Makna Ikhlas

Makna Ikhlas

Pengertian Ikhlas 

Ikhlas ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kholusho, yaitu kata kerja intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). 

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. an-Nahl: 66)

Pada ayat di atas Allah subhanahu wata'ala. telah memberikan pelajaran bagi kita lewat binatang ternak. Betapa Dia telah memisahkan susu dari bercampurnya kotoran dan darah, padahal ketiga macam benda tersebut sama-sama berada dalam satu tubuh (perut). Demikian itulah makna ikhlas, yakni sesuatu yang bersih dan murni dari segala campuran. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar.

Selanjutnya, setelah mengalami penambahan huruf menjadi akhlasho, maka kata itu berubah menjadi transitif yang berarti membersihkan atau memurnikan. Orang yang membersihkan atau memurnikan dikatakan sebagai al-mukhlis. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus …” (QS. al-Bayyinah: 5)

Maka, orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak’ riya dalam beramal.

Sedangkan lawan dari ikhlas adalah isyrak, yang berarti menyekutukan. Ikhlas dan lawannya ini berkenaan dengan tujuan atau niat seseorang. Niat adalah sesuatu yang mengacu kepada berbagai respon bermacam hal yang membangkitkan. Apabila faktor pembangkit amal perbuatan hanya satu, maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan, yaitu Allah. Sedangkan orangnya disebut sebagai mukhlish. Dan apabila faktor pembangkit tersebut ada dua atau lebih, maka sudah bisa dikategorikan bahwa tanda-tanda tidak ikhlas telah muncul ke dalam hati kita.

Faktor pembangkit lain dalam amal yang bisa merusak keikhlasan yaitu: riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar orang), dan ‘ujub (membanggakan diri). Dan orang yang menyekutukan dalam amal disebut musyrik.

Selanjutnya, para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas, namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefinisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untuk-Nya.

Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin.”

Ada pula yang mengungkapkan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah.

Ulama terkenal Abi Qasimy al-Qusyairi berkata, “Ikhlas adalah menjadikan tujuan taat satu-satunya hanyalah kepada Allah Subhanahu wata'ala ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk mendapat pujian.”

Hasan al-Banna berkata tentang makna ikhlas, “Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya, amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari ridha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”

Menurut Sayyid Sabiq, ikhlas adalah, “Menyengajanya manusia dengan perkataannya, amal, dan jihadnya hanya karena Allah semata-mata, dan karena mengharap keridhaannya. Bukan karena mengharap harta, sanjungan, pangkat, kemasyuran, atau maju mundurnya, amalnya terangkat dari kekurangan-kekurangan dan terangkat dari akhlak yang tercela dan dengan demikian ia mendapatkan kesenangan Allah.”

Dari beberapa penjelasan tentang makna ikhlas di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa keseluruhannya mengarah pada makna, yakni pengharapan terhadap ridha Allah semata dan tidak mengiringinya dengan pengharapan terhadap ridha dari selain Allah, apalagi hanya mengharap ridha dari selain Allah. Oleh karena itu, wajarlah jika lawan dari sifat ikhlas disebut juga syirik kecil, yakni ketika kita menyandingkan makhluk sejajar dengan Allah sebagai pihak yang dimintai keridhaannya.

Penyeketuan dalam ibadah dapat terjadi dengan menyekutukan Allah dengan segala sesuatu selain Allah, baik berupa manusia, materi dunia, atau diri sendiri. Jika menyekutukan dengan manusia (untuk mendapatkan kemuliaan dan kedudukan di sisinya),bmaka ia dinamakan riya’. Dan jika menyekutukan dengan diri sendiri, maka ia dinamakan ‘ujub.

Dengan kata lain, ikhlas adalah realisasi dari ungkapan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Iyyaka na’budu berarti menyembah hanya kepada Allah tidak menyertakan tujuan agar dipuji manusia atau lainnya. Iyyaka nasta’in berarti hanya menyembah pada Allah dan tidak menganggap kemampuan menyembah itu dari dirinya. Dalam shalat kita selalu berdoa demikian.

Selanjutnya hakikat ikhlas itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena ikhlas tempatnya di hati. Hanya diri kita sendiri dan Allah Yang Maha Mengetahui yang tahu apakah kita ikhlas atau tidak. Ikhlas tidak bisa direkayasa. Mungkin saja bibir kita dapat berucap kata ‘ikhlas’ di hadapan orang lain, lalu kita dapat mengelabui mereka. Tapi kita tidak mungkin bisa membohongi diri kita sendiri.

Ikhlas adalah rahasia yang hanya diketahui oleh kita sendiri dan Allah Subhanahu wata'ala Saat kita memberikan bantuan kepada teman atau saudara, mungkin kita bisa meyakinkan dia dengan kata-kata ‘ikhlas’.

Tapi kata-kata itu belum tentu mewakili kondisi hati kita.

Begitu pula sikap, penampilan, dan tindakan seseorang belum tentu menggambarkan apakah dia benar orang yang ikhlas atau tidak. Misalnya ada seorang mubaligh yang sedang mengisi pengajian di sebuah masjid. Setelah selesai, panitia memberinya uang sebagai imbalannya. 

Tapi ternyata ia menolak untuk menerimanya sambil berkata, “Saya melakukan ini ikhlas lillahi Ta’ala. “Apakah perilakunya itu menunjukkan bahwa ia benar-benar ikhlas? Belum tentu. Karena yang tahu ikhlas atau tidak hanya ia sendiri. 

Bisa jadi ia menolak menerima pemberian itu, karena takut disebut tidak ikhlas. Atau ia tolak pemberian itu karena menginginkan kesan tertentu pada orang banyak. Ingin agar nantinya ia disebut dan dikenal sebagai mubaligh yang alim dan ikhlas. Jika niatnya demikian, maka ia belum bisa dikatakan ikhlas karena masih mengharapkan sesuatu dari mahluk.

Dan ikhlas itu tidak terbatas dalam perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, membaca al-Qur’an, haji, dan amal-amal ibadah lainnya. Tapi keikhlasan juga menyangkut amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah (pergaulan sosial). 

Ketika kita tersenyum terhadap teman, kita harus ikhlas. Ketika kita mengunjungi saudara, kita harus ikhlas. Ketika kita meminjamkan kepada saudara kita barang yang dia butuhkan, kita pun harus ikhlas.

Tidaklah kita lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah, kita tersenyum kepada teman bukan karena agar dia berbuat baik

kepada kita, tidak pula kita meminjamkan uang atau membantu saudara kita agar kelak suatu saat nanti ketika kita membutuhkan sesuatu maka kita pun akan dibantu olehnya, atau tidak pula karena kita takut dikatakan sebagai orang yang pelit.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya. Ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, ‘Hendak ke mana engkau?’ Maka dia pun berkata, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini..’ Maka malaikat itu kembali bertanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya?’ Orang itu pun menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah. Malaikat itu pun berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)

“Senyummu di hadapan saudara adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Ikhlas juga mencakup segala keadaan dan kondisi kehidupan manusia. Ikhlas ketika menerima cobaan, ikhlas menderita, ikhlas bahagia, ikhlas beribadah, dan ikhlas-ikhlas yang lainnya. Intinya segala kejadian dan peristiwa hidup ini harus kita terima dengan ikhlas. Hingga nanti pada akhirnya kita ikhlas bila suatu saat nanti

jiwa kita semua diambil kembali oleh Allah Subhanahu wata'ala dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Tingkatan Ikhlas B. Tingkatan Ikhlas

1. Ikhlasnya seseorang untuk meraih kebahagiaan duniawi. Dia beramal atau beribadah dengan harapan Allah memberikan kekayaan di dunia. Seperti orang yang memperbanyak membaca Surat al-Waqiah agar Allah memberinya rezeki. 

Maka ketika berdoa, ia berharap keinginan duniawi semata. Ini adalah tingkatan ikhlas yang paling rendah. Namun demikian, ini masih lebih baik karena seseorang hanya meminta kepada Allah saja, dan tidak meminta kepada selain-Nya.

2. Ikhlasul ‘Aabidiin. Yakni ikhlasnya orang yang ahli ibadah.

Dalam menjalankan ibadah, mereka memang benar sudah ikhlas.

Akan tetapi di samping mereka ikhlas juga masih disertai pamrih atau keinginan-keinginan, diikuti atau didorong oleh keinginan-keinginan tersebut. Seperti ingin surga, takut neraka, ingin bahagia dunia akhirat dan lain sebagainya. Dan di samping itu, mereka masih merasa mempunyai kemampuan dalam beramal atau beribadah. Mereka mengandalkan pada amalnya. Kalau tidak giat ibadah tak akan memperoleh surga atau tak akan selamat dari neraka atau tak akan bahagia dunia akhirat. Atau dengan kata lain, keikhlasan mereka masih dipengaruhi atau didorong oleh nafsu ingin mendapatkan pahala dan menghindar dari ancaman siksa.

3. Ikhlasul Muhibbin. Yakni ikhlasnya orang-orang yang mencintai Allah. Mereka beramal semata-mata karena Allah. Mengagungkan, memuliakan, dan menghormati Allah, karena memang Allah pantas dihormati dan diagungkan. Mereka beribadah sudah tidak didorong lagi oleh keinginan-keinginan atau pamrih pribadinya, baik itu masalah dunia ataupun akhirat.

Contoh ikhlasnya muhibbin adalah sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan seorang kekasih Allah, Rabi’ah al-’Adawiyah. Beliau berkata dalam munajatnya, ‘’Ya Allah, tiadalah ibadahku kepada-Mu karena takut dari neraka siksa-Mu, dan tiada pula karena mengharapkan masuk surga-Mu. Ya Allah, bila aku beribadah ini karena menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga-Mu. Dan bila aku beribadah ini karena takut dengan neraka-Mu, maka masukkanlah aku ke dalam neraka-Mu.”

Di sini ibadahnya sudah tepat, tetapi masih ada sisi negatifnya, yaitu masih menyandarkan ibadahnya kepada dirinya, masih ada rasa pengakuan bisa beribadah. Ini negatifnya. Tapi sudah lebih baik daripada yang pertama tadi.

4. Ikhlasul ‘Arifiin. Yakni ikhlasnya orang-orang yang sadar dan makrifat pada Allah. Mereka mengetahui, menyadari, dan merasakan bahwa gerak diam mereka semata-mata karena Allah Subhanahu wata'ala Mereka sama sekali tidak merasa bahwa dirinya mempunyai kemampuan atau kekuatan apapun. Mereka tidak beramal, beribadah atau berbuat melainkan dengan Allah dan atas pertolongannya. Tidak dengan daya dan kekuatan dirinya.

Tingkatan ikhlas ini lebih tinggi daripada dua tingkatan ikhlas sebelumnya. Mereka beribadah tidak karena menengok pahala atau ingin surga atau takut neraka atau yang lainnya.

Benar-benar sudah ikhlas lillahi Ta’ala, tanpa pamrih atau keinginan sesuatu apapun. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

Pada ikhlas tingkat tinggi, terdapat perbedaan yang halus antara ikhlasnya ahli malamah dan ikhlasnya ahli tasawuf (sufi). Ahli malamah mengagungkan terjadinya ikhlas pada diri mereka. Mereka mempertimbangkannya, mereka peduli padanya. Sedang kaum sufi menghilang dari keikhlasan mereka dalam keikhlasan mereka sendiri.

Dalam arti, sufi begitu larut dalam keikhlasan mereka sehingga tidak menyadari ada keikhlasan pada diri mereka.

Seperti dikatakan Abu Ya’qub as-Susi, “Ketika mereka dalam keikhlasan, mereka menyaksikan ada keikhlasan, maka keikhlasan mereka membutuhkan pada keikhlasan yang lain.”

Abu Utsman al-Maghribi berkata, “Ikhlas ialah sesuatu yang di dalamnya tidak ada bagian (tempat) untuk nafsu sama sekali.

Ini adalah ikhlasnya kaum awam. Sedang ikhlasnya kaum khawash ialah, sesuatu (tidak) yang berlaku atas mereka, dan tidak pada mereka. Dari situ, tampaklah dari mereka ketaatan, dan mereka melepaskan diri dari hal itu. Tidak terjadi bagi mereka atas hal itu penglihatan. Mereka juga tidak memperhitungkannya. Itulah ikhlasnya kaum khawash.”

Abu Bakar ad-Daqqaq bertutur, “Orang melihat keikhlasannya. Apabila Allah menghendaki supaya dia dapat memurnikan keikhlasannya, Dia akan menggugurkan penglihatan dia terhadap keikhlasannya dalam keikhlasannya. Maka jadilah dia seorang mukhlis.”

Imam Ruwaim mengungkapkan dalam kata-katanya, “Ikhlas ialah bila orang tidak ridha (berharap) mendapat imbalan atas keikhlasannya itu di dunia dan akhirat serta tidak rela mendapat bagian dalam dua kerajaan ini.”

Bagi orang-orang yang telah sampai pada derajat makrifatullah, mereka telah tenggelam dan larut dalam pandangan Allah.

Sehingga ia lupa pada makhluk, lupa pada amalnya, bahkan lupa pada dirinya sendiri. Sehingga, jika pun mereka menampakkan atau memperlihatkan amal ibadah atau kebaikan mereka. Itu tidak akan berpengaruh sedikit pun terhadap nilai kemuliaan keikhlasannya.

Dalam sebuah ungkapannya, Abu Said al-Kharraz menjelaskan, “Riya’-nya kaum ahli makrifat itu lebih utama daripada ikhlasnya para murid.” Makna kata-katanya ini: ikhlasnya para murid itu menjadi cacat lantaran dia masih melihat pada keikhlasan. Sedang ahli makrifat bersih dari riya’ yang membatalkan amal. 

Hanya saja, mungkin dia memperlihatkan satu hal dan amalnya dengan ilmu yang sempurna padanya guna menarik murid atau menanggung derita dari makhluk lain dalam memperlihatkan hal dan amal. 

Bagi ahli makrifat dalam hal seperti itu memiliki ilmu yang lembut yang tidak diketahui oleh orang lainnya. Maka, orang yang kurang ilmunya akan melihat yang demikian itu sebagai riya’. Padahal, itu bukan riya’. Itu tidak lain adalah ilmu karena Allah dan dengan Allah tanpa kehadiran nafsu dan adanya penyakit di dalamnya.

Mengukur Keikhlasan

Kadangkala kita mudah untuk mengatakan bahwa apa yang selama ini kita lakukan dan perjuangkan telah dilandasi keikhlasan untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wata'ala dan surga-Nya. Terkadang dalam hati kita berbisik dan berkata, “Ternyata aku telah sanggup ikhlas.” 

Tapi, apakah benar amal yang kita lakukan selama ini telah ikhlas? Apakah kita telah mampu meraih prestasi dalam tangga keikhlasan? Apakah benar pernyataan hati kita bahwa selama ini kita telah mampu ikhlas?

Perlu kita ketahui dan ingat, bahwa sangat penting bagi kita untuk terus mencari cara menakar keikhlasan dalam diri kita sendiri. Dengan inilah, kita akan yakin bahwa apa yang kita lakukan bukan karena dunia dan isinya, atau karena wanita yang hendak kita nikahi. 

Tapi semata-mata diawali dan dilandasi dengan meniatkannya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Lalu apakah ikhlas itu dapat diukur atau ditimbang? Memang keikhlasan adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur kemurniannya. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:

“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku cinta.” (HR. al-Qazwaini)

Yang bisa mengukur ilmu ini adalah hati masing-masing individu yang memiliki dan menggunakan ilmu ini, itupun belum tentu 100% pas. Hanya Allah yang paling benar mengukur keikhlasan seseorang. Seringkali seseorang termangu lama, setelah itu ia baru mengetahui bahwa niat yang semula ia sangka sudah ikhlas. 

Ketika ditimbang dan diukur, ternyata masih tercampur dengan keinginan dipuji orang lain, sehingga amalan itu tidak diterima dan dilemparkan lagi ke mukanya.

Salah seorang ulama pernah mengatakan bahwa di saat kita melakukan sesuatu dan kita mengatakan pada orang lain, “Aku ikhlas kok”, di saat itulah kita malah berbuat riya’, karena kita telah memamerkan keikhlasan kita kepada orang lain. 

Tak disadari namun pasti, walaupun hanya berupa harapan kecil, tapi kita telah berharap untuk mendapatkan nilai yang baik di mata orang lain saat kita mengatakan bahwa kita ikhlas. Padahal ikhlas itu adalah keadaan di mana kita tidak mengharapkan apapun dari sesama makhluk Allah, baik berupa hal yang berwujud maupun yang tidak.

Begitulah, keikhlasan seseorang sangat rentan dikotori penyakit riya’. Sebab, keduanya menempati ruang yang sama, yakni hati. Karena itu, jarak antara ikhlas dan riya sangat dekat. Perbedaan di antara keduanya sangat tipis, bahkan lebih tipis dari kulit bawang. Sungguh sangat sulit mengukur keikhlasan seseorang melalui pandangan lahiriah.

Namun demikian, keikhlasan bukannya sesuatu yang tidak bisa diukur. Berbuat ikhlas dalam beramal atau memberikan sesuatu betul-betul tanpa berharap balasan (kecuali ridha Allah saja) ada ukurannya atau ada ciri-cirinya. Karena bagaimanapun, kondisi batiniah orang yang ikhlas pasti akan menampak pada sikap dan perilakunya. Begitu pula sebaliknya. Orang yang tidak ikhlas akan tampak dari raut muka, perangai, sikap, dan gerak-gerak lahiriahnya.

Walaupun terkadang, semua bentuk penampilan lahiriah itu belum tentu menggambarkan kondisi batiniahnya.

Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yang banyak sekali macamnya dalam kehidupan orang yang mukhlis. Beberapa indikator di bawah mudah-mudahan dapat dijadikan parameter keikhlasan yang ada dalam diri kita. 

Karena akan sia-sia segala amal perbuatan, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah apabila tidak menghadirkan keikhlasan yang murni semata-mata hanya untuk Allah.

1. Tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan orang lain Pujian atau sanjungan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Siapa yang tidak senang jika dipuji. Bukankah pujian itu menyenangkan dan menggembirakan? Bahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya,

Beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim).

Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Watak dasar manusia itu benci, lari, dan bahkan marah jika dicela orang lain.

Tapi bagi orang yang ikhlas, ia tidak akan terpengaruh dan terkecoh oleh pujuan dan sanjungan. Ia juga tidak akan terpengaruh dan kemudian berubah sikapnya karena dicela orang lain. Hati dan perilakunya tetap stabil meskipun dalam kondisi dipuji atau dicaci manusia, bahkan dia lupa kepada amal yang dilakukan dan tak berharap sedikit pun balasan dari Allah. Itulah tanda bahwa ia telah benar dalam keikhlasannya.

Ibnul Qoyyim ra. berkata, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”

Ketika orang yang ikhlas mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal saleh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. 

Ia juga tahu dan yakin bahwa tidak ada pujian yang dapat bermanfaat untuknya dan tidak ada celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Baginya, pujian Allah lebih penting dan lebih mulia daripada pujian manusia.

Atau ketika ia mendengar ada orang lain yang mencela amal perbuatannya, meremehkan, atau mengejeknya, padahal ia tahu bahwa ia telah berusaha seikhlas mungkin. 

Maka ia tidak akan marah, berubah raut mukanya, atau menjadi benci dan berpaling dari orang yang mencelanya. Ia mengabaikan begitu saja segala cemoohan yang diarahkan kepadanya, karena perhatiannya hanya tertuju pada keridhaan Allah. Justru ia semakin menyadari kekurangan amalnya. Ia sibuk mengoreksi amalnya dan memohon ampun serta perlindungan kepada Allah dari segala aib dan celanya.

Dia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu berubah, tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari Allah Subhanahu wata'ala Bagi seorang yang ikhlas, dipuji, dihargai, tidak dipuji, bahkan dicaci, sama saja. Karena baginya pujian dari Allah lah yang terpenting. Allah-lah tujuan dari segala amalnya.

Bila Anda memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, maka Anda telah beramal karena Allah. Dan bila Anda menghentikan bantuan Anda kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan ia menjelek-jelekkan Anda di mana-mana, maka Anda telah kehilangan ikhlas. Amal Anda sangat dipengaruhi oleh reaksi orang lain pada Anda. Anda bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai Anda, memuji Anda, atau paling tidak memperhatikan Anda. Dan Anda kehilangan gairah untuk berjuang ketika orang-orang mencemooh Anda, menjauhi Anda, atau bahkan mengganggu Anda.

Memang sulit untuk sampai pada keadaan seperti ini.

Tapi inilah ujian dari keikhlasan. Inilah bukti kalau kita memang ikhlas. Dan biasanya ujian ini datang setelah kita melakukan amal.

Bisa jadi, saat sedang beramal kita mampu ikhlas dan menghindari kecenderungan riya. Kita bisa saja berkata ketika menolong seseorang, “Benar saya ikhlas melakukan ini, saya tulus memberikan bantuan ini.” Dan kata-kata itu benar keluar dari lubuk hati kita yang terdalam. Tapi jangan menganggap kita telah lulus dari ujian ikhlas. Ikhlas tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Setelah beramal kita pun harus menjaga keiklasan kita.

Keikhlasan kita itu akan terlihat saat kita mendengar pujian atau celaan orang lain. Saat itulah kita akan tahu bahwa niat kita itu benar-benar ikhlas atau tidak.

Dzun Nun ra. berkata, “Tiga hal termasuk pertanda keikhlasan: samanya pujian dan celaan dari masyarakat umum, lupa melihat amal di dalam amal, lupa mendapatkan pahala di akhirat.”

2. Tidak marah atau kecewa jika orang lain tidak membalas budi baik kita Jika suatu ketika orang yang pernah kita bantu balik acuh terhadap kita, tidak mau menghargai kebaikan kita, atau bahkan mencela dan menggunjing kita. Bagaimanakah sikap kita ketika itu? Jika kita tetap tenang dan respek terhadapnya dan mengembalikan semua urusannya pada Allah, maka itu pertanda bahwa kita telah mampu ikhlas. Tapi jika kita kemudian kecewa dengan amal baik kita, berubah membencinya, mengatakan tidak baik kepadanya, tidak mau lagi menghormati dan acuh terhadanya, itu pertanda bahwa kita belum benar-benar ikhlas. Amal perbuatan kita masih dipengaruhi oleh balasan dari orang lain.

Mungkin kita pernah mendengar orang yang berkata mirip begini, “Sudah capek-capek saya tolong, saya sudah korban waktu, biaya, saya sudah beri kamu kesempatan, saya sudah …, eh sekarang tidak tahunya malah ngelunjak. Dasar orang tidak punya sopan santun, tidak tahu balas budi. Gak ngormatin saya?” Kalau ia ditanya balik, “Jadi kamu nggak ikhlas nih?” Ia menjawab, “Ya ikhlas dong! Tapi kan kamu harus tahu diri!”

Kalaupun kita belum pernah mendengar ucapan yang seperti ini, mungkin saja secara tidak sadar pernah terdengar di hati kita kata-kata yang semisal itu. Mulut kita tidak mengucapkan kata-kata, bibir kita membisu, tapi hati kita tetap mengomel dan mengatakan hal-hal yang mencela dan memarahinya.

Ya, budaya saling membalas memang sudah membudaya di masyarakat kita. Misalnya kalau kita ditolong oleh seseorang, maka sudah selayaknya kita menghormati, memuliakan, dan kadang bahkan ada yang mendekati, mengidolakan, atau memuja. Kalau suatu saat kita pernah dipinjami uang oleh teman kita, maka sudah sepatutnya jika di kemudian hari kita pun mau mengutangi uang kepadanya. Hal ini memang baik, dan sudah selayaknya. 

Tapi yang perlu diwaspadai, orang yang menolong kadang-kadang akhirnya malah terbiasa untuk dihormati ketika dia menolong seseorang. Maka apabila suatu saat dia menolong seseorang yang kemudian tidak menghormatinya, keluarlah dari mulutnya kata-kata mirip begini, “Dasar tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi! Udah ditolong juga. 

Coba kalau tidak ada saya, …” Atau bisa jadi mulutnya tidak berucap kata-kata itu, tapi hatinya tetap mengatakan demikian. Sikap seperti itu jelas menggambarkan kalau ia tidak ikhlas dalam memberikan bantuan.

Ciri orang yang ikhlas tidak pernah berusaha untuk mendapatkan cinta, kepuasan, penghargaan, perhatian, dan pujian dari siapa pun kecuali Allah. Adanya keinginan untuk mendapatkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia telah gagal menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan dan kesucian.

3. Sama amalnya dalam kesendiriannya atau keramaiannya 

Di antara tanda kalau kita telah ikhlas adalah kesamaan amal ibadah kita di kala sendiri dan di waktu dilihat orang banyak. 

Sahabat Ali ra. berkata, “Ada empat tanda orang yang riya: Malas bila beribadat sendirian, rajin di depan orang banyak, bertambah amalnya bila dipuji, dan berkurang bila tidak ada yang memujinya.”

Jika memang benar kita ikhlas beribadah hanya karena Allah, maka tentu ibadah kita akan tetap berkualitas, baik saat sendiri atau ketika dalam keramaian. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikan tetap sama. Ia tidak pernah cari perhatian dan bikin aksi di depan orang banyak dengan amalnya. 

Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru lebih bagus dilakukan ketika ada orang lain yang memperhatikannya.

Ketika shalat berjamaah apalagi sebagai imam, kita mengerjakannya dengan khusyuk dan lama. Tapi apakah hal tersebut akan kita lakukan dengan kadar yang sama di saat kita beramal sendirian? Apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak, dan lebih khusyuk, maka itu bisa diharapkan kita telah mampu ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.

Ada seorang menjadi imam shalat. Dia membaca al-Qur’an dengan tajwid dan tartil. Ia membaca surat-surat yang panjang tanpa rasa lelah sedikit pun hingga makmumnya kelelahan. Ia rukuk dan sujud dengan sangat tertib. Tapi ketika ia shalat sendirian (munfarid), ia membaca surat-surat yang pendek, tanpa memperhatikan tajwid dan tartil.

Ada lagi orang yang shalat di masjid dengan khusyuk. Ia lakukan shalat sunat dan menyelesaikan wirid panjang. Ia kerjakan semua itu dengan mudah dan ringan. Tetapi bila ia shalat di rumah, ia shalat dengan super cepat. Sesudah shalat membaca wirid yang sangat pendek, lalu meninggalkan tempat shalat tanpa melakukan shalat sunat.

Ada juga seorang penceramah yang sedang memberikan ceramah keagamaan. Ketika ia melihat audiensnya sedikit dan melihat para pendengarnya hanya orang-orang biasa, maka ia menyampaikan ceramah dengan biasa-biasa saja. Tapi di saat ia melihat audiensnya adalah orang-orang penting, maka tanpa tersadar ia menyampaikan ceramahnya dengan penuh semangat dan berusaha dengan sebaik mungkin.

Begitulah, maka kita harus selalu waspada dan hati-hati terhadap gejala-gejala yang seperti ini. Jika muncul gejala atau tanda-tanda yang demikian, maka kita harus cepat-cepat introspeksi diri karena barangkali amal kita telah tersusupi riya’.

4. Tidak berbangga diri di hadapan manusia

Indikator lain dari orang yang ikhlas adalah tidak adanya kebanggaan dan kecongkakan di hadapan manusia atas amal-amal salehnya. 

Misalnya, seorang yang ikhlas tidak akan memulai pembicaraan tentang dirinya dengan memuji dirinya pada setiap majlis yang didudukinya. Jika ia melakukan itu, maka itu adalah salah satu bentuk dari kecongkakkan dan berbangga-bangga dengan amal yang justru akan menghilangkan pahala amalnya.

Orang yang ikhlas juga tidak mencari perhatian, popularitas dan tidak menonjolkan diri. Karena ia sadar, sehebat apa pun ketenaran di sisi manusia tiada artinya di hadapan Allah andaikata tidak memiliki keikhlasan. Seorang hamba ahli ikhlas tidak sibuk menonjolkan diri, menyebut-nyebut amalnya, memamerkan hartanya, keilmuannya, kedudukannya, dan aneka topeng duniawi lainnya. Karena itu tidak berguna kalau Allah menghinakannya.

5. Suka beramal secara diam-diam

Orang yang ikhlas adalah orang yang mencukupkan dengan pendangan dan pengawasan Allah saja terhadap dirinya. Ia telah puas dan bahagia dengan penilaian dan pahala dari Allah Subhanahu wata'ala 

Orang lain tidak perlu tahu dengan amal ketaatannya. Karena itu, ia justru suka jika amalnya tidak dilihat orang. Ia senang berbuat taat secara diam-diam.

Ia berusaha menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia berusaha menyembunyikan keburukannya. Ketika tangan kanannya mengeluarkan sedekah, maka ia menyembunyikan tangan kirinya. Ia banyak berzikir dan mengingat Allah dalam kesendiriannya. Dia lebih suka memilih menjadi prajurit bayangan yang rela berkorban namun tidak diketahui dan menjadi pejuang tidak dikenal. 

Dia lebih suka menjadi bagian dari suatu jamaah layaknya akar pohon yang menjadi penopang dan saluran kehidupan bagi si pohon, tetapi tidak terlihat mata karena tersembunyi di dalam tanah. 

Atau seperti fondasi bangunan. Tanpa fondasi, dinding tidak akan berdiri, atap tidak bisa dijadikan tempat berteduh dan bangunan tidak bisa ditegakkan. Tetapi ia tetap tidak terlihat meskipun bangunan yang menjulang tinggi di atasnya dibangun megah.

6. Keberhasilan dan kegagalan baginya sama saja

Ikhlas adalah motivasi yang kuat agar amal kita tetap berlanjut, tidak usang karena kepanasan dan tidak luntur karena kehujanan, tidak tertipu karena pujian, dan tidak frustasi karena kegagalan atau kekalahan, terus bergerak ke arah tujuan yang paling puncak dari cita-cita. Melihat sesuatu yang paling indah di balik setiap amal, selalu mampu menghadirkan sang Khaliq yang tak pernah salah dalam menilai.

Orang ikhlas itu pandangannya selalu tertuju pada cita-cita agung, yakni bagaimana ia bisa mempersembahkan ketaatan dan ketundukan yang terbaik untuk Allah Subhanahu wata'ala dalam rangka meraih pahala surga dan agar Allah ridha terhadapnya. Bagi orang yang ikhlas, hasil bukanlah segalanya. Yang terpenting baginya adalah proses bagaimana mendapatkan pahala dan kerelaan Allah. Berhasil atau gagal, itu adalah urusan kehendak Allah. Ia hanya sebatas menjalankan perintah-Nya.

Karena itu, jika suatu ketika orang yang ikhlas mengalami kegagalan, ia tidak akan berubah menjadi putus asa, berprasangka negatif terhadap Allah. Ia tetap rela dengan segala ketentuan dan ketetapan Allah. Ia akan tetap senang dan bahagia karena apa yang diinginkannya telah berhasil dicapainya, yakni proses menuju keridhaan Allah. Baginya tidak ada yang sia-sia dari amalnya.

Allah tetap akan menilai dan mengganjar jerih payahnya. Ia yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik, lalu terjadi atau tidak yang ia niatkan itu, semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah Subhanahu wata'ala 

7. Tetap dalam pendiriannya dan tidak berubah

Ciri lain dari orang yang ikhlas adalah tetap istiqamah dan tidak berubah dengan sikapnya. Dalam segala keadaan dan kondisi, ia tetap taat dan patuh pada Allah. Ketika mendapat kenikmatan dan kesenangan, ia mampu bersyukur dan beribadah dengan semangat. Begitupun saat mengalai kesusahan atau ditimpa musibah, ia mampu rela, ibadahnya tetap terjaga dan berkualitas.

Sesungguhnya, keikhlasan sejati adalah ketundukan dan penyerahan total kepada Allah Subhanahu wata'ala, tanpa bersyarat. Keikhlasan itu tercermin dalam sikap ridha terhadap semua ketentuan Allah.

Seseorang yang ridha kepada ketentuan Allah, tetapi hanya bersyukur dan berserah diri kepada-Nya dalam kondisi tertentu saja, tidak dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pemberontak dan tidak patuh saat kondisinya berubah. Sebagai contoh, orang yang memiliki hubungan bisnis yang baik dan mendapatkan sejumlah uang. Ia seringkali mengatakan bahwa Allah-lah yang mengizinkan kondisi kekayaan dan keberuntungannya.

Tetapi saat segalanya memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan melupakan kepatuhannya kepada Allah. Sifatnya tiba-tiba berubah dan ia mulai mengeluh terus-menerus dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang baik, bahwa ia tidak seharusnya mendapat musibah, dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa segalanya terjadi demikian buruk. Ia bahkan melewati batas dan mulai menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir selalu ber jalan sesuai dengan apa yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-tanya pada dirinya akan pertanyaan yang tidak ada hubungannya, seperti: mengapa segala sesuatunya berjalan seperti ini? Mengapa semua ini terjadi pada saya?

Keikhlasan juga tercermin dari kestabilan semangat dan motivasi kerja. Ikhlas dapat diukur dari kuat lemahnya amal atau kerja saat kita ditempatkan pada posisi yang tidak penting, kita diturunkan kedudukannya, atau dipecat dari jabatan.

Misalnya jika seseorang diberi amanah untuk menduduki jabatan atau kedudukan penting dalam dakwah, kemudian karena suatu hal ia ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Maka penempatan jabatan itu dapat diterimanya dengan ikhlas. Ia tidak berubah menjadi kendor dan hilang semangat. Baginya semua masalah ini sama saja.

Bahkan jika ia ditentukan untuk menduduki suatu jabatan atau diserahi suatu tanggung jawab, lalu ia mengetahui bahwa ada orang lain yang lebih pantas darinya dan lebih mampu melakukannya, maka saat itu juga ia bersedia meninggalkan tanggung jawab tersebut dan menyerahkannya kepada orang yang lebih mampu.

Hati seorang yang ikhlas tidak dikuasai kesenangan untuk tampil, menguasai barisan, dan menduduki jabatan strategis dalam kepemimpinannya. Tetapi dia lebih mementingkan kemaslahatan bersama karena takut ada kewajiban dan tuntutan kepemimpinan yang dia lewatkan.

Bagi orang yang ikhlas, reward dan punishment tidak akan mengubah fokus kerja seseorang, dari kerja untuk menaati Allah dan Rasulullah beralih kepada kerja untuk mendapatkan pujian dan menghindari hukuman, dari kerja untuk meraih pahala Allah beralih kepada kerja untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Seringkali kita hanya bekerja untuk menghindari “black list”. Kalo tidak kerja, nanti dianggap bermasalah. Kalau tidak memimpin kelompok, termasuk dalam daftar “orang yang kurang produktif”. Kalau tidak hadir rapat, nanti dianggap pemberontak. Sesungguhnya, semuanya untuk Allah. Bukan untuk jabatan, kedudukan, uang, atau pimpinan.

Dikisahkan ketika Khalid bin Walid ra. sedang memimpin satu peperangan dan kemenangan sudah hampir diperoleh, tiba-tiba datang surat “pemecatan” dari Khalifah Umar bin Khatab ra. kepadanya, tanpa menyebutkan alasannya. Panglima perang harus diserahkan kepada salah seorang anak buahnya yang jauh lebih junior darinya. Perintah itu diterima Khalid tanpa reserve. Kini ia menjadi prajurit biasa. 

Namun, semangat juangnya tidak berkurang sedikit pun. Usai peperangan, yang dimenangkan oleh kaum muslimin, salah seorang bertanya kepadanya, “Kenapa semangat juang Anda tidak kendor setelah jabatan Anda sebagai panglima perang diserahkan kepada anak buah Anda?” Dengan enteng Khalid bin Walid menjawab, “Saya berjuang bukan karena Umar, tapi karena Allah subhanahu wata'ala.”. Begitu ikhlasnya Khalid bin Walid.

Ingatlah, jika ternyata sikap dan perbuatan kita menjadi berubah, motivasi kerja dan perjuangan menjadi berkurang, itu pertanda bahwa kita belum bisa ikhlas dengan sebenarnya.

Kerja kita masih bergantung pada keuntungan duniawi.

8. Sama antara lahir dan batinnya

Ciri khusus dari orang yang ikhlas adalah sama antara kondisi batinnya dengan lahirnya. Hudzaifah al-Mar’asyi ra. berkata, “Ikhlas adalah ketika perbuatan seorang hamba sama dalam lahir maupun batinnya.”

Mudahnya, orang yang ikhlas adalah orang yang apa adanya, tidak berpura-pura, tidak plin-plan, tidak ada yang berbeda antara kemauan hatinya dengan perilakunya. Jika ia berkata A berarti hatinya juga A, dan jika ia mengatakan B maka hatinya juga B. 

Misalnya ketika ia bersedekah dan berkata kepada penerimanya, “Saya memberi ini ikhlas lillahi ta’ala”, maka ia tidak sedang berpura-pura dengan kata-katanya, dan kata yang keluar dari mulutnya itu memang berasal dalam lubuk hatinya. Dan yang mengetahui dari semua keadaan ini adalah diri kita sendiri. Kita bisa mengoreksi pada diri kita, apakah kita telah benar antara omongan dan tindakan, antara kata-kata dengan perbuatan.

Jika kesamaan antara lahir dan batin merupakan ciri orang yang ikhlas, maka kebalikannya adalah orang munafik yang tidak sama antara lahiriahnya dan batiniahnya. Al-Qur’an dengan jelas menerangkan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya adalah firman Allah:

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.” (QS. at-Taubah; 44-45)

9. Suka jika mendengar orang lain mendapat nikmat 9. Suka jika mendengar orang lain mendapat nikmat 

Di antara tanda keikhlasan seseorang adalah ia senang jika mendengar orang lain mendapatkan nikmat, walaupun ia sendiri tidak mendapatkan atau bisa ikut merasakannya. Ia selalu suka dan ikhlas jika ada orang lain yang mendapatkan nikmat atau keistimewaan tertentu. Ia senang dan bahagia ketika melihat ada orang yang berbuat taat kepada Tuhannya. Mengapa?

Karena orang yang ikhlas selalu menyukai perbuatan Allah. Ia mampu rela terhadap segala kehendak dan keputusan Allah.

Apapun yang dilihat dan disaksikannya dari perbuatan Allah adalah baik, indah, dan penuh hikmah.

Keikhlasan yang demikian ini sebagaimana tergambar dalam ungkapan sahabat Ibnu Abbas ra., “Bila aku mendengar berita tentang hujan yang turun di suatu daerah, maka aku akan gembira, meskipun aku di daerah itu tak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca sesuatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin agar kaum muslimin semua memahami ayat itu seperti apa yang aku ketahui.” Orang seperti 

Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi kebaikan yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingannya.

Orang yang ikhlas tidak pernah keberatan dengan keberadaan orang lain yang lebih pandai, lebih saleh, lebih bermutu darinya. Meski menurut pandangan manusia ia akan tersaingi dengan keberadaan orang yang melebihi dirinya, namun orang yang ikhlas beramal bukan untuk mencari popularitas. Baginya yang terpenting adalah maju bersama demi kepentingan bersama.

Seorang mukhlis tidak pernah merasa terganggu, terganjal, dengki, ataupun gelisah melihat ada orang lain yang diberi ilmu dan kepandaian yang melebihi dirinya. Justru ia merasa bahagia karena ia punya teman yang bisa membantunya untuk diajak bekerja sama. Adanya sikap iri dan dengki, saling mengalahkan, dan berebut pengaruh, saling membenci dan berbagai sifat tercela lainnya, itu disebabkan karena ketida kikhlasan hati kita.

10.Tidak mengungkit-ungkit atau menyebut-nyebut amalnya

Jika kita mau meneliti lebih dalam, ternyata banyak dari kita yang belum bisa ikhlas sepenuhnya ketika beramal. Ada seseorang yang hendak menitipkan jariyah di masjid, pondok pesantren, rumah sakit, atau tempat-tempat kemaslahatan umat lainnya. 

Ketika ia memberikan sedekahnya kepada panitia masjid misalnya, barangkali ia berkata, “Saya ikhlas memberikan jariyah ini.” Namun di belakang ternyata ia selalu memantau, menyelidiki dan mengintai kalau saja amal itu tidak digunakan sebagaimana semestinya. Di belakang ia suka menyebut-nyebut sedekahnya agar jariyah itu tidak dilupakan orang. Dan kalau pun perlu ia menuliskan namanya di bangunan masjid itu. Seakan ia tidak rela jika sedekahnya itu tidak disebut dan diingat orang lain.

Jika kita memang ikhlas lillhi Ta’ala, tentu kita tidak akan peduli dan mengingat lagi amal kita. Apabila kita telah memberikannya kepada orang yang dapat dipercaya, tidak perlulah kita menyelidiki atau menelitinya. Bagaimana penafsirannya dan digunakan untuk apa saja. Apakah uang itu di-tasaruf-kan untuk bangunan masjid apa untuk panitia yang mengerjakan bangunan, apa justru digunakan untuk keperluan masjid lainnya.

Itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah kita telah beramal dan melakukan niat yang benar. Allah Mahatahu segalanya. Jika kita ikhlas, maka Allah sanggup memberikan pahala yang tiada terkira dan terbatas. Jika Allah saja bersedia memberikan pahala terhadap niat kita, lalu apa susahnya Allah memberikan pahala yang besar terhadap amal kita.

11. Ringan dan nikmat dalam beramal

Keikhlasan adalah buah keyakinan yang mendalam dari seorang hamba Allah sehingga perbuatan apapun yang disukai oleh Allah dan dapat membuatnya bertambah dekat dengan  Allah akan menjadi program kesehariannya. Semua dilakukan dengan ringan, enjoy, nikmat, dan penuh semangat.

Dalam mensifati orang-orang mukmin yang ikhlas, Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. al-Mukminun: 41)

Mereka adalah orang yang bersegera ketika diajak berbuat ketaatan, karena mereka ikhlas dalam menjalaninya. Mereka sangat menginginkan dan merindukan pahala dari Allah. Karenanya, mereka menjadi sangat ringan, senang, dan mampu menik mati segala aktivitas ketaatan mereka. Ketika mendengar panggilan azan berkumandang, hati mereka menjadi berbunga-bunga dan bahagia.

Kemudian Allah subhanahu wata'ala menyifati orang-orang munafik yang suka berbuat riya’ sebagai orang yang malas berbuat ibadah dan ketaatan. Al-Qur’an memfirmankan:

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisa: 142)

12. Tidak fanatik golongan. 12. Tidak fanatik golongan.

Seorang muslim yang ikhlas sangat sadar bahwa tujuan dari perjuangan hidupnya adalah untuk Allah Subhanahu wata'ala, maka yang akan dibela pun adalah kepentingan yang diridhai oleh Allah.

Tidak tergantung pada keinginan dan kepentingan pribadinya.

Selama apa yang diperjuangkan adalah untuk membela agama Islam, maka ia pun akan turut membela. Selama apa yang dilakukan adalah diridhai Allah, maka ia akan mendukung dan membantunya.

Seorang yang ikhlas tidak akan membeda-bedakan teman.

Tegur sapanya tidak akan terbatas pada orang tertentu, senyumnya tidak akan terbatas pada yang dikenalnya saja, dan pintunya selalu terbuka untuk siapa saja.

0 Response to "Makna Ikhlas"

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak