Paradikma Pendidikan Islam Masa Kini Dan Masa Depan
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan sallam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu dirahmati dan Istiqamah.
Dewasa ini pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwanilmuwan besar
Dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani.
Namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas Islam yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Pendidikan adalah sebuah proses pembentukan karakter manusia yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses budaya untuk membentuk karakter guna meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat.
Dari wacana inilah, jelas pendidikan merupakan landasan bagi pembentukan karakter manusia, sekaligus karakter sebuah bangsa.
Bagaimana perjalanan sebuah bangsa menuju masa depannya, hal itu akan tergantung dari pendidikan yang diterima oleh “anak-anak kandung” bangsa bersangkutan. Dalam konteks inilah, pendidikan akan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman.
Karena itu, pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut. Jika tidak, pendidikan akan berjalan di tempat, bahkan berjalan mundur. Bila terjadi,
tunggulah kehancuran bangsa tersebut.
Bagaimana dengan pendidikan
Islam? Pendidikan Islam saat ini tengah
menghadapi tantangan yang tidak mudah
diselesaikan.
Pendidikan Islam saat ini
tengan menghadapi tantangan yang tidak
mudah diselesaikan. Pendidikan Islam
tengah menghadapi tantangan modernisasi
yang amat cepat, yang di satu sisi
menciptakan era globalisasi yang
menumbuhkan pemikiran-pemikiran
global dan universal.
Tapi di pihak lain,
modernisasi menciptakan kumpulan-kumpulan manusia ekstrim dan irasional
yang membentuk sekte-sekte sebagai
counter product dari globalisasi pemikiran
dan budaya tadi.
Alvin Toffler jauh hari
telah meramalkan bahwa di era
modernisasi akan muncul banyak sekte-sekte dan pemikiran-pemikiran ekstrim yang bisa mengganggu perjalanan era
globalisasi tersebut.
Apa yang diprediksi Toffler kini
benar-benar menjadi kenyataan.
Di tengah
umat manusia yang tengah menyambut era
globalisasi muncul pula kelompok-kelompok eksklusif yang ekstrim dan antiglobalisasi. Mereka inilah yang
menyebarkan pemahaman-pemahaman
sempit tentang ideologi dan agama.
Mereka juga melihat manusia secara hitam
putih. Munculnya pelbagai tindakan
terorisme dan tindakan ekstrim lain atas
nama agama, sebetulnya adalah
pengejawantahan dari eksistensi
kelompok-kelompok anti-globalisasi
tersebut.
Kelompok-kelompok semacam
ini jelas menabrak kecenderungan alam
dan kecenderungan manusia yang ingin
terus berkembang.
Mereka niscaya akan
tergilas kecenderungan zaman. Namun jika
dibiarkan, pemikiran kelompok semacam
itu bisa menjadi virus yang akan
menggerogoti bangsa. Dalam kaitan inilah,
pendidikan harus mengantisipasi
kecenderungan destruktif tersebut.
Dan
pendidikan Islam harus berjalan paling
depan untuk mengatasi kondisi itu.
Maklumlah sejauh ini, Islam telah menjadi
“tertuduh” dari munculnya pelbagai
kekerasan dan konflik ekstrim yang
meresahkan dunia internasional.
Pendidikan Islam harus mewarnai
segala aspek kehidupan.Islam harus
muncul dalam dunia yang selama ini
dianggap sekuler seperti perbankan dan
kedokteran. Perbankan Islam kini sudah
bermuncul an di mana-mana.
Juga
pendidikan Islam yang terkait ekonomi
dan perbankan syariah kini sudah ada di
mana-mana. Bahkan Fakultas Kedokteran
yang bernuansa Islam sudah berdiri di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Apa arti semua itu? Islam dan dunia pendidikan sekuler (kedokteran) yang
selama ini dianggap tabu untuk bisa
bergandeng tangan, sekarang ini sudah
menyatu.
Kedepan, Islam sesuai karakter
ajarannya pinjam Bella yang modern
dan universal, harus bisa menyesuaikan
konsep pendidikannya yang mengikuti
perkembangan zaman.
Jika pendidikan
Islam berhasil menyatukan “paradigm sekuler dengan paradigm spiritual dalam
Islam” kedepan harus diupayakan pula
agar pendidikan Islam bisa membawa
masyarakat Islam ke dalam pemikiran dan
perilaku yang humanis dan universal.
Dunia pendidikan saat ini membutuhkan
konsep dan strategi yang integral, yang
bisa “mendidik” seluruh aspek kemanusian
manusia dalam menghadapi tantangan arus
budaya dan social yang demikian gencar
lantaran perkembangan teknologi
informasi yang sangat cepat.
Pendidikan adalah sesuatu yang
universal dan berlangsung terus tak
terputus dari generasi ke generasi dimana
pun di dunia ini.
Upaya memanusiakan
manusia melalui pendidikan, itu
diselenggarakan sesuai dengan pandangan
hidup setiap masyarakat.
Landasan dan
tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya
filosofis normatif (Mansyur, 2018).
Pendidikan Islam sering diartikan
secara sempit yaitu merupakan upaya
melalui berbagai kegiatan pembelajaran
agar ajaran Islam dapat dijadikan pedoman
bagi kehidupannya sebagai bekal untuk
menjadi hamba Allah yang mengabdi dan
beribadat kepada-Nya.
Pada sisi lain secara luas diartikan
sebagai usaha sadar untuk mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan
Allah kepadanya agar mengemban amanat
dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah
di bumi dalam pengabdiannya kepada
Allah Subhanahu wata'ala.
Kedua pengertian tersebut (baik
dalam arti sempit maupun arti luas)
diperlakukan secara terpadu dengan
maksud agar manusia mampu mengolah
dan menggunakan segala kekayaan yang
ada di langit dan di bumi untuk
memperoleh kebahagian dan kesejahteraan
di dunia serta keselamatan di akhirat kelak.
Gambaran manusia yang diharapkan
melalui proses pendidikan Islam yang
demikian adalah seorang muslim yang
beriman kepada Allah. Bertaqwa,
berakhlak mulia, beramal kebaikan,
menjalankan perintah Allah dengan
menjauhi larangan-Nya, menguasai ilmu
pengetahuan (dunia dan akhirat) dan
menguasai keterampilan dan keahlian agar
dapat memikul amanat dan tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya sesuai
kemampuannya masing-masing.
Penerapan dan pengertian
pendidikan Islam yang demikian harus
diletakkan dalam konteks sosial kutural
bangsa Indonesia yaitu agar serasi dan
terpadu dalam rangka pendidikan nasional
sesuai dengan Undang-undang No. 20
Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan
Nasional.
Paradigma Pendidikan
Islam
Paradigma adalah kumpulan tata
nilai yang membentuk pola pikir seseorang
sebagai titik tolak pandangannya sehingga
akan membentuk citra subyektif seseorang
dan akhirnya akan menentukan bagaimana
seseorang menaggapi realita itu.
Paradigma pendidikan terbagi atas tiga
yaitu:
1. Paradigma Holistik
Paradigma holistik merupakan
suatu filsafat pendidikan yang berangkat
dari pemikiran bahwa pada dasarnya
seorang individu dapat menemukan
identitas, makna dan tujuan hidup melalui
hubungannya dengan masyarakat,
lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Pada era tahu 1960-an pendidikan
holistik sempat ditingalkan para pakarnya,
namun pada tahun 1970-an mulai
dikembangkan kembali sejak dilaksanakan
konferensi pertama pendidikan Holistik
Internasional yang diselenggarakan oleh
Universitas California pada bulan Juli
1979, dengan menghadirkan thema The
Mandala Society dan The National Center
for the Exploration of Human Potential.
Tujuan pendidikan holistik adalah
membantu mengembangkan potensi
individu dalam suasana pembelajaran yang
lebih menyenangkan dan menggairahkan,
demoktaris dan humanis melalui
pengalaman dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Melalui pendidikan
holistik, peserta didik diharapkan dapat
menjadi dirinya sendiri (learning to be).
Dalam arti dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang
baik, belajar melalui cara yang sesuai
dengan dirinya, memperoleh kecakapan
sosial, serta dapat mengembangkan
karakter dan emosionalnya (Basil
Bernstein).
Sembilan pilar karakter yang
dikembangkan di dalam penyelenggaraan
pendidikan holistik: cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan
tanggungjawab, kejujuran/amanah,
diplomatis, hormat dan santun dermawan,
suka tolong-menolong dan gotong royong/
kerjasama, percaya diri dan pekerja keras,
kepemimpinan dan keadilan, baik dan
rendah hati, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Model pendidikan holistik
menggunakan tiga metode, yaitu: knowing
the good, feeling the good, dan acting the
good.
Knowing the good bisa mudah
diajarkan sebab pengetahuan bersifat
kognitif saja. feeling loving the good,
yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang selalu
bekerja membuat orang mau selalu berbuat
sesuatu kebaikan.
Orang mau melakukan
perilaku kebajikan karena dia cinta dengan
perilaku kebajikan itu. Acting the good
berubah menjadi kebiasaan.
Setiap anak untuk tiba pada
perilaku berkarakater kuat membutuhkan
proses luar biasa sulit, butuh perjuangan
yang tidak mudah.
Namun kalau anak
sudah terbiasa berbuat baik, sekali dia
berbuat tidak baik sudah tidak enak.
Timbul budaya malu dalam dirinya jika
melakukan perbuatan buruk. Termasuk
menyontek pada saat ulangan.
2. Paradigma Humanistik
Paradigma pendidikan humanistik
memandang manusia sebagai ”manusia”,
yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan
fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk
hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup.
Sebagai makhluk batas (antara hewan dan
malaikat), ia memiliki sifat-sifat
kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifatsifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai
makhluk dilematik ia selalu dihadapkan
pada pilihan-pilihan dalam hidupnya;
sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan
nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia
memiliki kekuatan konstruktif dan
destruktif; sebagai makhluk sosial, ia
memiliki hak-hak sosial; sebagai hamba
Tuhan, ia harus menunaikan kewajibankewajiban keagamaannya.
Ada beberapa nilai dan sikap dasar
manusia yang ingin diwujudkan melalui
pendidikan humanistik yaitu:
Manusia
yang menghargai dirinya sendiri sebagai
manusia, manusia yang menghargai
manusia lain seperti halnya dia
menghargai dirinya sendiri, manusia
memahami dan melaksanakan kewajiban
dan hak-haknya sebagai manusia, manusia
memanfaatkan seluruh potensi dirinya
sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya, dan manusia menyadari
adanya kekuatan akhir yang mengatur
seluruh hidup manusia.
Selain itu, menjadi manusia bukan
sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi
lebih dari itu menjadi manusia berarti
memiliki tanggung jawab terhadap dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negaranya.
Pendidikan humanis adalah
proses pendidikan yang membangun
karakter kemanusiaan dalam diri manusia,
yang menghargai harkat dan martabat
manusia lain, yang tidak terlepas dari
moral hidup bersama atau moral sosial.
Muara pendidikan yang manusiawi
adalah mewujudkan pendidikan yang
bermakna, yakni suatu sistem pendidikan
yang menekankan pada watak (karakter)
atau moral dalam sistem nilai dan
aktualisasi diri, pada peserta didik.
Dan ini
berarti meninggalkan sistem pendidikan
yang menekankan pada pemupukan
pengetahuan atau ”knowledge deposit”
(paradigma pendidikan intelektualis).
Pendidikan humanis ini memiliki beberapa
ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai
sebuah sistem organik, bukan mekanik.
Tidak memisahkan antara teori dan
praksis.
Memperlakukan peserta didik
bukan sebagai bahan mentah, melainkan
sebagai individu yang memiliki bakat dan
minat tertentu.
3. Paradigma Pluralisme
Paradigma plural memandang
manusia sebagai sosok yang independent,
bebas dan memiliki otoritas serta otonomi
untuk melakukan pemaknaan dan
menafsirkan realitas sosial yang ada
disekitarnya.
Tindakan manusia sulit
diprediksi, karena adanya kesadaran yang
berbeda antar manusia. Manusia sebagai
aktor sosial menafsirkan dunia empiris
mereka sendiri secara bebas dan berbeda
satu dengan lain.
Dengan demikian, aspek
kualitatif lebih dikedepankan
dibandingkan aspek kuantitatif.
Immanuel Kant merupakan filosof
utama yang dijadikan basis paradigma
pluralis.
Menurut Kant (dalam Supriadi,
2018), manusia pada hakekatnya adalah
makhluk yang suka berteman sekaligus
juga berkompetisi, namun manusia tetap
senang dengan harmoni.
Manusia
bertindak atas kesadaran subyektif, dan
memiliki kebebasan menafsirkan realitas
di lingkungannya secara aktif. Sementara,
menurut J. Rousseau, masyarakat adalah
sebuah kontrak sosial.
Ada struktur
internal yang membentuk kesadaran
manusia, dimana kontrak sosial merupakan
sebuah mekanisme untuk melakukan
kontrol.
Sejalan dengan konsep manusia, Kant dan Rousseau mengembangkan teori
kontrak sosial.
Dalam teori ini,
terbentuknya negara (masyarakat politik)
karena anggota masyarakat mengadakan
kontrak sosial untuk membentuk negara.
Sumber kewenangan di sini adalah
masyarakat itu sendiri.
Meski pada prinsipnya manusia
sama, namun alam dan lingkungan lain
telah menciptakan ketidaksamaan.
Muncul
hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa
orang tertentu. Mereka lebih kaya, lebih
dihormati, dan lebih berkuasa.
Untuk menghindari ketidaktoleranan dan
kelabilan, masyarakat mengadakan
kontrak sosial. Ini merupakan kehendak
bebas dari semua untuk memantapkan
keadilan dan pencapaian moralitas terbaik.
Melalui kontrak sosial individu akan dapat
mempertahankan dirinya agar tetap jadi
manusia merdeka.
Dalam pradigma pluralis, manusia
merupakan makhluk dengan ciri dualisme
yaitu sebagai makhluk sosial (sociable)
sekaligus berkesadaran secara individu
(self assetive).
Bukannya eksternal tidak
mampu menekan manusia, namun perilaku
manusia adalah makhluk yang intentional
sekaligus voluntary. Kebebasan lebih
dimaknai sebagai hal yang personal dan
individual, bukan sebagai hal yang
kolektif.
Dalam memandang masyarakat,
paradigma ini melihat bahwa realitas sosial
merupakan dunia yang subjektif, yang
dibentuk karena ada ide dan makna yang
saling didistribusikan. Karena makna yang
dibagi tidak sealu sama, maka yang
terbentuk adalah masyarakat heterogen.
Resiprositas dalam arti luas merupakan
basis relasi dalam masyarakat, dimana tiap
orang berorientasi pada orang lain.
Masalah pendidikan merupakan
masalah yang sangat penting dan tidak
bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian
kehidupan manusia.
Kebanyakan manusia
memandang pendidikan sebagai sebuah
kegiatan mulia yang akan mengarahkan
manusia pada nilai-nilai yang
memanusiakan. Pandangan bahwa
pendidikan sebagai kegiatan yang sangat
sakral dan mulia telah lama diyakini oleh
manusia.
Namun di dekade 70-an dua
orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire
dan Ivan Illich melontarkan kritik yang
sangat mendasar tentang asumsi tersebut.
Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan
dan diyakini mengandung nilai-nilai
kebajikan tersebut ternyata mengandung
penindasan.
Pendidikan Islam Masa Kini
Terkait dengan ketertinggalan
pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin
(dalam Al Jawahir, 2012) dikarenakan
oleh terjadinya penyempitan terhadap
pemahaman pendidikan Islam yang hanya
berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi,
atau aspek kehidupan rohani yang terpisah
dengan kehidupan jasmani.
Jika melihat pendapat Muhaimin
ini, maka akan tampak adanya pembedaan
dan pemisahan antara yang dianggap
agama dan bukan agama, yang sakral
dengan yang profan antara dunia dan
akhirat.
Cara pandang yang memisahkan
antara yang satu dengan yang lain ini
disebut sebagai cara pandang dikotomik.
Adanya simtom dikotomik inilah yang
menurut Abdurrahman Mas‟ud sebagai
penyebab ketertinggalan pendidikan Islam.
Hingga kini pendidikan Islam masih
memisahkan antar akal dan wahyu, serta
fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan
adanya ketidakseimbangan paradigmatik,
yaitu kurang berkembangnya konsep
humanisme religius dalam dunia
pendidikan Islam.
Karena pendidikan Islam
lebih berorientasi pada konsep abdullah
(manusia sebagai hamba), ketimbang
sebagai konsep khalifatullah (manusia
sebagai khalifah Allah).
Selain itu orientasi pendidikan
Islam yang timpang tindih melahirkan
masalah-masalah besar dalam dunia
pendidikan, dari persoalan filosofis,
hingga persoalan metodologis.
Di samping
itu, pendidikan Islam menghadapi masalah
serius berkaitan dengan perubahan
masyarakat yang terus menerus semakin
cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu
pengetahuan yang hampir-hampir tidak
memeperdulikan lagi sistem suatu agama.
Kondisi sekarang ini, pendidikan
Islam berada pada posisi determinisme
historik dan realisme. Dalam artian bahwa,
satu sisi umat Islam berada pada
romantisme historis di mana mereka
bangga karena pernah memiliki para
pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan
besar dan mempunyai kontribusi yang
besar pula bagi pembangunan peradaban
dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi
transmisi bagi khazanah Yunani.
Namun di
sisi lain mereka menghadapi sebuah
kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak
berdaya dihadapkan kepada realitas
masyarakat industri dan teknologi
modern.
Hal ini pun didukung dengan
pandangan sebagian umat Islam yang
kurang meminati ilmu-ilmu umum dan
bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”.
Hal ini berdampak pada pembelajaran
dalam sistem pendidikan Islam yang masih
berkutat apa yang oleh Muhammad Abed
al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai
epistemologi bayani, atau dalam bahasa
Amin Abdullah disebut dengan hadharah
an-nashsh (budaya agama yang sematamata mengacu pada teks), di mana
pendidikan hanya bergelut dengan
setumpuk teks-teks keagamaan yang
sebagian besar berbicara tentang
permasalahan fikih semata.
Terjadinya pemilahan-pemilahan
antara ilmu umum dan ilmu agama inilah
yang membawa umat Islam kepada
keterbelakangan dan kemunduran
peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu
umum dianggap sesuatu yang berada di
luar Islam dan berasal dari non-Islam atau
the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini
sains).
Agama dianggap tidak ada
kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu
dianggap tidak memeperdulikan agama.
Begitulah gambaran praktik kependidikan
dan aktivitas keilmuan di tanah air
sekarang ini dengan berbagai dampak
negataif yang ditimbulkan dan dirasakan
oleh masyarakat.
Sistem pendidikan Islam yang ada
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslimyang
menempuh pendidikan di luar sisitem
pendidikan Islam hanya mendapatkan
porsi kecil dalam hal pendidikan Islam
atau bahkan sama sekali tidak
mendapatkan ilmu-ilmu keIslaman.
Dari berbagai persoalan pendidikan
Islam di atas dapat ditarik benang merah
problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem
konseptual-teoritis atau filosofis yang
kemudian berdampak pada persoalan
operasional praktis.
Kedua, persoalan
konseptual-teoritis ini ditandai dengan
adanya paradigma dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam antara agama dan bukan
agama, wahyu dan akal serta dunia dan
akhirat.
Ketiga, kurangnya respon
pendidikan Islam terhadap realitas sosial
sehingga peserta didik jauh dari
lingkungan sosio-kultural mereka. Pada
saat mereka lulus dari lembaga pendidikan
Islam mereka akan mengalami socialshock.
Keempat, penanganan terhadap
masalah ini hanya sepotong-potong, tidak
integral dan komprehensif.
Solusi Problematika Pendidikan Islam
Mencermati kenyatan tersebut,
maka mau tidak mau persoalan konsep
dualisme-dikotomik pendidikan harus
segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik
pada tingkatan filosofis-paradigmatik
maupun teknis departementel.
Pemikiran
filosofis menjadi sangat penting, karena
pemikiran ini nanti akan memeberikan
suatu pandangan dunia yang menjadi
landasan idiologis dan moral bagi
pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama
hendaknya segera dihentikan dan menjadi
sebuah upaya penyatuan keduannya dalam
satu sistem pendidikan integralistik.
Namun persoalan integrasi ilmu dan
agama dalam satu sistem pendidikan ini
bukanlah suatu persoalan yang mudah,
melainkan harus atas dasar pemikiran
filosofis yang kuat, sehingga tidak
terkesan hanya sekedar tambal sulam.
Langkah awal yang harus
dilakukan dalam mengadakan perubahan
pendidikan adalah merumuskan “kerangka
dasar filosofis pendidikan” yang sesuai
dengan ajaran Islam.
Kemudian
mengembangkan secara “empiris prinsipprinsip” yang mendasari terlaksananya
dalam konteks lingkungan (sosio dan
kultural) Filsafat Integralisme (hikmah
wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat
Islam yang menjadi alternatif dari
pandangan holistik yang berkembang pada
era postmodern di kalangan masyarakat
barat.
Inti dari pandangan hikmah
wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak
dan yang nisbi merupakan satu kesatuan
yang berjenjang, bukan sesuatu yang
terputus sebagaimana pandangan ortodoksi
Islam.
Pandangan Armahedi Mahzar,
pencetus filsafat integralisme ini, tentang
ilmu juga atas dasar asumsi di atas,
sehingga dia tidak membedakan antara
ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan
dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu
akhirat.
Dari pandangan dia tentang
kesatuan tersebut juga akan berimplikasi
pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga
pendidikan Islam.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam
haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh
atau integral. Baginya, manusia-manuisa
saat ini merupakan produk dari pemikiran
Barat Modern yang mengalami suatu
kepincangan, karena merupakan suatu
perkembangan yang parsial.
Peradaban
Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat
ditolong dengan membelokkan arah
perkembangannya ke arah perkembangan
yang evolusioner yang lebih menyeluruh
dan seimbang.
Hanya ada beberpa sisi saja
dari kehidupan manusia yang
dikembangkan. Begitu juga halnya dengan
masyarakat yang ada, pada hakikatnya
adalah cerminan dari satu sistem
pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah
masyarakat materialis yang dapat dibina
dengan menggunakan suatu mesin raksasa
yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu
link yang hilang, yaitu spiritualisme.
Dengan demikian, pendidikan sebagai
produksi sistem ini haruslah
mengembangkan seluruh aspek dari
manusia dan masyarakat sesuai dengan
fitrah Islam, yaitu tauhid.
Pandangan filosofis inilah yang
menjadikan pentingnya kajian terhadap
pemikiran Armahedi Mahzar tentang
sistem pendidikan Islam integratif, karena
permasalahan pendidikan sebenarnya
terletak pada dua aspek, filosofis dan
praktis.Persoalan filosofis ini yang
menjadi landasan pada ranah praktis
pendidikan.
Ketika ranah filosofis telah
terbangun kokoh, maka ranah praktis akan
berjalan secara sistematis. Dengan
demikian, filsafat integralisme atau
hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi
landasan idiologis dalam pengembangan
sistem pendidikan integratif.
Masa Depan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah sebuah proses
pembentukan karakter manusia yang tidak
pernah berhenti. Oleh Karena itu,
pendidikan merupakan sebuah proses
budaya untuk membentuk karakter guna
meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang berlangsung sepanjang
hayat.
Dari wacana inilah, jelas pendidikan
merupakan landasan bagi pembentukan
karakter manusia, sekaligus karakter
sebuah bangsa.
Bagaimana perjalanan
sebuah bangsa menuju masa depannya, hal
itu akan tergantung dari pendidikan yang
diterima oleh “anak-anak kandung” bangsa
bersangkutan.
Dalam konteks inilah,
pendidikan akan selalu berkembang, dan
selalu dihadapkan pada perubahan zaman.
Karena itu, pendidikan harus didesain
mengikuti irama perubahan tersebut.
Jika
tidak, pendidikan akan berjalan di tempat,
bahkan berjalan mundur. Bila terjadi,
tunggulah kehancuran bangsa tersebut.
Bagaimana dengan pendidikan
Islam? Pendidikan Islam saat ini tengah
menghadapi tantangan yang tidak mudah
diselesaikan.
Pendidikan Islam saat ini
tengan menghadapi tantangan yang tidak
mudah diselesaikan. Pendidikan Islam
tenga menghadapi tantangan modernisasi
yang amat cepat, yang di satu sisi
menciptakan era globalisasi yang
menumbuhkan pemikiran-pemikiran
global dan universal.
Tapi di pihak lain,
modernisasi menciptakan kumpulankumpulan manusia ekstrim dan irasional
yang membentuk sekte-sekte sebagai
counter product dari globalisasi pemikiran
dan budaya tadi.
Alvin Toffler jauh hari
telah meramalkan bahwa di era
modernisasi akan muncul banyak sektesekte dan pemikiran-pemikiran ekstrim
yang bisa mengganggu perjalanan era
globalisasi tersebut.
Apa yang diprediksi Toffler kini
benar-benar menjadi kenyataan. Di tengah
umat manusia yang tengah menyambut era
globalisasi muncul pula kelompokkelompok eksklusif yang ekstrim dan antiglobalisasi.
Mereka inilah yang
menyebarkan pemahaman-pemahaman
sempit tentang ideologi dan agama.Mereka
juga melihat manusia secara hitam putih.
Munculnya pelbagai tindakan
terorisme dan tindakan ekstrim lain atas
nama agama, sebetulnya adalah
pengejawantahan dari eksistensi kelompok
anti-globalisasi tersebut.
Kelompok-kelompok semacam ini jelas menabrak
kecenderungan alam dan kecenderungan
manusia yang ingin terus berkembang.
Mereka niscaya akan tergilas
kecenderungan zaman. Namun jika
dibiarkan, pemikiran kelompok semacam
itu bisa menjadi virus yang
akanmenggerogoti bangsa.
Dalam kaitan inilah, pendidikan
harus mengantisipasi kecenderungan
destruktif tersebut. Dan pendidikan Islam
harus berjalan paling depan untuk
mengatasi kondisi itu. Maklumlah sejauh
ini, Islam telah menjadi “tertuduh” dari
munculnya pelbagai kekerasan dan konflik
ekstrim yang meresahkan dunia
internasional.
Masyarakat modern dewasa ini
ditandai dengan munculnya era
pascaindustri (postindustrial society)
seperti dikatakan Daniel Bell, atau
masyarakat informasi (information society)
sebagai tahapan ketiga dari perkembangan
peradaban seperti dikatakan oleh Alvin
Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan
kehidupan manusia secara teknologis
memperoleh banyak kemudahan.
Tapi
masyarakat modern juga menjumpai
banyak paradox dalam kehidupannya.
Dalam bidang revolusi informasi,
misalnya, sebagaimana dikemukakan
Donald Michael, juga terjadi ironi
besar.
Semakin banyak informasi dan
semakin banyak pengetahuan, mastinya
manusia makin besar kemampuannya
melakukan pengendalian umum.
Tapi yang
terjadi justru sebaliknya; makin banyak
informasi makin banyak yang tidak
terkendali. Karena itu dengan ekstrim
Ziauddin Sardar (dalam Pranowo M.
Bambang, 2009: 26), menyatakan bahwa
abad informasi ternyata sama sekali bukan
rahmat. di masyarakat Barat, ia telah
menimbulkan sejumlah besar persoalan,
yang tidak ada perpecahannya kecuali cara
pemecahan yang tumpul (Malik Fajar,
1995).
Di Indonesia, kondisi serupa mulai
menggejala. melimpahnya informasi
membuat masyarakat makin bingung
dalam mencari arah kehidupannya.
Di
antara mereka ada yang berhasil mencari
arah yang benar, tapi tidak sedikit yang
terjerumus ke dalam situasi yang ambigu.
Baik ambigu dalam menentukan mana
yang baik dan buruk, maupun ambigu
dalam menentukan pilihan-pilihan yang
tepat untuk menyonsong era post industri
tersebut.
Untuk melihat bagaimana
Indonesia membangun masa depan
pendidikan Islamnya, mungkinkita perlu
melihat perkembangan sejarah pendidikan
Islam di tanah air kita.
Ketika Indonesia
masih dijajah Belanda, pilihan yang
dianggap tepat oleh masyarakat untuk
pendidikan Islam saat itu adalah menjauhi
apa-apa yang berbau Belanda.
Dalam
perkembangannya, yang berbau Belanda
itu identik dengan yang berbau Barat.
Maka, pendidikan yang berbau Barat pun
dijauhi.
Oleh sebab itu, di kalangan umat yang berkembang adalah pendidikan
model padepokan dan pesantren.
Pesantren sendiri sebetulnya model
pendidikan padepokan ala agama
Hindu.Santri berasal dari kata cantri yang
artinya murid-murid yang mempelajari
agama Hindu.
Benar, kaum santri, dengan
kepatuhan tinggi padsa kiainya yang
kharismatik, adalah pejuang-pejuang
tangguh yang anti-belanda.
Peperangan
antara santri dan tentara Belanda terjadi di
mana-mana.Kaum santri dan pesantrennya
menjadi penangkal pengaruh Belanda di
masyarakat tradisional Indonesia yang
notabene merupakan masyarakat
mayoritas.
Lalu bagaimana ke depan?
Pendidikan Islam harus mewarnai segala
aspek kehidupan.Islam harus muncul
dalam dunia yang selama ini dianggap
sekuler seperti perbankan dan
kedokteran.
Perbankan Islam kini sudah
muncul-muncul di mana-mana. Juga
pendidikan Islam yang terkait ekonomi
dan perbankan syariah kini sudah ada di
mana-mana.
Bahkan Fakultas Kedokteran
yang bernuansa Islam sudah berdiri di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Apa arti semua itu?
Islam dan dunia
pendidikan sekuler (kedokteran) yang
selama ini dianggap tabu untuk bisa
bergandeng tangan, sekarang ini sudah
menyatu.
Kedepan, Islam sesuai karakter
ajarannya pinjam Bella yang modern
dan universa, harus bisa menyesuaikan
konsep pendidikannya yang mengikuti
perkembangan zaman.
Jika pendidikan
Islam berhasi menyatukan “paradigm
sekuler dengan paradigm spiritual dalam
Islam” ke depan harus diupayakan pula
agar pendidikan Islambisa membawa
masyarakat Islam ked lam pemikiran dan
perilaku yang humanis dan universal.
Dunia pendidikan saat ini membutuhkan
konsep dan strategi yang integral, yang
bisa “mendidik” seluruh aspek kemanusian
manusia dalam menghadapi tantangan arus
budaya dan social yang demikian gencar
lantaran perkembangan teknologi
informasi yang sangat cepat.
Ajaran Islam
yang sarat dengan nilai-nilai luhur bisa
menjadi landasan moral yang sangat
strategis dalam mengembangkan
pendidikan Islam di tengah arus informasi
global yang kurang memperhatikan nilainilai kemanusian yang dasariah tersebut.
Itu semua adalah tantangan yang harus
dijawab oleh umat Islam, agar Islam
benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin.
Agama Islam datang ke Indonesia
dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang menyiarkan agama
Islam kepada orang-orang yang
mengelilinya yaitu mereka yang membeli
barang-barang dagangannya.
Begitulah
setiap ada kesempatan mereka
memberikan pendidikan dan ajaran agama
Islam.
Pendidikan Islam dapat diartikan
sebagai usaha sadar untuk mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan segala potensi yang dianugerahkan
Allah kepadanya agar mengemban amanat
dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah
di bumi dalam pengabdiannya kepada
Allah Subhanahu wata'ala.
Kondisi sekarang ini, pendidikan
Islam berada pada posisi determinisme
historik dan realisme. Dalam artian bahwa,
satu sisi umat Islam berada pada
romantisme historis di mana mereka
bangga karena pernah memiliki para
pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan
besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban
dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi
transmisi bagi khazanah Yunani.
Namun di
sisi lain mereka menghadapi sebuah
kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak
berdaya dihadapkan kepada realitas
masyarakat industri dan teknologi modern.
Pendidikan Islam harus mewarnai
segala aspek kehidupan.Islam harus
munculdalam dunia yang selama ini
dianggap sekuler, seperti perbankan dan
kedokteran,
Demikian paradigma pendidikan Islam Masakini dan masa depan,semoga bisa menambah pengetahuan kita semua, terimakasih telah berkunjung kesini.
0 Response to "Paradikma Pendidikan Islam Masa Kini Dan Masa Depan"
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Silahkan Berkomentar Dengan Bijak