Tahlilan Saat Berduka

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.


Permasalahan tahlilan yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakat kita termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan oleh para ‘ulama. 

Bagi mereka yang melaksanakan tahlilan, mereka beranggapan ada tuntunan dari agama, disamakan dengan doa. 

Mereka itu berpendapat bahwa dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki ijtihad. Bagi mereka yang membolehkan tahlilan untuk menguatkan alasannya, mereka telah menyusun sebuah buku yang diberi nama “Simpanan Berharga”, yang disusun oleh H.M. Syarwani Abdan.

Muhammadiyah sesuai dengan manhaj yang dipergunakan dalam menetapkan sesuatu hukum berpendapat bahwa dalam bidang ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah Ash-Shahihah (al-Maqbulah). 

Menurut kami, doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus atau sempit. Doa itu bukan budaya seperti yang dipahami sebagian orang.

Di dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 37-38 diterangkan bahwa manusia itu memperoleh apa yang diusahakannya. 

Di dalam hadis riwayat Muslim dikatakan, apabila seseorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya terkecuali tiga perkara, yaitu doa anaknya yang saleh, sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat.

Selanjutnya dalam surat al-Hasyr ayat 10 diterangkan yang maksudnya bahwa amalan orang lain bisa sampai kepada orang yang meninggal dunia yaitu doa dan istighfar. 

Hal itu dijelaskan pula dalam hadis riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan juga di dalam hadis riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan.

Imam Malik dan Imam asy-Syafii sendiri dan banyak ualama lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis :

“Oleh karena hal inilah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati, baik dengan perintah tegas maupun yang tidak tegas. Dan tidak pula oleh sahabatnya yang mengerjakan demikian itu.

Kalau menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati adalah suatu kebajikan, tentulah sahabat-sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengerjakannya”. Sekian kita kutip penjelasan al-Hafidz Ibnu Katsir, yang kitab tafsirnya dipelajari di dalam masyarakat kita.

Diterangkan oleh pengarang kitab Bidayatul Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd : “Sesungguhnya letak perbedaan pendapat di antara ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin dari golongan Malikiyah, yaitu selama bacaan itu tidak keluar dari koridor tempat doa, agar pembaca membaca sebelum bacaan (al-Qur’an) itu; Ya Allah, jadikanlah pahala yang aku baca ini untuk si fulan …”.

Dari kutipan nampak jelas tahlil dianalogikan dengan doa. Di samping itu, harus dibedakan antara berdoa dengan menghadiahkan pahala lewat doa. Menghadiahkan pahala lewat doa tidak ada tuntunannya.

Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ . [البقرة (2): 152]

Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [QS. al-Baqarah (2): 152]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. [الأحزاب (33): 41]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” [QS. al-Ahzab (33): 41]

… قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ . [الأنعام (6): 19]

Artinya: “… katakanlah: Sesungguhnya dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” [QS. al-An’am (6): 19]

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ . اللهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ . [الإخلاص (112): 1-4]

Artinya: “Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” [QS. al-Ikhlas (112): 1-4]

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ . [محمد (47): 19]

Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-prang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” [QS. Muhammad (47): 19]

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, antara lain ialah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ . [رواه البخارى، كتاب الصلاة، باب المساجد فى البيوت، عَنِ عِتْبَانُ بن مَالِكُ]

Artinya: “Rasullah saw besabda: Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah.” [HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ . [رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691، عن أبى هريرة]

Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691, dari Abu Hurairah]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ . [رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 32/2695، عن أبى هريرة]

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sungguh, saya mengucapkan: ‘Subhana-llah wa al-hamdu lillah wa la Ilaha illa Allah wa Allahu Akbar’ (Maha Suci Allah dan segala puji hanya bagi Allah, dan tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah, dan Allah adalah Maha Besar) adalah lebih saya cintai daripada terbit matahari.” [HR. Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695, dari Abu Hurairah]

Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. 

Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. 

Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil, yang dalam istilah Muhammadiyah; meninggalkan takhayyul, bid’ah dan khurafat.

Takhayyul ialah mempercayai adanya khayalan datangnya bala atau musibah yang dibawa oleh makhluk Allah, seperti burung, burung hantu, kucing, ular dan sebagainya.

Bid’ah ialah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah , atau oleh para shahabatnya.

Khurafat ialah mempercayai kisah-kisah yang batil, seperti kisah Nyai Roro Kidul, yang katanya dapat membuat manfaat dan madharat, sehingga harus diberi sesaji, padahal laut adalah mahkluk Allah yang tidak dapat membuat manfaat dan madharat.

Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. 

Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. 

Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ . [البقرة (2): 208]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [QS. al-Baqarah (2): 208]

Menurut kami, yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.

Hukum Selamatan untuk Orang yang Meninggal Dunia

Hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. 

Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. 

Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. 

Ia ditegur oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebagian.

Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. 

Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum. Wallahu a’lam bishshawab.

0 Response to "Tahlilan Saat Berduka"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak