PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HIKMAHNYA

PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HIKMAHNYA

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah.

Pernikahan merupakan anjuran Allah Subhanahu wata'ala bagi manusia untuk mempertahankan keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan menurut kaidah norma agama. 

Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan dilangsungkan untuk mencapai tujuan hidup manusia dan mempertahankan kelangsungan jenisnya.

Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.

Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya, begitu juga kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. 

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. 

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar pembelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). 

Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan jugam menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. 

Inilah hikmah disyari’atkannya pernikahan dalam Islam, selain memperoleh ketenangan dan kedamain,juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-nasli).

Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. 

Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. 

Oleh karena marilah kita,membahas, satu persatu tentang pengertian nikah, dasar hukum, syarat dan rukun serta hikmah disyariatkannya pernikahan.

Pengertian Nikah

Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakatagama islam dan masyarakat.  Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan  untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan.

Pernikahan juga dipandang  sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan berasal  dari kata nikah, yang kemudian diberi imbuhan awalan per dan akhiran an.

Lafaz nikah mengandung tiga macam pengertian:

1. Menurut bahasa 

Nikah adalah al-dhammu atau altadakhul yang artinya berkumpul atau saling memasuki.(A. W. Munawwir, 1997:392,829)

2. Menurut Ahli Usul, nikah berarti:

a. Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Ini pendapat Ahli Usul Hanafiyah.

b. Ahli Usul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Sedang menurut arti majazi (metaphoric) ialah bersetubuh.

c. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ahli usul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.(Abu al-‘Ainain, 2002:18)

3. Menurut Ahli Fiqh

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki pendapatnya sendiri antara lain :

a. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan menjadikan  seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.

b. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal حُ حاكَكنِن , atau كَ ز كَ وا حُ ج , yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.

c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.

d. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal انِ نْ ن كَ كا حُ ح atau كَ نْ نِ و نْ حُ ج yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.

e. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih

f. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan bahwa  nikah adalah  akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّكُمُ الَّذِىۡ خَلَقَكُمۡ مِّنۡ نَّفۡسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالًا كَثِيۡرًا وَّنِسَآءً‌ ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِىۡ تَسَآءَلُوۡنَ بِهٖ وَالۡاَرۡحَامَ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيۡبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

َوَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadis shahih menurut Ibnu Hibban.

َوَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadis shahih menurut Ibnu Hibban.

Hukum Pernikahan

Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau situasi orang yang akan menikah. 

Berikut hukum pernikahan menurut Islam

1.Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina, Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib

Allah berfirman dalam QS An-Nur 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِ

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”

2. Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina

3. Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Ditakutkan akan menimbulkan mudarat salah satunya akan menelantarkan istri dan anaknya

4. Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata

5. Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.

Hak dan Kewajiban Suami Istri

Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan hak dan kewajiban suami istri dalam beberapa
pasal di antaranya yaitu:

Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.

Pasal 31
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum

3. Suam adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

Pasal 32
1. Suami istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap.

2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama

Pasal 33
Suami istri wajib cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya

3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadilan.

Hal-hal yang Membatalkan Nikah

Akad nikah merupakan upacara sakral, karenamengikat kedua belah pihak, yaitu istri dan calon suami. Dan pernikahan akan batal, apabila :

1. Suami melakukan pernikahan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak raj’i.

2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.

3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa ‘iddahnya.

4. Pernikahan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi pernikahan menurut pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau lurus ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri.

d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.

5. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. Sayuti Thalib menjelaskan, pada dasarnya seorang lakilaki Islam diperbolehkan menikah dengan perempuan mana saja. 

Sungguh-pun demikian, juga diberikan pembatasanpembatasan. Sebagai pembatasan, seorang laki-laki Muslim dilarang menikah dengan perempuan- perempuan tertentu.

Dalam larangan itu tampak segi-segi larangan itu. Sifat larangan itu berupa perlainan agama, larangan nikah karena hubungan darah, karena hubungan sesusuan, karena hubungan semenda
yang timbul dari pernikahan yang terdahulu.(Sayuthi Thalib,1986:51)

Larangan-larangan itu dengan tegas dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an

وَلَا تَنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكٰتِ حَتّٰى يُؤۡمِنَّ‌ؕ وَلَاَمَةٌ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكَةٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَتۡكُمۡ‌ۚ وَلَا تُنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكِيۡنَ حَتّٰى يُؤۡمِنُوۡا ‌ؕ وَلَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَكُمۡؕ اُولٰٓٮِٕكَ يَدۡعُوۡنَ اِلَى النَّارِ  ۖۚ وَاللّٰهُ يَدۡعُوۡٓا اِلَى الۡجَـنَّةِ وَالۡمَغۡفِرَةِ بِاِذۡنِهٖ‌ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُوۡنَ

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. Al-Baqarah (2): 221 

Tegas terlihat dalam Surat al-Baqarah ayat 221, ketentuanketentuannya sebagai berikut:

a. Dilarang menikahi perempuan musyrik hingga dia beriman.
b. Dilarang menikah dengan laki-laki musyrik hingga dia beriman.
c. Orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan

Tuhan membawa kepada kebaikan dan keampunan. Dihubungkan dengan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5, dapatlah diketahui, bahwa khusus terhadap orang yang beragama Yahudi dan Nasrani, sungguhpun dalam kenyataan sekarang mereka berlainan agama dengan orang Islam,tetapi terhadap mereka berlaku ketentuan tersendiri. 

Wanita-wanitanya halal dinikahi, karena mereka itu sebenarnya samasama kedatangan kitab Ilahy seperti orang Islam pula. Mereka disebut ahli kitab, orang yang kedatangan kitab Tuhan. Surat alMaidah ini berisi wanita muslim itu halal dinikahi begitu juga
wanita ahli kitab halal dinikahi. 

اَلۡيَوۡمَ اُحِلَّ لَـكُمُ الطَّيِّبٰتُ‌ ؕ وَطَعَامُ الَّذِيۡنَ اُوۡتُوۡا الۡكِتٰبَ حِلٌّ لَّـکُمۡ ۖ وَطَعَامُكُمۡ حِلٌّ لَّهُمۡ‌ وَالۡمُحۡصَنٰتُ مِنَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَالۡمُحۡصَنٰتُ مِنَ الَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡـكِتٰبَ مِنۡ قَبۡلِكُمۡ اِذَاۤ اٰتَيۡتُمُوۡهُنَّ اُجُوۡرَهُنَّ مُحۡصِنِيۡنَ غَيۡرَ مُسَافِحِيۡنَ وَلَا مُتَّخِذِىۡۤ اَخۡدَانٍ‌ؕ وَمَنۡ يَّكۡفُرۡ بِالۡاِيۡمَانِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهٗ وَهُوَ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. Al-Maidah :5

Hubungan darah yang sangat dekat menjadi sebab pula bagi larangan pernikahan sesamanya. Larangan itu tercantum dalam Surat (4) ayat 23 yaitu diharamkan mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu, saudara perempuan bapak, anak perempuan dari saudara lakilaki, dan anak perempuan dari saudara perempuan. 

Hubungan sesusuanpun menjadikan orang mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum pernikahan ini, dan disebut saudara sesusuan. 

Tetapi pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewarisi karena sedarah dalam hukum kewarisan.

Larangan pernikahan dalam hubungan adanya hubungan sesusuan terdapat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 itu juga, yaitu dilarang mengawini ibu yang menyusui dan juga saudara perempuan. 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. An-Nisa:23

Begitu juga larangan pernikahan karena hubungan semenda, artinya hubungan kekeluargaan yang timbul karena pernikahan yang telah terjadi terlebih dahulu. 

Larangan pernikahan dalam hubungan pernikahan yang telah ada atau semenda itu juga terdapat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 ini, yaitu pada bagian lanjutan ayat yang telah disebut tadi, yaitu diharamkan mengawini :

a. Ibu dari istri (mertua)
b. Anak tiri perempuan yang istrinya telah dicampuri
c. Istri anak shulbi (menantu perempuan)
d. Dua orang bersaudara

Pelarangan-pelarangan dan hal-hal yang membatalkan nikah yang ada pada ajaran agama Islam, seperti uraian di atas bukan sebagai bentuk pengekangan akan aktualitas dan nekspresi pada masalah jalur manifestasi relasi seksual manusia.

Akan tetapi aturan tersebut ada untuk kemaslahatan manusia itu sendiri jika memahami benar hikmah yang ada dari pelarangan tersebut, contohnya pelarangan menikah sedarah, di samping secara ikatan keluarga tidak akan berkembang juga akan berakibat pada keturunan yang dihasilkan, padahal Islam menginginkan generasi yang kuat secara iman dan juga secara fisik

Tujuan dan Fungsi Nikah

Pernikahan adalah salah satu media untuk mengembangkan keturunan dan penyaluran insting untuk melakukan relasi seksual. 

Untuk itu Allah telah memberikan aturan-aturan dan batasan-batasan untuk menjamin agar pernikahan itu bias dicapai oleh setiap orang.

Al-Qur’an menunjukkan bahwa cara riil dan nature untuk meraih kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah melalui hubungan suami-istri yang baik sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah lewat apa yang telah difirmankan-Nya dan juga apa yang telah dilakukan oleh rasul-Nya, yaitu Adam dan Siti Hawa.

Melalui tatanan hukum yang tersistematis dengan baik, maka kedamaian dalam pernikahan dapat tercapai dan terjamin secara nyata, karena dalam diri manusia terdapat insting untuk menyukai lawan jenis. 

Prinsip utama dari kehidupan pernikahan adalah manusia harus hidup secara berpasang-pasangan yaitu seorang lakilaki dan seorang perempuan harus menikah dan hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan yang bahagia.

Islam telah menetapkan pentingnya pernikahan yang agung. Pernikahan betul-betul dianjurkan berdasarkan beberapa: pijakan, agama, moral dan sosial.

Pernikahan dalam Islam dinilai sebagai sebuah ikatan yang kokoh dan sebuah komitmen yang menyeluruh terhadap kehidupan, masyarakat dan manusia untuk menjadi seseorang yang terhormat. 

Pernikahan adalah sebuah janji yang diikrarkan oleh pasangan suami istri terhadap diri mereka sendiri dan terhadap Allah. 

Usaha yang dilakukan oleh masing-masing pasangan suami istri ini bertujuan untuk mempermudah mereka menemukan pemenuhan bersama (mutual fullfilment) dan realisasi diri (self realisation) atas nama cinta dan kedamaian, keinginan dan harapan. 

Ini semua karena, pernikahan dalam Islam secara esensial, adalah sebuah tindakan kesalehan dan ketaatan yang sempurna.


Dari uraian di atas tersebut mengisyaratkan bahwa hidup membujang tidak dianjurkan dalam Islam, baik kepada laki-laki maupun perempuan. 

Hal ini mempertimbangkan adanya kenyataan bahwa kebutuhan laki-laki dan perempuan itu sama-sama logis dan sah.

Sesungguhnya, Islam memandang pernikahan itu adalah sebagai sebuah jalan hidup yang alami baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki, dan mungkin lebih dari sekedar memandang bahwa pernikahan itu hanya memberikan beberapa bentuk jaminan ekonomis bagi perempuan. 

Harus ditekankan disini, bahwa kemanfaatan bagi perempuan sama sekali bukan indikasi bahwa pernikahan dalam Islam hanyalah sebuah transaksi ekonomi belaka. 

Sesungguhnya, faktor ekonomi merupakan aspek yang paling terakhir dari sebuah kegiatan, penekanannya selalu didasarkan kepada kualitas-kualitas keagamaan dari pasangan suami istri tersebut.

Tujuan pernikahan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. 

Al-Qur’an menegaskan, bahwa di antara tandatanda kekuasaan Allah Subhanahu wata'ala ialah bahwa Ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). 

Kemudian Allah menjadikan / menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka.

Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berpikir.(Ar-Rum (21):21)

Dalam bagian lain, al-Qur’an menyatakan bahwa para istri adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi istrinya. (Al-Baqarah (2):187)

Kehidupan yang tenteram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian di antara suami dan istri 

Karena baik istri maupun suami menyadari bahawa masing-masing sebagai pakaian bagi pasangannya itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya pernikahan dalam Islam. 

Suasana kehidupan yang dituju oleh pernikahan dibangun atas dasar yang kokoh, antara lain suami dan istri ada sekufu (kafaah). 

Kafaah dalam pernikahan adalah sama dan sebnding (al-musawat wa al-mumasalat), misalnya yang paling penting, seagama atau sama-sama bercita-cita mengembangkan keturunan yang shalih dan lain-lain. 

Sebagai konsekuensi kafaah adalah soal agama, seorang wanita muslimah haram kawin dengan pria kafir. 

Dalam hal kafaah, baik Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’I maupun Imam Hanbal memandang penting faktor agama sebagai unsur yang  harus diperhitungkan. 

Bahkan Imam asy-Syafi’I dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama.

Pentingnya kafaah dalam pernikahan sangat selaras dengan tujuan pernikahan di atas; suatu kehidupan suami istri yang betul-betul sakinah dan bahagia. 

Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan. 

Pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan shalih, yang akan menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa (li al-muttaqina imama).

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan (25):74)

Melestarikan keturunan (nasl) merupakan tujuan disyari’atkan pernikahan. Pernikahan di samping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi collaboration of feeling antara dua jenis kelamin, sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi, kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain. 

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu menjadikan anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.

Islam memandang bahwa pernikahan harus membawa maslahat, baik bagi suami istri, maupun masyarakat. Sedemikian bermanfaatnya pernikahan sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya lebih besar daripada keburukan-keburukan (madarat). 

Dilihat dari titik pandang kolektif manfaat yang paling berarti tentu saja adalah meneruskan keturunan, tetapi ini bukan hanya sekedar pengabaian anak secara fisik saja. 

Lebih dari itu, lembaga pernikahan menjamin agar manfaat penerusan keturunan tersebut akan dapat menjadi suci dan tertib, tidak vulgar dan semrawut. 

Sedang ditinjau dari segi agama khusus, memiliki anak itu berarti melakukan hal-hal sebagai berikut: merealisasikan kehendak Allah Subhanahu wata'ala, memenuhi panggilan Nabi Sholallahu 'alaihi wassallam untuk menikah dan menambah jumlah pengikut beliau, serta menuai buah kebaikan dari doa anaknya nantinya. 

Kaum Muslimin percaya, bahwa ketika orang tua itu meninggal dan memiliki anak (lakilaki atau perempuan), maka doa anaknya akan berguna baginya. 

Di samping, apabila seorang anak meninggal dunia terlebih dahulu sebelum orang tuanya, maka anak tersebut nanti akan menjadi perantara yang membantu orang tuanya. 

Pernikahan merupakan suatu bentuk hubungan manusia yang paling agung yang harus dipenuhi segala syarat dan rukunnya. 

Pernikahan menuntut adanya tanggung jawab timbal balik yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak, suami istri, sesuai ajaran Islam.

Memenuhi hasrat seksual juga merupakan salah satu aspek penting dari pernikahan. Dalam sudut pandang Islam, pernikahan dapat mengontrol nafsu seksual dan menyalurkannya di tempat yang benar.
 

Dan fungsi nikah yang lain adalah sebagai sebuah langkah preventif (mani’) bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan, seperti diketahui, manusia dari kenyataan tabi’at dan nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormatan dan kemuliaannya. 

Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam penyaluran naluri seksual adalah
melalui perkawinan, sehingga segala akibat negative yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. 

Oleh karena itu ulama fiqh menyatakan bahawa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah Subhanahu wata'ala dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (30): 21

Selain dari itu Haifa A. Jawad menambahkan bahwa pernikahan dapat menimbulkan kedamaian dan ketentraman dalam jiwa serta menanamkan cinta dan kasih sayang pada pasangan suami istri. Ini adalah sebuah dorongan yang besar bagi seseorang untuk beribadah kepada Allah. Kemesraan suami istri dipandang sebagai katalisator bagi perkembangan jiwa mereka. 

Dengan kata lain, hubungan intim dan mesra yang berkembang pada suami istri itu penting untuk meringankan beban psikis serta kemudian memungkinkan untuk memikirkan fokus yang lebih baik kepada penyelesaian tugas-tugas dari Allah Subhanahu wa'ala.  

Al-Gazali dalam hal ini menjelaskan pula dengan kata-katanya yang indah, yaitu: Manfaat yang ketiga dari pernikahan adalah membuat hati menemukan ketentraman lewat kemesraan dengan pasangannya, duduk berdua dan bersenda gurau dengannya. Ketentraman ini kemudian menjadi sebab meningkatnya keinginan untuk beribadah. 

Rajin beribadah memang menimbulkan rasa lelah, dan hati-pun menjadi berkerut. Namun, rasa tentram yang diperoleh tersebut akan mengembalikan kekuatan hati.

Islam juga melihat pernikahan sebagai sebuah nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormatan dan
kemuliaannya.

Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam penyaluran naluri seksual adalah
melalui perkawinan, sehingga segala akibat negative yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. 

Oleh karena itu ulama fiqh menyatakan bahawa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah Subhanahu wata'ala dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (30): 21

Selain dari itu Haifa A. Jawad menambahkan bahwa pernikahan dapat menimbulkan kedamaian dan ketentraman dalam jiwa serta menanamkan cinta dan kasih sayang pada pasangan suami istri. 

Ini adalah sebuah dorongan yang besar bagi seseorang untuk beribadah kepada Allah. Kemesraan suami istri dipandang sebagai katalisator bagi perkembangan jiwa mereka. 

Dengan kata lain, hubungan intim dan mesra yang berkembang pada suami istri itu penting untuk meringankan beban psikis serta kemudian memungkinkan untuk memikirkan fokus yang lebih baik kepada penyelesaian tugas-tugas dari Allah Subhanahu wata'ala. 

Al-Gazali dalam hal ini menjelaskan pula dengan kata-katanya yang indah, yaitu: Manfaat yang ketiga
dari pernikahan adalah membuat hati menemukan ketentraman lewat kemesraan dengan pasangannya, duduk berdua dan bersenda gurau dengannya.

Ketentraman ini kemudian menjadi sebab meningkatnya keinginan untuk beribadah. Rajin beribadah memang menimbulkan rasa lelah, dan hati-pun menjadi berkerut. Namun, rasa tentram yang diperoleh tersebut akan mengembalikan kekuatan hati.

Islam juga melihat pernikahan sebagai sebuah media (sarana) yang menciptakan rumah tangga bias menyenangkan bagi pasangan suami istri. 

Ikatan pernikahan membantu suami istri untuk saling bekerja sama dan gotong royong secara damai dalam mengatur urusan-urusan rumah tangga mereka; dengan begitu akan ada waktu yag cukup untuk melaksanakan perintahperintah Allah. 

Sehubungan dengan hal ini, Nabi Sholallahu 'alaihi wassalam diriwayatkan pernah memberikan nasehat kepada para pengikutnya untuk memilih pasangan yang benar yang dapat membantu mereka memperoleh berkah Allah Subhanahu wata'ala.

Di samping itu, pernikahan dipandang sebagai suatu peluang untuk membangun karakter pribadi yang baik dan kuat, sebagai hasil dari tanggung jawab keluarga yang dipikul oleh masing-masing pasangan suami istri selama dalam kehidupan pernikahannya. 

Dengan begitu, keberhasilan membawa komitmen-komitmen keluarga (yang dinilai setara dengan kewajiban-kewajiban dari Allah) akan disediakan pahala oleh Allah. 

Dengan demikian, pernikahan merupakan jaminan stabilitas social dan bentuk kehidupan yang bermartabat bagi masing-masing pasangan (suami istri), bahkan fungsi ini mungkin akan lebih terasa bagi perempuan, sebab pernikahan itu merupakan jaminan bagi hak-hak mereka, baik dalam kehidupannya sebagai istri maupun sebagai ibu (tentu juga di samping yang mereka terima sebagai satu individu). 

Pernikahan sangat berfungsi dalam menghindarkan manusia dari praktik prostitusi (perzinaan) dan perbuatan-perbuatan fisik lainnya, sekaligus menjaga kesehatan kelamin dan menghindarkan penyakit yang sangat ditakuti dewasa ini, yaitu AIDS. 

Penyakit yang sangat menakutkan itu menyebar dengan sangat cepat melalui hubungan kelamin dengan orang yang telah terjangkit penyakit perusak kekebalan tubuh itu.

Bagi mereka yang telah mampu menegakkan tanggung jawab akibat pernikahan, baik fisik, mental, ekonomi maupun sosial juga khawatir akan terjerumus ke lembah prostitusi (khauf al-‘anah) wajib untuk kawin.

Tujuan dan fungsi pernikahan yang lain dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab. Membagi rasa tanggung jawab antara suami atau istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.

Hikmah Pernikahan

Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas, dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini. 

Al-Jurjawi menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. 

Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi siasia. 

Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi, pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi.

Lebih lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca: lelaki) tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya.

Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. 

Karena itu pernikahan disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting. 

Menurut Mustafa al-Khin dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang agung
yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: 

1. Memenuhi tuntutan fitrah

Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia.

Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan. 

Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. 

Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang).

Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan ini agar tidak melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga.

2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin

Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaanperasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan bahwa begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. 

Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

3. Menghindari dekadensi moral

Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. 

Akan tetapi insting ini akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang terlarang. 

Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. 

Hal ini jelas akan merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental.

4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.

Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable society. 

Terdapat banyak hikmah dalam pernikahan di antaranya adalah dapat menenteramkan jiwa, dengan begitu akan tercipta perasaan-perasaan cinta dan kasihsayang. 

Keluarga yang diliputi rasa kasih sayang satu dengan lainnya akan tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, meskipun tidak mudah untuk mewujudkannya karena dibutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai antara suami dan istri.

Pernikahan yang penuh berkah adalah benteng iman yang paling kokoh, dituntut kesabaran keikhlasan kita dalam mengarungi bahtera yang kadang bergelombang dan berbadai. 

Demikian Pernikahan dalam hukum Islam dan hikmahnya semoga bermanfaat bagi kita, terimakasih atas kunjunganya.

0 Response to "PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HIKMAHNYA"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak