Kebenaran dan Kebijaksanaan

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.

Tak jarang kita temui orang berdebat bahkan bertengkar hanya karena merasa dialah yang paling benar dan menganggap kebenaran yang diyakini orang lain adalah keliru. Mereka mati-matian mempertahankan kebenaran mereka masing-masing dengan segala argumentasi dan dalil yang mereka punya. Akibatnya klaim dan judgement menjadi santapan hari-hari. Vonis sesat, salah, dan najis bukan lagi hal asing. Hasilnya... jelas ketidakrukunan sesama manusia. Dengan mudahnya darah menjadi halal ditumpahkan. Sungguh, manusiakah itu?

Kembali kepada al-Qur’an dan sunnah". Itulah semboyan yang sering kita dengar, walaupun dalam pemahaman dan penerapannya tidak jarang satu sama lain saling berbeda atau bahkan bentrok.

Dalam konteks “kembali" itu, kita antara lain harus mengakui penegasan al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah tidak menganiaya satu kaum, tetapi merekalah sendiri yang menganiaya diri mereka (baca antara lain Q.S. Ali Imran ayat 117). Ini karena, merujuk surat Al-Anfal ayat 53:

مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَٰذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ ۚ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَٰكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(Q.S. Ali Imran ayat 117)

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Al-Anfal ayat 53)

Yang demikian itu) disiksa-Nya orang-orang kafir (disebabkan) karena (Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan cara menggantinya dengan siksaan (sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka) sehingga mereka sendiri mengubah nikmat yang mereka terima dengan kekafiran, seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir Mekah; berbagai macam makanan dilimpahkan kepada mereka, sehingga mereka terhindar dari kelaparan, diamankan-Nya mereka dari rasa takut, dan diutus-Nya Nabi Shalallahu 'alaihi wassallam. Kepada mereka. Kesemuanya itu mereka balas dengan kekafiran, menghambat jalan Allah dan memerangi kaum Mukminin. (Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).

Juga dengan merujuk firman-Nya yang lain dalam surat A-Rad ayat 11:

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(A-Rad ayat 11)

Keterbatasan pengetahuan bukan saja berarti ketiadaan ilmu, tetapi juga ketidakmampuan memilah, mengamalkan dan menyosialisasikannya. Terkadang kita tidak mengetahui apa yang kita kehendaki. Kita tidak mampu membedakan mana yang utama dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana keinginan dan mana keperluan.

Kita tidak mampu membedakan mana kawan yang sebenar-benarnya dan mana pula lawan. Terkadang lawan justru dijadikan kawan, dan kawan dijadikan lawan. Ada lawan yang benar-benar lawan dan ada juga yang pada hakikatnya bukan lawan, tetapi karena ulah dan keterbatasan pengetahuan kita maka mereka kita anggap sebagai lawan dan penantang.

Sering kali kita juga menilai sesuatu hanya karena keuntungan material yang dapat diperoleh atau karena ide itu disampaikan seseorang yang kita kagumi. Sikap semacam ini sungguh bertentangan dengan tuntunan agama kita.

Dalam Perang Uhud, kaum musyrik menyebarkan isu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam, telah wafat/gugur. Sebagian orang yang lemah imannya menjadi murtad. Ketika itu turun firman Allah yang mengingatkan bahwa:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Q.S. Ali Imran ayat 144).

Ayat ini oleh sebagian ulama dipahami sebagai teguran kepada kaum Muslim agar jangan menilai kebenaran sesuatu hanya karena diucapkan oleh seseorang. Tetapi hendaklah menilai baik dan buruk sesuatu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada sesuatu yang dinilai itu. Dengan kata lain, "nilailah ucapannya, jangan menilai siapa yang mengucapkan", atau “ambillah hikmah walau dari mulut-mulut orang gila," demikian bunyi sebuah ungkapan.

Mungkin juga kita telah memiliki pengetahuan, tetapi iradah, kemauan dan tekad kita tidak cukup. Kini banyak tantangan besar yang dihadapi, tetapi yang terbesar ada pada diri kita sendiri. Keadaan kita sekarang seperti judul sebuah buku: Antara Kelumpuhan Ulama dan Cendekiawan dan Kebodohan Umatnya.

Sebelum menyalahkan orang lain, kita perlu bercermin diri. Kenyataan memang menunjukkan bahwa masyarakat kita belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang dirinya, demikian juga tentang agamanya.

Malik bin Nabi menulis bahwa sebelum lima puluh tahun ini, kita baru mengenal satu penyakit saja, yaitu kebodohan dan buta huruf. Penyakit itu dapat disembuhkan. Tetapi, kini kita melihat penyakit baru yang sangat buruk, yaitu “sok pintar" dan mengaku “serba tahu". Ini sangat sulit diobati, bahkan tidak bisa diobati.

Penyakit ini bisa menimpa masyarakat secara keseluruhan sehingga menjadi budaya masyarakat. Perlu diingat bahwa dalam satu masyarakat terbelakang, bisa saja ada pribadi-pribadi yang maju, tetapi mereka tidak memberi pengaruh yang cukup untuk mengubah masyarakatnya.

Ada kelompok dari umat Islam yang sok tahu itu yang justru mengangkat tinggi-tinggi panji-panji Islam, tetapi melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan tuntunan Islam. Salah satu penyebabnya adalah karena sebagian mereka berpegang teguh pada bunyi teks al-Qur’an atau Sunnah tanpa memperhatikan konteksnya.

Ketika kelompok Taliban di Afganistan menghancurkan patung Budha yang demikian bersejarah dan amat dihormati oleh penganut agama Budha, mereka berpegang kepada sabda Nabi Muhammad yang melarang pembuatan patung. Mereka tidak menyadari bahwa larangan tersebut beliau kemukakan pada awal masa Islam, ketika patung-patung masih disembah.

Dalam al-Qur’an kita menemukan bahwa Nabi Sulaiman Alaihi Sallam, menyuruh membuat patung-patung. Nabi Isa Alaihi Sallam, pun membuat patung dari tanah berbentuk burung, tetapi karena mereka tidak menyembahnya, maka hal itu boleh-boleh saja. Saat sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam, masuk ke Mesir, di sana mereka menjumpai ribuan patung, dari yang kecil sampai yang terbesar. Namun tidak satu pun yang mereka hancurkan.

Ada lagi yang tidak dapat mengaitkan antara ajaran agama dan perkembangan budaya, sehingga sering kali perubahan budaya, walau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syariah, tetap saja dikecam. Ini karena mereka menyalahpahami sabda Nabi Muhammad: "Semua yang baru adalah kesesatan dan semua kesesatan di neraka."

Mereka menduga bahwa segala sesuatu yang tidak diamalkan atau belum terjadi pada masa Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassallam., adalah bid’ah. Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya banyak hal baru yang, sadar atau tidak, mereka amalkan juga.

Karena itu, sungguh tepat pandangan ulama seperti yang dikatakan Abdul Aziz bin Abdussalam (w. 1262 M.) dalam buku nya al-Qawa’id, bahwa bid’ah ada yang wajib (seperti mempelajari ilmu nahwu (grammar/tata bahasa), ada yang sunnah seperti membangun ma’had dan sekolah, ada yang makruh seperti menghiasi masjid atau mushaf, dan ada juga yang mubah, seperti berjabat tangan setelah salat Asar dan Subuh.

Pada sisi lain, ada kaidah-kaidah yang telah disusun oleh para ulama, yang sering kali karena keterbatasan pengetahuan menjadikan kita bersikap sangat keras dan kaku. Ambillah sebagai contoh kaidah ikhtiyah akhaffu ad-dhararain (memilih salah satu dari dua alternatif yang paling sedikit mudaratnya).

Kaidah ini dapat digunakan untuk menghadapi sekian banyak kemungkaran yang, karena satu dan lain hal, belum mampu diberantas secara tuntas. Untuk menghadapinya dapat dicarikan alternatif lain, membiarkannya untuk sementara selama dampak buruknya atau pelakunya dapat dikurangi.

Pemahaman agama khususnya dalam bidang selain ibadah murni, harus selalu dikaitkan denga konteksnya. Jika tidak, kita akan terjebak kesulitan bahkan kekeliruan dalam memahami dan menerapkan ajaran agama kita. Melihat segala sesuatu tidak hanya dari satu sudut saja. Sebab, untuk benar-benar mengenal sesuatu, kita harus melihatnya dari berbagai sisi.

0 Response to "Kebenaran dan Kebijaksanaan"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak