya melihat Rasulullah saw. sedang menangis, lalu saya pun bertanya kepada Beliau, “Ya Rasulullah, mengapa Anda menangis?”

Sabda Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam, “Ya Syidad, aku menangis karena khawatir terhadap umatku akan perbuatan syirik. Ketahuilah bahwa mereka itu tidak menyembah berhala tetapi mereka berlaku riya’ dengan amalan perbuatan mereka.”

Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam bersabda lagi, “Para malaikat penjaga akan naik membawa amal perbuatan para hamba dari puasanya, shalatnya, dermanya dan sebagainya, dengan suara seperti suara lebah dan mereka mempunyai sinar seterang matahari dan bersama mereka itu 3.000 malaikat dan mereka membawa amal-amal itu ke langit ketujuh. Sesampainya di pintu langit, malaikat penjaga pintu langit berkata kepada para malaikat penjaga yang membawa amal-amal hasil dari perbuatan riya’, ‘Berdirilah kamu semua dan pukulkanlah amal perbuatan ini ke muka pemiliknya dan semua anggotanya dan tutuplah hatinya, sungguh saya menghalangi amal ini untuk sampai kepada Tuhan. Setiap amal perbuatan yang tidak dikehendaki untuk Tuhan, maka amal itu untuk selain Allah (membuat sesuatu amal bukan karena Allah). Berlaku riya’ di kalangan ahli fiqh adalah karena inginkan ketinggian posisi, untuk kemudian supaya mereka menjadi sebutan. Di kalangan para ulama terjadi pula riya’ untuk menjadi populer di kota dan di kalangan umum. Allah Subhanahu wata'ala telah memerintahkan agar saya tidak membiarkan amal-amal yang bukan untuk Allah melewati saya.

Tiba giliran malaikat penjaga yang membawa amal orang-orang saleh. Amal-amal itu kemudian dibawa oleh malaikat di langit sehingga terbuka tabir dan penghalang dan sampai kepada Allah

swt. Mereka berhenti di hariban Allah dan memberikan persaksian terhadap amal orang tersebut yang betul-betul saleh dan ikhlas karena Allah. Kemudian Allah swt. berfirman, “Kamu semua adalah para malaikat Hafazdah (malaikat penjaga) pada amal-amal perbuatan hamba-Ku, sedang Aku-lah yang mengawasi dan mengetahui hatinya, bahwa sesungguhnya, jika dia menghendaki amal ini bukan untuk-Ku, laknat para malaikat dan laknat segala sesuatu di langit baginya.”

Amal yang Disertai Niat Lain Selain Riya’

Seseorang beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata'ala sekaligus menyertakan tujuan-tujuan duniawi yang ingin dihasilkannya. Di samping bermaksud ibadah, ketika bersuci seseorang bermaksud menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran-kotorannya. Ketika mengerjakan shalat dia bermaksud mengolah dan menggerakkan tubuh. Tatkala berpuasa dia juga bermaksud melangsingkan badan dan mengurangi kegemukan. Sewaktu menunaikan haji dia bermaksud dapat melihat syiar-syiar Islam dan para jamaah haji. Yang seperti ini tidak sampai menghapuskan pahala ibadahnya secara keseluruhan, hanya saja dapat mengurangi pahala ikhlasnya. Dan apabila keinginannya ini lebih mendominasi daripada niat beribadah, maka dia kehilangan kesempurnaan pahala, tetapi tidak menjadikannya berdosa atau maksiat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala.

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu?” (QS. al-Baqarah: 198)

Misalnya lagi orang yang jihad fi sabilillah hanya karena Allah dan karena menghendaki harta rampasan perang, maka amalan seperti ini berkurang pahalanya, dan tidak sampai batal dan terhapus. Rasulullah shalallahu a'laihi dari bersabda,

“Tidak ada seorang pun yang berjihad di jalan Allah kemudian mendapatkan ghanimah melainkan telah menyegerakan dua pertiga pahala mereka di akhirat dan tersisa bagi mereka sepertiganya, dan jika tidak mendapatkan ghanimah maka mereka mendapatkan pahala yang sempurna.”

Tapi dikhawatirkan jika niat selain ibadah yang lebih mendominasi, dia tidak mendapatkan pahala di akhirat, tetapi pahalanya adalah apa yang dia dapatkan di dunia. Itu karena ia telah menjadikan ibadah, yang merupakan tujuan tertinggi, sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia yang hina.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki ingin berjihad dan juga ingin mendapatkan bagian dari perkara dunia? Nabi shalallahu alaihi wasallam menjawab, “Dia tidak mendapat pahala.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali dan Nabi saw. (tetap) menjawab, “Dia tidak mendapat pahala.” (HR Abu Daud )

Pada hadis lainnya beliau saw. bersabda,

“Barangsiapa berperang di jalan Allah dan tidak ada niat kecuali belenggu kaki unta (barang ghanimah), maka baginya apa yang diniatinya.” (HR. Imam Ahmad, Al-Hakim dan Nasa’i)

Beliau shalallahu a'laihi wasallam juga telah bersabda,

“Barangsiapa berhijrah untuk mendapatkan kepentingan dunia atau wanita yang ingin dia nikahi, maka (pahala) hijrahnya (sekadar) apa yang dia hijrahi.”

Kemudian apabila kedua niat tersebut sama, tidak ada yang lebih mendominasi, baik niat beribadah maupun niat selain beribadah, maka hal ini menjadi masalah yang diperselisihkan (memerlukan penelitian). Namun, yang lebih dekat pada kebenaran adalah bahwa dia tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal untuk Allah dan juga untuk selain-Nya.

Lalu jika kita bertanya, apa timbangan untuk dapat menentukan bahwa keinginan kita kepada beribadah lebih mendominasi daripada keinginan kita pada yang selainnya? Timbangannya adalah jika kita tidak peduli dengan tujuan selain ibadah, baik itu dapat kita raih atau tidak. Maka hal itu menunjukkan bahwa niat beribadah lebih mendominasi. Begitu pula sebaliknya?

Riya’ di Tengah Amal di Tengah Amal

Bagaimana jika riya’ tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Artinya yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah, namun kemudian di tengah jalan terbersit riya’.

Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:

1. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya seperti seseorang yang ber-shadaqah dengan ikhlas sebesar 100 ribu, kemudian dia melihat di dompet masih ada sisa, lalu dia tambah shadaqah-nya 100 ribu kedua namun dicampuri riya’. Nah dalam kondisi ini, 100 ribu pertama sah dan berpahala sedangkan 100 ribu yang kedua gugur.

2. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya, maka hal ini juga terbagi dalam dua keadaan:

· Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh untuk tetap ikhlas sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Sabda Nabi shallallahu a'laihi wasallam:

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. al-Bukhari)

Contohnya seperti seseorang yang shalat dua rakaat dan sejak awal ia telah ikhlas karena Allah semata. Kemudian pada rakaat kedua terbersitlah riya’ di hatinya lataran dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlas karena Allah semata. Nah, yang demikian ini maka shalatnya tidak rusak dan Insya Allah dia tetap akan mendapatkan pahala shalatnya.

· Pelakunya tidak berusaha melawan dan menyingkirkan riya’ yang muncul, bahkan larut dan terbuai di dalamnya.

Yang demikian ini maka amalnya rusak dan pahala ibadahnya terhapus.

Contohnya seperti seseorang yang shalat maghrib ikhlas karena Allah semata. Lalu pada rakaat yang kedua muncul riya’ di hatinya. Nah, yang demikian ini kalau dia hanyut dalam riya’-nya dan tidak berusaha melawan, maka gugurlah pahala shalatnya.

Akan tetapi, diharapkan dia tetap mendapatkan pahala dengan niatnya yang pertama sebelum dimasuki oleh riya’.

Riya’ Setelah Amal Setelah Amal

Artinya riya’ tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.

Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah sesuatu yang mengandung benih permusuhan, seperti misalnya al-mannu wal adzaa (mengungkit-ungkit dan menyakiti) dalam bershadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. al-Baqarah: 264)

Bukanlah termasuk riya’ seseorang yang merasa senang apabila ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai ditunaikan. Dan bukan termasuk ke dalam riya’ juga apabila seseorang merasa senang dan bahagia dalam menunaikan suatu ketaatan, bahkan yang demikian ini termasuk bukti keimanannya. Nabi shalallahu a'laihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mukmin (sejati).” (HR. at-Tirmidzi)

Amal yang Menyebabkan ‘Ujub

Asal makna kata ‘ujub dari segi bahasa adalah kagum, takjub, dan heran. Orang yang ‘ujub berarti orang yang mengagumi diri sendiri, yaitu ketika ia merasa bahwa dirinya memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ibnul Mubarok ra. berkata, 

“Perasaan ‘ujub adalah ketika engkau merasa bahwa dirimu memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

Imam al-Ghazali menuturkan, “Perasaan ‘ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Allah.”

Sufyan ats-Tsauri ra. meringkas definisi ‘ujub sebagai berikut, 

“Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya.”

Orang yang ‘ujub menganggap besar nikmat dan cenderung kepadanya tetapi lupa menisbatkannya kepada Pemberi nikmat.

Jika di samping itu dia merasa punya hak di sisi Allah dan bahwa dia punya posisi di sisi-Nya sehingga dengan amalnya ia yakin mendapat kemuliaan di dunia dan menganggap tidak mungkin mengalami hal-hal yang tidak disukai sebagaimana yang terjadi pada orang-orang fasiq, maka hal ini disebut idlal (lancang) dengan amal perbuatannya.

‘Ujub dapat menjangkiti siapa pun. Termasuk juga ahli dunia, yakni dengan berbangga diri dan merasa lebih unggul atas segala kepemilikan dunia yang dipunyainya, mulai dari bentuk fisik, kecerdasan, keluarga, anak, harta benda, rumah dan berbagai perhiasan dunia lainnya. Dalam al-Qur’an, Allah swt. mengabarkan tentang orang yang memiliki dua kebun yang bersikap ‘ujub:

“dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, 

“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat. “ (QS. al-Kahfi: 34)

Ada beberapa hal yang bisa menimbulkan perasaan ‘ujub di hati setiap orang, di antaranya adalah:

1. Banyak dipuji orang.

Pujian seseorang secara langsung kepada orang lain dapat menimbulkan perasaan ‘ujub dan egois pada diri orang yangndipujinya. Makin lama perasaan itu akan menumpuk dalam hatinya, maka ia akan semakin dekat kepada kebinasaan dan kegagalan sedikit demi sedikit. Karena orang yang mempercayai pujian itu akan selalu merasa bangga dan dirinya punya kelebihan, sehingga menjadikannya malas untuk berbuat kebajikan.

Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam pernah terkejut ketika melihat seseorang yang memuji orang lain secara langsung, sampai-sampai Beliau bersabda, “Sungguh dengan pujianmu itu, engkau dapat membinasakan orang yang engkau puji. Jikalau ia mendengarnya, niscaya ia tidak akan sukses.”

2. Banyak meraih kesuksesan

Seseorang yang selalu sukses dalam meraih cita-cita dan usahanya akan mudah dirasuki perasaan ‘ujub dalam hatinya, karena ia merasa bisa mengungguli orang lain yang ada di sekitarnya dan tidak menyadari bahwa segala sesuatu yang diraihnya adalah atas kehendak Allah.

3. Menduduki kekuasaan

Setiap penguasa biasanya mempunyai kebebasan bertindak tanpa ada protes dari orang yang ada di sekelilingnya, dan banyak orang yang kagum dan memujinya. Fenomena semacam ini akan menyebabkan hati seseorang mudah dimasuki perasaan ‘ujub. Seperti kisah Raja Namrud yang menyebut dirinya sebagai Tuhan, karena dia menjadi seorang penguasa. Dan seandai-

nya di lemah dan miskin, tentulah tidak akan menyebut dirinya sebagai Tuhan.

4. Terkenal di kalangan orang banyak

Terkenal di kalangan orang banyak merupakan cobaan besar bagi diri seseorang. Karena semakin banyak yang menge-

nalnya, maka dia semakin kagum terhadap dirinya sendiri. Semuanya itu akan memudahkan timbulnya perasaan ‘ujub pada hati seseorang.

5. Mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi 

Orang yang mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang lebih, biasanya merasa bangga dengan dirinya sendiri dan egois, karena merasa mampu dapat menyelesaikan segala permasalahan kehidupannya tanpa campur tangan orang lain. Kondisi

seperti itu akan melahirkan sikap otoriter dengan pendapatnya sendiri. Tidak mau bermusyawarah, menganggap bodoh orang-orang yang tak sependapat dengannya, dan melecehkan pendapat orang lain.

6. Memiliki kesempurnaan fisik

Orang yang memiliki kesempurnaan fisik seperti suara bagus, cantik, postur tubuh yang ideal, tampang ganteng dan sebagainya, lalu ia memandang kepada kelebihan dirinya dan melupakan bahwa semua itu adalah nikmat Allah yang bisa lenyap setiap saat, berarti orang tersebut telah kemasukan sifat ‘ujub.

Dalam konteks amal, orang yang ‘ujub akan merasa bahwa amalnyalah yang paling baik dan yang akan diterima oleh Allah.

Orang yang ‘ujub mengira amal dan ketaatannya sudah besar dan menyebut-nyebut dengan kegum perbuatannya tersebut.

Orang yang ‘ujub akan kagum dengan dirinya sendiri dan ibadahnya serta merasa aman dari makar Allah dan siksa-Nya. Orang yang ‘ujub juga mengira dirinya mendapat tempat di sisi Allah serta tidak mau mendengar nasihat orang yang menasihati dan peringatan orang yang memperingati.

‘Ujub bisa membahayakan amal ketaatan seorang hamba, karena ia bisa menjadikan pelakunya sombong. Seseorang yang merasa ‘ujub dengan amal kebajikannya, maka pahalanya akan gugur dan amalannya akan sia-sia. Karena Allah tidak akan menerima amalan kebajikan sedikitpun kecuali dengan ikhlas karena-Nya. Firman Allah dalam al-Qur’an:

“Janganlah kamu semua membatalkan (yakni merusakkan) sedekahmu dengan membangga-banggakan serta cercaan (yang menyakiti hati orang yang diberi).” (QS. al-Baqarah: 264)

Di sini membangga-banggakan diri adalah hasil dari menganggap besar pada sesuatu yang disedekahkan, padahal menganggap besar atas suatu pemberian adalah ‘ujub.

Rasulullah shalallahu a'laihi wasallam dalam sabdanya menjelaskan:

“Tiga hal yang membinasakan: kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar dan kekaguman seseorang pada diri-nya sendiri.” (HR. Thabrani)

“Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia menanti rahmat Allah. Sedang seseorang yang merasa ‘ujub, maka ia menanti murka Allah.” (HR. Baihaqi)

‘Ujub adalah penghalang terbesar kesempurnaan dan kecelakaan terbesar di dunia dan akhirat. Betapa banyak nikmat berubah menjadi siksa karena ‘ujub. Betapa banyak orang mulia terhina karena ‘ujub. Betapa banyak orang kuat menjadi lemah karena ‘ujub. ‘Ujub adalah penyakit yang membahayakan, dan menimbulkan petaka bagi pelakunya. Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu mewaspadainya dan takut kepadanya.

0 Response to "Hukum Amal Perbuatan"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak